Istilah ini semakin sering digunakan oleh politisi PDIP, mulai dari Megawati hingga Ketua DPRD-DKI.
Dalam KBBI terminologi "deparpolisasi" (kata benda) berarti pengurangan jumlah partai politik.
Dari pengertian di atas tentu saja makna kata deparpolisasi yang dimaksud oleh para pembesar PDIP berbeda artinya dengan arti sebenarnya, sebagaimana yang dicatat dalam KBBI.
Dalam beberapa hari terakhir media mainstream dan media sosial menjadikan pernyataan ketum PDIP yang mengatakan bahwa eksistensi relawan ahok adalah upaya deparpolisasi.
Nyatanya, keberadaan relawan Ahok hampir pasti tak bermaksud menggeser, bahkan meniadakan partai-partai yang ada, terutama PDI-P.
Para Relawan Ahok-Heru (sebut saja singkatannya Perahu) pertama-tama adalah komunitas sosial yang bertujuan mendukung pemimpin yang dikehendaki rakyat banyak (tentu saja istilah rakyat selalu mengadung relativisme) yang keberadaan mereka tidak terakomodir oleh partai yang makin hari makin digerogoti oleh kepentingan partai itu sendiri.
Ringkasnya, PeRaHu tadi memiliki tujuan sederhana dan bisa diuraikan dalam sistematika sederhana berikut ini:
Dalam KBBI terminologi "deparpolisasi" (kata benda) berarti pengurangan jumlah partai politik.
Dari pengertian di atas tentu saja makna kata deparpolisasi yang dimaksud oleh para pembesar PDIP berbeda artinya dengan arti sebenarnya, sebagaimana yang dicatat dalam KBBI.
Dalam beberapa hari terakhir media mainstream dan media sosial menjadikan pernyataan ketum PDIP yang mengatakan bahwa eksistensi relawan ahok adalah upaya deparpolisasi.
Nyatanya, keberadaan relawan Ahok hampir pasti tak bermaksud menggeser, bahkan meniadakan partai-partai yang ada, terutama PDI-P.
Para Relawan Ahok-Heru (sebut saja singkatannya Perahu) pertama-tama adalah komunitas sosial yang bertujuan mendukung pemimpin yang dikehendaki rakyat banyak (tentu saja istilah rakyat selalu mengadung relativisme) yang keberadaan mereka tidak terakomodir oleh partai yang makin hari makin digerogoti oleh kepentingan partai itu sendiri.
Ringkasnya, PeRaHu tadi memiliki tujuan sederhana dan bisa diuraikan dalam sistematika sederhana berikut ini:
(1) Tesis: "Masyarakat Jakarta membutuhkan pemimpin yang jujur dan transparan, berani dan tegas, dan tanpa mengutamakan kepentingan dirinya sendiri.
(2) Antitesis: Sistem demokrasi yang dijalankan dalam sistem kepartaian ternyata tak selalu mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat banyak tentang keinginan mereka memiliki pemimpin sebagaimana disebut dalam poin (1)
(3) Sintesis: Masyarakat, entah secara individual hingga akhirnya bersatu dalam komunitas relawan pendukung calon pemimpin yang mereka inginkan dengan cara memberi dukungan langsung sembari mengikuti tata aturan (UU Pilkada) yang ada.
Akhirnya, keberadaan pemimpin sekaliber Ahok memang tak datang dua kali. Ini semacam fenomena, persis seperti terpilihnya Jokowi jadi presiden ke-7 pada tanggal 9 juli 2014 silam.
Ibarat gerhana matahari yang terjadi entah dalam berapa puluh tahun sekali, demikian juga lahirnya pemimpin sekaliber Ahok dan Jokowi tentu saja tak datang berkali-kali.
Reinald Kasali pernah mengatakan bahwa lahirnya pemimpin seperti Jokowi dan Ahok adalah masa emas bagi Indonesia. Kiranya inilah yang ditangkap oleh rakyat Indonesia secara umum, dan rakyat Jakarta secara khusus ketika "ngotot" mendapatkan pemimpin yang berkualitas sekaliber Ahok.
Jadi, partai-partai yang ada TIDAK BOLEH bawha pemimpin yang baik bukanlah petugas partai, atau orang titipan partai, bahkan sepanjang kepemimpinannya menjadi ATM partai.
PDI-P, bertobatlah. Belajarlah dari pengalaman pencalonan Jokowi. Diam sejenak, hingga bulan Mei, baru ambil keputusan mendukung yang terbaik untuk masyarakat Jakarta.
Beginilah cara kami, para relawan Ahok membantu partai memperkuat dirinya (internal) hingga mampu menjadi representasi kepentingan masyarakat (yang mendukungnya).
Tampaknya baru Nasdem yang mulai paham tentang pentinganya rakyat dalam sistem demokrasi kita. Hanura masih tawar-menawar, dan PDI-P malah kalap dan merasa kalah oleh para relawan pendukung Ahok.
Lusius Sinurat
Akhirnya, keberadaan pemimpin sekaliber Ahok memang tak datang dua kali. Ini semacam fenomena, persis seperti terpilihnya Jokowi jadi presiden ke-7 pada tanggal 9 juli 2014 silam.
Ibarat gerhana matahari yang terjadi entah dalam berapa puluh tahun sekali, demikian juga lahirnya pemimpin sekaliber Ahok dan Jokowi tentu saja tak datang berkali-kali.
Reinald Kasali pernah mengatakan bahwa lahirnya pemimpin seperti Jokowi dan Ahok adalah masa emas bagi Indonesia. Kiranya inilah yang ditangkap oleh rakyat Indonesia secara umum, dan rakyat Jakarta secara khusus ketika "ngotot" mendapatkan pemimpin yang berkualitas sekaliber Ahok.
Jadi, partai-partai yang ada TIDAK BOLEH bawha pemimpin yang baik bukanlah petugas partai, atau orang titipan partai, bahkan sepanjang kepemimpinannya menjadi ATM partai.
PDI-P, bertobatlah. Belajarlah dari pengalaman pencalonan Jokowi. Diam sejenak, hingga bulan Mei, baru ambil keputusan mendukung yang terbaik untuk masyarakat Jakarta.
Beginilah cara kami, para relawan Ahok membantu partai memperkuat dirinya (internal) hingga mampu menjadi representasi kepentingan masyarakat (yang mendukungnya).
Tampaknya baru Nasdem yang mulai paham tentang pentinganya rakyat dalam sistem demokrasi kita. Hanura masih tawar-menawar, dan PDI-P malah kalap dan merasa kalah oleh para relawan pendukung Ahok.
Lusius Sinurat
Posting Komentar