Mahasiswi Universitas Negeri Medan (Unimed), Ita tiba-tiba bertanya ke saya, “Aku pengen menulis, bang, Tapi apa yang harus kutulis?”
Tak hanya Ita, Moko, Budi, Dewi, Ayu dan hampir semua penulis pemula menanyakan hal yang sama. Namanya pemula, ya wajar saja mereka bingung dan kurang percaya diri saat diminta menulis.
Padahal banyak topik yang bisa dijadikan inspirasi untuk menulis. Sebut saja persahabatan, percintaan, politik, sosial, budaya, filsafat, bisnis, bahkan esai tentang diri sendiri.
Menentukan topik dalam menulis sebuah esai sebetulnya memang tak mudah. Untuk itulah seorang penulis harus banyak membaca. Semakin banyak informasi yang ia dapatkan tentang subyek yang akan ditulisnya, maka ia akan semakin paham akan subyek tersebut.
Omong kosong kalau ada penulis yang tak suka membaca. Tak mungkin ada penulis yang membenci buku. Sebab, disaatmenulis kisah tentang penderitaan, misalnya, ia tak cukup hanya mengandalkan pengalaman personal saja. Ia membutuhkan informasi yang dapat diuji secara ‘ilmiah’ tentang penderitaan itu sendiri.
Di titik inilah letak pentingnya buku sebagai referensi terbaik disamping media internet, tentunya, untuk menulis sebuah esai dengan topik apa pun.
Nilai plus dari kebiasaan membaca akan menggiring seorang penulis melahirkan karya yang mumpuni. Dari informasi yang dibaca dari buku, ia akan memiliki bahan untuk mempertanyakan, membandingkan, hingga mengkritisi tulisannya sendiri.
Maka, menulis sebuah esai dengan sejuta informasi di kepala kita jauh lebih mudah daripada menulis esai tentang hal-hal atau pengalaman yang sudah biasa kita jumpai di sekitar kita. Seorang essais, oleh karenanya tak boleh menulis melulu berdasarkan perasaannya.
Akhirnya, siapa pun yang menyukai dunia jurnalistik atau ingin menjadi seorang penulis, maka ia tak boleh melupakan buku dan media informasi lain sebagai bahan bacaannya. Membaca buku itu wajib hukumnya bagi siapa pun yang suka menulis.
Menentukan topik dalam menulis sebuah esai sebetulnya memang tak mudah. Untuk itulah seorang penulis harus banyak membaca. Semakin banyak informasi yang ia dapatkan tentang subyek yang akan ditulisnya, maka ia akan semakin paham akan subyek tersebut.
Omong kosong kalau ada penulis yang tak suka membaca. Tak mungkin ada penulis yang membenci buku. Sebab, disaatmenulis kisah tentang penderitaan, misalnya, ia tak cukup hanya mengandalkan pengalaman personal saja. Ia membutuhkan informasi yang dapat diuji secara ‘ilmiah’ tentang penderitaan itu sendiri.
Di titik inilah letak pentingnya buku sebagai referensi terbaik disamping media internet, tentunya, untuk menulis sebuah esai dengan topik apa pun.
Nilai plus dari kebiasaan membaca akan menggiring seorang penulis melahirkan karya yang mumpuni. Dari informasi yang dibaca dari buku, ia akan memiliki bahan untuk mempertanyakan, membandingkan, hingga mengkritisi tulisannya sendiri.
Maka, menulis sebuah esai dengan sejuta informasi di kepala kita jauh lebih mudah daripada menulis esai tentang hal-hal atau pengalaman yang sudah biasa kita jumpai di sekitar kita. Seorang essais, oleh karenanya tak boleh menulis melulu berdasarkan perasaannya.
Akhirnya, siapa pun yang menyukai dunia jurnalistik atau ingin menjadi seorang penulis, maka ia tak boleh melupakan buku dan media informasi lain sebagai bahan bacaannya. Membaca buku itu wajib hukumnya bagi siapa pun yang suka menulis.
Benar bahwa seorang pembaca belum tentu akan menjadi penulis, tetapi seorang penulis secara otomatis adalah pembaca.
Posting Komentar