Hari-hari ini Danau Toba jamak diperbincangkan di tingkat nasional.
Tak tanggung-tanggung, orang nomor satu di republik ini pun turut turun tangan dan memerintahkan bawahannya untuk "memberi perhatian khusus" untuk pengembangan Danau Toba menjadi destinasi wisata yang lebih luas.
Tanggal 25-27 Februari 2016 kami ke Parapat. Belum terlihat "tanda-tanda" kehadiran Badan Otorita Danau Toba (atau sering diplesetkan oleh orang kreatif dengan BODaT).
Pantai yang masih terlihat kotor dan sampah ada di mana-mana. Kebiasaan lama para pedagang dan para pengamen kecil masih seperti sebelumnya: memaksa pengunjung untuk membeli barang/jasa mereka.
Lucunya, karena ada berita Jokowi akan ke Sumut, entah sampe ke Danau Toba atau tidak aku tidak tahu, sampah-sampah dan eceng gondok yang memadati tepi pantai yang biasa dijadikan TPA sampah pasar Tigaraja, Parapat mulai dibersihkan dengan pengawalan polisi berseragam.
Inilah gambaran sekilas tentang kesiapan kota kecil Parapat sebagai salah satu gerbang untuk menyeberang ke Pulau Samosir.
Lain Parapat, lain Tuktuk- yang kami kunjungi 28-29 Februari 2016. Tuktuk tampak lebih siap menjadi destinasi wisata internasional dibanding Parapat. Sangat jauh perbedaan antara kedua tempat yang sudah mendunia ini.
Kalau di Parapat kita sangat jarang menemui wisatawan asing, maka di Tuktuk para turis asing jauh lebih banyak dan tak jarang mereka live in di Tuktuk selama 1 minggu hingga 3 bulan.
Selain karena pantai dan wilayahnya terlihat bersih, masyarakatnya juga jauh lebih ramah dan para pedagang "tidak memaksa" seperti di Parapat. Demikian juga kecintaan pada budaya begitu terasa di daerah ini.
Lihatlah, beberapa orang bule yang awalnya datang sebagai turis kini banyak yang membuka usaha hotel dan bisnis cafe, bahkan tak sedikit juga dari mereka yang menikah dengan orang lokal, entah pria, entah wanita.
Danau Toba memang tak ada bandingnya. Selain danaunya yang mengelilingi Pulau Samosir, juga pantainya yang indah dan tentu saja asyik bila Anda tertarik berenang hingga berjam-jam di dalamnya.
Tentu saja penataannya masih jauh dari baik. 12 tahun Samosir, setelah mekar dari TAPUT, sebagai kabupaten memang masih muda. Hanya Pangururan yang terlihat mirip kota dan yang lain masih sangat 'ndeso.
Bagi banyak orang yang mencintai budaya seperti saya, suasana desa justru harus dipertahankan, lengkap dengan atribut kebudayaannya.
Bila selama ini BATAK (Toba) hanya dikenal dengan sapaan HORAS-nya, kain ULOS-nya, atau LOGAT-nya yang khas, maka berkunjunglah ke Samosir. Anda akan disuguhi keindahan alam yang menggoda, keramahan penduduk dan kekayaan budaya yang memesona.
Berbagai kekurangan memang sedang diperbaiki oleh pemerintah, terutama pemerintah pusat. Apalagi selama ini pemerintah daerah terbukti belum mampu alias tidak punya niat memperbaikinya.
Presiden Jokowi ternyata sungguh menyadari kelemahan pemerintah provinsi Sumatera Utara yang doyan korupsi dan selalu rutin mengirim gubernur-nya ke KPK. Tak herang bila sang presiden harus turun tangan dan memerintahkan 3 menteri terkait segera menangani langsung pengembangan Danau Toba.
Beberapa orang yang kami tanya mengenai niat RI-1 tersebut sangat apresiatif dan tak ada kekuatiran akan 'dirusak' oleh budaya atau bisnis asing seperti dikuatirkan intelektual batak di perantauan.
Sebagai orang Batak, kami bangga apabaila Danau Toba semakin mendunia, terutama apabila seluruh niat pemerintah tadi tak merusak mentalitas dan nilai-nilai budaya setempat (Batak Toba) dan tentu saja semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
"We always welcome for your visitation," kata Pak Siregar sang pemilik Resto Batak di depan hotel kami nginap.
Posting Komentar