"Bang Sahat. Beneren, aku tak pantas untukmu. Bagaimana tidak. Kau ntar lagi eselon II, bahkan tak lama lagi akan dipromosikan dan akan bekerja di Kantor Pajak pusat. Sementara aku, bang..... Aku tak punya eselon. Boro-boro, bang Sahat. Di kontrakanku hanya ada galon. Itu pun hanya galon air isi ulang yang selalu kuhemat.
Tiap hari tak ada kerjamu selain mengutip uang dari para wajib pajak. Sementara aku hanya berkutat dengan makalah, skripsi, penelitian yang bahkan aku tak pernah tahu apa yg sungguh kutulis.Terkadang aku pikir "pekerjaan" kita sama saja. Kau mengutip pajak dari masyarakat tapi abang tak pernah kenal mereka. Demikian juga aku selalu mengambil banyak informasi dari 'rumah'-nya mbah Google tanpa pernah kukenal siapa penulisnya.
Bahkan ketika nama mereka tertera sebagai penulisnya pun aku akan segera mencoretnya sembari berkilah, kalau nama mereka kutulis nanti profesorku di kampus tak tahu kalau aku hebat. Seperti abang tahu. Aku hanya ingin sama dengan para mahasiswa pascasarjana lain di kampusku. Ya, kami hanya meniru profesor-profesor kami yang selalu mengajarkan apa yang sudah diajarkan orang lain. Sungguh bang. Mereka belum pernah mengatakan sesuatu yang murni pendapat mereka.
Bahkan neh, bang ketika mereka mempublikasi jurnal mereka di Jurnal-jurnal nasional dan internasional, aku sungguh tahu betul kalau hasil peneliatan yang mereka publikasikan itu murni berasal dari tugas-tugas mahasiswanya. Padahal abang tahu sendiri, kalau kami juga hanya menyalin (copy) dan menyematkan (paste) dari mbah Google. Kena dia bang.. hehehe....
Bang Sahat. Aku sedih malam ini. Bagaimana tidak? Setiap kau menjemputku dari kontrakanku yang mungil dan membawaku ke nongkrong di cafe-cafe di bilangan Dr. Mansyur di kota serba klakson mobil ini... Abang selalu mengulangi kalimat yang sama.
-----
'Dek, godaanku di tempat kerja sangat banyak. Ya, godaan untuk menafaatkan posisiku demi mengambil sebagian uang yang menjadi hak negara.. Ya, godaan dari para gadis dan ibu-ibu muda yang cantik dan genit yang kerap membuatku tak tahan untuk tidak meniduri mereka.... Dik Roma taulah... kalau saja tak ada dik Roma aku pasti sudah tergoda dan sekarang sudah mendekam di penjara.
Untunglah, setiap kali aku melihat wajah dik Roma yang polos, aku selalu mengurungkan niat itu. Soalnya, selain cantik, dik Roma juga cerdas. Sudah begitu pekerjaanmu sebagai guru sungguh membuatku terharu.
Maka suatu saat, setelah aku meminangmu menjadi istriku, aku berjanji akan membuatkan sekolah untukmu, agar kau bisa membantu banyak anak-anak negeri ini menjadi orang yang berguna, cerdas dan orang hebat seperti kamu dan aku.'
-----
Bang Sahat, aku tak pernah lupa ungkapanmu itu. Selain karena sering kau sampaikan di tiap kencan kita, juga karena kau bukan lelaki pertama yang memberi janji sehebat itu. Temanmu, si Godang Arta yang juga kerja di departemen keuangan di propinsi ini. Terus, Bang Sahat juga sudah mengirim kalimat-kalimat itu via fesbuk, instagram, path, WA, BB bahkan abang urai satu persat di twitter Bang Sahat.
Aku tak sanggup bang. Beneran tak sanggup. Aku tak sanggup menjadi pengawal, penyeimbang, apalagi menjadi malaikat kejujuran untukmu di saat abang menghadapi godaan itu. Enggak...enggak...enggak bang. Aku justru tak sanggup melawan godaan agar kita cepat menikah, lalu kita memiliki rumah dan mobil mewah, dan sesudah itu abang membangun sekolah untukku.
Maaf bang. Daripada semua hasrat kita itu terwujud, aku sarankan abang cari gadis lain saja, yang lebih cantik dariku dan memilki hati malaikat yang selalu mengingatkan abang untuk tidak korupsi.
Entahlah bang... entahlah... apakah ada orang seperti yang kusarankan tadi? Sebab, abang tau di negeri ini korupsi adalah bagian dari cara kita dididik. Lihatlah kenyataan di sekitar kita. Apalagi di kota kita ini. Anak-anak tak mau membeli sesuatu ke warung tanpa 'uang jajan'. Sejak TK, SD hingga kuliah sekarang nyaris tak ada anak yang tak pernah menyontek.
Bahkan neh, bang. Sejak kuliah S1 hingga S2 aku tak pernah jujur membuat tugas sendiri. Kalau tak copy-paste, aku biasa menyuruh orang lain yang bisa kubayar. Termasuk Skripsiku yang dapat nilai A di Universitas Ruko itu sendiri 'kan bikinan abang juga hehehe....
Jangankan itu bang. Kurasa, para profesor di kampusku yang suka plagiat itu pun sama saja seperti aku. Saat menjadi guru di sekolah pun aku sering memarahi murid-muridku di kelas karena mereka malas membaca, sementara aku sendiri hampir tak pernah membaca selain memelototi huruf-huruf yang tertera di gadget pemberian abang ini.
Jadi, mohon bang. Ijinkan aku berjalan sendiri.... jangan bebani aku menjadi malaikat suci yang menjadi penyeimbang hidupmu yang sudah terbiasa mengambil uang negara tanpa ketahuan di saat aku pun sudah terbiasa dengan itu. Tentu, karena aku pun sudah terbias begitu.. kendati dalam bentuk yang lain.
Tapi... sama saja bang Sahat."
***
Roma hanya bisa tersedu setelah mencurahkan seluruh isi hatinya, kendati hanya di hadapan foto 10R yang selalu ia pajang disamping ranjangnya yang sempit. Cinta terkadang harus amblas ditengah jalan berkubang di Jalan Sutomo dan Jalan Krakatau yang lebih mirip jalan hantu, atau harus berziarah dari terminal Amplas sebelum memulai hidup baru entah ke arah mana. Sebab di penjuru negara ini tak ada lagi tempat yang marak oleh Korupsi.
Kasian Roma, juga Sahat. Cinta mereka tak kesampaian (dang sahat holong nasida nadua) hanya karena Roma tak ingin menjadi "warna" lain selain harus memilih putih (berusaha menjadi suci), merah (hidup dalam kreativitas) dan hitam (mati sia-sia) di saat di negara ini semua sudah menjadi kelabu.
Terimakasih Roma atas curhatmu, tampaknya di negeri memang tak ada cinta yang lebih 'Cita Citata' selain cinta murni pada korupsi. (Lusius)
Posting Komentar