Label sebagai daerah wisata dan juga sebagai destinasi utama wisatawan asing membuat Kuta tak pernah sepi.
Dari pagi hingga menjelang gulita, pantai tetap dipadati pengunjung. Pagi hingga sore mereka berjemur dan malam mereka menikmati desiran gelombang bersama alunan musik sesuai selera mereka.
Bali tak pernah sungguh kesepian. Terkadang Bali ini mengingatkan orang pada masa pembangunan menara Babel, tepatnya ketika semua orang menggunakan bahasa yang berbeda-beda.
Ya, di Bali semua bahasa seakan menjadi bahasa utama. Itu tergantung siapa yang datang dan dengan siapa dia bicara. Sejalan dengan hal itu, di Kuta pun semua budaya seakan menyatu diselimuti udara tropis yang oleh orang Barat kerap diamini sebagai angin surga.
Demikianlah Bali, terutama Kuta, daerah tempat di mana aku sudah 5 tahun tinggal selalu memesona, atau meminjam istilah Kla Project, Bali selalu menyajikan sajian berselera.
Batas fungsional antara pantai, cafe, mall, hotel, cottage seakan melebur jadi satu, yakni sebagai tempat hiburan yang memanjakan pengunjung. Seperti malam ini aku dan sobatku Sastrini Kadek yang sedang menikmati alunan musik konser di Discovery Shoping Mall.
Konser musik di mall, di bibir pantai, di hardrock cafe dan sejenisnya rasanya tak berbeda. Di mana saja Kuta menyajikan hiburan tak bertepi, seperti keindahan pantainya yang juga tiada ujung.
Aku senang di Bali, bukan pertama-tama karena Bali selalu disorot televisi. Aku mencintai Bali justru pada pesona "komunitas lintas batas"-nya, di mana setiap orang tak menyebut Si Bali, Si Cina, Si Batak, Si Jawa, Si Bule atau si Amerika.
Rasanya semua cukup direpresentasikan dalam dua kata, Turis Lokal dan "Turis Mancanegara". Begitulah pesona Bali, yang bahkan setelah peristiwa Bom Bali beberapa tahun silam seakan tak menyurutkan niat turis lokal dan terutama turis mancanegara untuk datang dan "melihat" udara segarnya.
Istilah "melihat udara" yang kumaksud adalah ekspresi kerinduan di lubuk hati setiap orang yang selalu ingin mengunjungi Bali, termasuk mereka yang saban tahun rutin ke sini. Entah mengapa orang tak pernah bosan ke pulaunya para dewata ini.
Kalau bagiku sih sederhana saja, yakni karena Bali adalah Bali, pulaunya para dewa yang tak pernah luput dari perhatian dunia setiap hari. Tentu saja, hal pertama dan utama, karena hidup tak mungkin berjalan hanya satu jalur, yakni bekerja dan bekerja.
Hidup memang membutuhkan rekreasi (hiburan dalam arti luas) agar tubuh kita mendapatkan kembali asupannya dari energi semesat, dan olehnya hidup pun akan pulih kembali.
So, RESERVE your life!
Penulis : Lisa Huang
Bali tak pernah sungguh kesepian. Terkadang Bali ini mengingatkan orang pada masa pembangunan menara Babel, tepatnya ketika semua orang menggunakan bahasa yang berbeda-beda.
Ya, di Bali semua bahasa seakan menjadi bahasa utama. Itu tergantung siapa yang datang dan dengan siapa dia bicara. Sejalan dengan hal itu, di Kuta pun semua budaya seakan menyatu diselimuti udara tropis yang oleh orang Barat kerap diamini sebagai angin surga.
Demikianlah Bali, terutama Kuta, daerah tempat di mana aku sudah 5 tahun tinggal selalu memesona, atau meminjam istilah Kla Project, Bali selalu menyajikan sajian berselera.
Batas fungsional antara pantai, cafe, mall, hotel, cottage seakan melebur jadi satu, yakni sebagai tempat hiburan yang memanjakan pengunjung. Seperti malam ini aku dan sobatku Sastrini Kadek yang sedang menikmati alunan musik konser di Discovery Shoping Mall.
Konser musik di mall, di bibir pantai, di hardrock cafe dan sejenisnya rasanya tak berbeda. Di mana saja Kuta menyajikan hiburan tak bertepi, seperti keindahan pantainya yang juga tiada ujung.
Aku senang di Bali, bukan pertama-tama karena Bali selalu disorot televisi. Aku mencintai Bali justru pada pesona "komunitas lintas batas"-nya, di mana setiap orang tak menyebut Si Bali, Si Cina, Si Batak, Si Jawa, Si Bule atau si Amerika.
Rasanya semua cukup direpresentasikan dalam dua kata, Turis Lokal dan "Turis Mancanegara". Begitulah pesona Bali, yang bahkan setelah peristiwa Bom Bali beberapa tahun silam seakan tak menyurutkan niat turis lokal dan terutama turis mancanegara untuk datang dan "melihat" udara segarnya.
Istilah "melihat udara" yang kumaksud adalah ekspresi kerinduan di lubuk hati setiap orang yang selalu ingin mengunjungi Bali, termasuk mereka yang saban tahun rutin ke sini. Entah mengapa orang tak pernah bosan ke pulaunya para dewata ini.
Kalau bagiku sih sederhana saja, yakni karena Bali adalah Bali, pulaunya para dewa yang tak pernah luput dari perhatian dunia setiap hari. Tentu saja, hal pertama dan utama, karena hidup tak mungkin berjalan hanya satu jalur, yakni bekerja dan bekerja.
Hidup memang membutuhkan rekreasi (hiburan dalam arti luas) agar tubuh kita mendapatkan kembali asupannya dari energi semesat, dan olehnya hidup pun akan pulih kembali.
So, RESERVE your life!
Penulis : Lisa Huang
Foto : Sastrini Kadek
Posting Komentar