"Kami tak berpolitik," begitu kata para pimpinan gereja saat "mendoakan" dan menerima calon bupati di kantor-kantor pusat mereka.
Tetapi serentak mereka menyeru bahwa si calon tertentu sangat layak karena telah mengalami berbagai "cobaan", termasuk ketika lolos dari jerat hukum, kendati hanya untuk sementara.
Membahas keterkaitan antara agama dan politik memang tak ada habisnya. Politik tak terhindarkan di kehidupan nyata.
Sementara agama seringkali memposisikan diri lebih tinggi dari politik, tetapi oleh para pemimpinnya agama justru kerap diseret ke level terendah, yakni ketika "amplop pembangunan jemaat" memengaruhi dukungan mereka.
Ini serunya politik, terutama di negeri tercinta ini. KEMUNAFIKAN berjalan secara parsial, sebagaimana juga KESUCIAN bergema di sisi sebaliknya.
Lihatlah, ketika berhadapan langsung dengan si calon kepala daerah, siapapun -- tak ketinggalan para pemimpin agama -- selalu memberi pujian dan sanjungan demi memengaruhi suara arus bawah, yakni jemaat/pengikut mereka.
***
Di negeri ini Tuhan bahkan diayun ke berbagai sisi, hingga oleh para "penyuara kebenaran" itu pun berani mengklaim bahwa "Tuhan memilih orang seperti Anda, karena sudah melewati cobaan dan Tuhan membela orang yang benar!" (seraya menunjuk ke calon yang dibelakang panggung doa telah terjadi transaksi spiritual lewat lembaran rupiah).
Apa dan siapapun yang telah menyelewengkan titah kebenaran universal agama dengan cara mereduksi dukungan pribadinya kepada calon bupati yang "didoakannya" sebagai dukungan Tuhan kepada orang tersebut bukanlah tindakan bijak, dan pasti bukan lakutapa yang bajik.
Para pemimpin agama, dalam konteks kabupaten Simalungun para pemimpin gereja memang harus terbuka bagi siapa pun, apalagi dalam rangka meminta doa. Itu tugas dan kewajiban mereka.
Tetapi mendahului jawaban Tuhan atas doa mereka (tentang siapa yang pantas menjadi bupati) serta mereduksi dukungan pribadi sebagai dukungan jemaatnya, apalagi sebagai dukungan Tuhan...rasanya tak bisa diampuni.
Atau meminjam istilah Yesus bahwa dosa terbesar adalah membohongi Roh Kudus atau Roh Allah yang bekerja diluar batasan prediksi manusia.
Lagi, panggung politik 5 tahunan memang selalu memikat, bahkan bagi kelompok terntentu masa pencalonan para calon bupati (misalnya) tak lain adalah masa panen uang. Hanya pada masa inilah setiap tindakan bisa dikonversi kedalam rupiah.
Semestinya kondisi di atas tak membuat kita mati lemas, apalagi putus asa. Sebab suara dari masyarakat yang mengandalkan hatinya (vox populi) pasti berbuah pada hasil maksimal, yakni pemimpin terbaik (vox Dei).
Maka dalam panggung pertarungan 5 tahunan ini kita tak boleh terburu-buru mengatakan bahwa kemenangan si X adalah karena kehendak Tuhan, hingga kemangan itu pun dijadikan materi kotbah oleh para pemimpin agama di podium-podium agung mereka.
Menang atau kalah itu sebuah keharusan dalam pertandingan. Tetapi akan jauh lebih menyakitkan bagi kita ketika orang yang kita pilih adalah orang yang tidak kita kenal.
Kepada masyarakat asaliku, masyarakat Kabupaten Simalungun...
Mari menyambut Pilkada yang tertunda, pada tanggal 10 Februari 2016 yang akan datang. Semoga para timses konsisten menjaga situasi kondusif hingga pengumuman pemenang nanti.
Menunda itu terkadang jalan terbaik untuk mendapatkan pemimpin terbaik. Maka datang dan berbondong-bondonglah ke kota suara pada hari H pemilihan, 10 Februari 2016 !.
Posting Komentar