Marga yang biasanya disematkan sebagai nama akhir orang Batak, Tionghoa, Ambon, Manado, dst selalu menarik untuk didiskusikan. Bagaimana tidak. Di satu sisi, beberapa orang yang "tidak ber-marga" justru kerap menambahkan marga-nya sendiri. Sebut saja keluarga Sukarno, keluarga SBY, keluarga Soeharto, dst.
Ini mengandaikan bahwa marga itu tak sekedar untuk mempersatukan atau mengelompokkan, melainkan juga sebagai alarm bagi relasi antar masyarakat. Kendati tak ada literatur yang pasti tentang penambahan marga di belakang nama seorang, namun konon katanya marga itu tak lain adalah nama asli leluhur mereka.
Lusius Sinurat misalnya adalah keturunan leluhur bernama Raja Sinurat, yang bila dirunut ke akarnya merupakan keturunan Raja Batak, sebagaimana juga marga-marga lain berasal dari nama leluhur mereka.
Sayangnya, seiring pertambahan jumlah orang dalam satu marga, seperti marga-marga yang masuk kelompok Parna di kalangan Batak, maka persoalan sosial mulai jamak membuncah dan tak jarang mengkristal menjadi konflik sosial.
1. MARGA Sebagai Tesis
Benar bahwa semangat primordial tak terelakkan di kalangan masyarakat bermarga, apalagi dalam satu suku. Sebut saja kecenderungan pro atau kontra marga atau kelompok marga tertentu.
Di titik inilah orang-orang yang memiliki marga yang sama dalam satu komunitas, terutama dalam pekerjaan akan mengalami dilema: siap-siap dituduh sedang membangun kerajaan marganya atau dituduh kolusi dan nepotisme.
Atau, ketika seseorang secara profesional menolak orang semarga dengannya saat melamar kerja di tempatnya, maka akan lahir persoalan lain, "Dia melanggar padan (Batak : sumpah, kaul) leluhurnya agar saling membantu orang yang berasal dari kakek-moyang yang sama."
2. MARGA sebagai Antitesis
Seorang teman pria pernah menggosip dengan temannya yang juga pria paruh baya begini, "Dia itu diberi panggung oleh pimpinan Departemen X tak lebih karena ia semarga dengan sang pimpinan."
Untuk seorang yang lahir dan masih hidup di jaman digital dan dipenuhi oleh gadget ini, ungkapan di atas tentu terasa aneh. Sebab, komunitas atau kelompok yang sedang trend sekarang justru kelompok perkoncoan atau antar mereka yang memiliki hobi yang sama, profesi yang sama, tempat tinggal yang sama, dst.
Namun kenyataannya, kasus di atas terkadang ada benarnya, apalagi di Sumatera Utara yang dalam pergaulan sosial begitu didominasi oleh pengaruh orang Batak. Tentu saja di luar Sumut tetap ada kasus-kasus seperti Atut yang menguasai Banten, Megawati yang memaksakan Puan jadi menteri di kabinet Jokowi, SBY yang menabalkan istri dan anaknya sebagai pembesar partai, dst.
Masalahnya, ketika marga dijadikan acuan dalam membagi jabatan atau kekuasaan atau harta dan tak mengindahkan PROFESIONALITAS seseorang, maka serentak sistem itu tak lebih dari imperialisme terhadap marga lain.
Namun, pada saat kesamaan marga menjadi nomor kesekian setelah profesionalitas seseorang, rasanya itu menjadi tak adil. Misalnya ketika perusahaan X yang dimiliki seseorang bermarga Sinaga merekrut adiknya sebagai Dirut di perusahaannya, dan sang adik memang mampu dan sudah terbukti mampu, lantas masalahnya apa?
Bukankah perusahaan-perusahan keluarga milik pengusaha Tionghoa melakukan hal yang sama? Bukankah clan Sukarno dan Suharto melakukan hal yang sama? Bukankah Sri Sultan Hamengkubuwono melakukan cara yang sama dalam menjaga harta kesultanannya?
3. MARGA sebagai Sintesis
Tak jarang terjadi, dalam perjalanan karir seseorang, ada saja kebetulan yang terjadi. Misalnya ketika seseorang di pindahtugaskan ke salah satu departemen/lembaga/perusahaan lain di mana orang yang kelak menjadi bosnya itu ternyata semarga dengan dia, apakah ini menjadi persoalan penting?
Tanpa menafikan beberapa kenyataan bahwa di negara ini banyak terjadi nepotisme, rasanya tak adil bila menjadikan marga sebagai acuan dalam hubungan sosial secara umum, dalam penempatan seseorang di kantor, atau dalam memberikan bantuan kepada sesama.
Sebaliknya, atas alasan tak mau dituduh primordial dan nepotisme, tidak boleh juga seseorang lantas malah anti, bahkan "benci" dengan orang yang satu marga dengan dia hingga mengesampingkan profesionalitas seseorang.
Maka kalimat "Maaf, aku tidak akan memakai tenaga orang yang semarga denganku di kantor ini, sebab hal itu akan merusak reputasiku sebagai bos!" selalu dibenci orang Batak secara khusus, dan masyarakat dunia secara umum.
Di titik inilah kelebihan dan keistimewaan orang yang yang memiliki marga, yakni ketika marga itu secara dinamis dapat dijadikan sebagai gerbang untuk membenarkan sesuatu (justifikasi) atau untuk menelaah sesuatu untuk menemukan kebenaran (falsifikasi).
Posting Komentar