Ilustrasi: Koleksi Lisa Huang |
Aku tak tahu persisnya. Hanya 3 orang yang berkomunkasi dengan "penghuni" tempat itu bercerita tentang bagaimana proses "kulo nuwon" yang mereka lakukan saat hendak meminta "sesuatu" dari si penghuni.
*****
Fenomena berkomunikasi dengan roh sepanjang satu dekade terakhir semakin marak. Tak tanggung-tanggung, para roh itu bahkan turut diajak konser dan "dipaksa" menampakkan diri mereka di layar kaca.
Tak sembarang orang bisa menjadi mediator. Umumnya kaum Kyai dan ulamalah "jagonya" menjadi mediator maupun sebagai sosok nyata yang bisa mengajak sosok maya itu berbincang-bincang.
Disamping itu ada beberapa "orang pinter" atau "Datu" dalam bahasa Batak atau dukun dalam bahasa melayu - yang juga bisa berbincang akrab dengan roh-roh yang gentayangan itu.
Demikian juga 3 teman tadi didampingi seorang Kyai. Tak lama setelah sesajen dihidangkan berupa segelas kopi luwak dan sebatang rokok kretek yang diambil dari bungkur rokokku,
Menarik bahwa si penghuni tempat yang tak kasat mata itu justru memulai komunikasi dengan amarah ringan, sebab ternyata ia seorang penikmat kopi hitam (bukan white coffee) dan rokok linting (bukan Dji Sam Soe). Artinya, wedang / sesajen yang dihidangkan tadi ternyata salah.
Itulah sisi jenakanya. Tak lama setelah terjadi tawar menawar antara sang Kyai dan sang penghuni maya itu, juga sesaat setelah sang Kai menjelaskan tujuan kedatangan mereka, sang penghuni itu pun luluh.
Ia menyanggupi permintaan mereka, tetapi dengan prasyarat, bahwa "sesuatu" yang akan ia berikan harus dipergunakan untuk meningkatkan kualitas hidup spiritual ketiga teman itu. Sebut saja agar mereka disenangi dan dihormati orang, serta semakin sejahtera hidup mereka.
*****
Bak komunikasi di dunia nyata, perbincangan antara sang penghuni gaib dengan ketiga teman itu terlihat akrab dan satu sama lain pura-pura mengerti. Bagaimana tidak? Si penghuni gaib itu menggunakan bahasa Jawa kromo inggil, sementara sang kiyai orang Banten dan kedua teman lain orang Batak.
Tapi itulah alam gaib. Entah menebak-nebak atau memang sungguh menangkap maksud si penghuni gaib tadi, ketiga teman itu kompak mengatakan bahwa mereka harus ke sana lagi pukul 00.00 esok malam.
Di akhir cerita, sebelum kami pulang, mereka bertiga "menyalahkan" saya mengapa tidak ikut, supaya ada penterjemah bahasa Jawa kromo inggil tadi. hahahaha...
****
Apa yang ingin aku sampaikan bukanlah pertama-tama soal kehebatan sang kyai dan dua temannya, tetapi justru lebih menarik bagiku tentang kemampuan berkomunikasi ketiga manusia itu nyata dengan sang penghuni yang tak kasat mata tadi.
Tampaknya ini sejalan dengan sistem, cara dan perilaku komunikasi kita di dunia kiwari. Seringkali kita lebih suka berkomunikasi dengan orang lewat media telepon, BBM, atau media sosial semisal FB atau Twitter.
Sementara di sisi yang berbeda kita sering cuek dengan orang yang secara nyata hadir disamping, di depan, atau di sekeliling kita. Faktanya, dunia metafisik yang dulu sangat diagung-agungkan kini hadir lagi, tetapi dalam bentuk yang beragam.
Bukankah saat ini "yang maya" dan "yang nyata" sudah semakin tak terpisahkan? Kini, dunia tampak serba terbalik. Kalau dulu orang berkomunikasi di dunia nyata itu demi kebutuhan akan interaksi, maka kini kita menggesernya ke dunia maya. Sebab di dunia nyata, kita hanya berkomunikasi dengan orang yang kasat mata bila ada kebutuhan untuk bertransaksi.
So, jangan heran bila orang di jaman ini sudah terbiasa mencampuradukkan antara ajaran agama, budaya, ilmu pengetahuan hingga teknologi (baca: sinkretisme). Bahaya sinkretisme inilah yang oleh kalangan fundamental, termasuk kelompok teroris dijadikan alasan untuk membantai mereka yang tak "orisinal" menjalankan ajaran yang mereka imani.
Anda termasuk tipe yang suka berkomunikasi dengan penghuni alam gaib atau penghuni dunia maya di internet?
Lusius Sinurat
Posting Komentar