Bayangkan saja, semua orang tak lagi mampu menyembunyikan kesalahan, rasa kesalnya, bahkan dendam pribadinya hingga sadar atau tidak sadar kerap mempostingnya di aku sosial mereka.
Untuk apa lagi seseorang menyimpan rahasia disaat rahasianya sendiri dia umbar di akun media sosialnya? Masih adakah ruang privat ketika ruang publik sudah merenggutnya?
*****
"Aku kesal sama si Anu, karena dia ngomongin aku sama orang lain." tulis si Una di akun Fesbuknya.
"Bajingan tengik. Di depanku dia selalu tampil manis. Tapi dibelakang dia leluasa ngejelekin aku dan merusak nama baikku," tulis si Balakutak di akun twitternya.
"Terimakasih Tuhan, akhirnya dia telah mengakui kalau anak yang kukandung ini adalah anaknya, bukan anak orang seperti ia tuduhkan sebelumnya," tulis gadis belia di akun instagramnya.
Begitulah jaman ini seakan berjalan dalam ketelanjangan. Dosa dan kebaikan begitu telanjang dan tak ada yang ditutupi. Tapi benarkah demikian?
Persoalannya adalah seseorang tak selalu direpresentasikan oleh akun media sosialnya. Benar bahwa ada juga orang yang suka mengklaim, mereduksi, bahkan mewartakan kesesatan sebagai kebenaran.
"Si Upil, pesepakbola terkenal itu telah berpindah agama. Alhamdulillah. Ia akhirnya dia tau kebenaran Islam," tulis si Ketekria tanpa menyebut darimana sumber beritanya.
"Terimakasih Tuhan, si Bursikdullah telah memeluk agama Kristen Protestan, setelah sekian tahun ia mencari kebenaran sejati," tulis si Mommon di akun tumblr-nya.
*****
Media sosial adalah ketelanjangan; tetapi serentak ketelanjangan pun bisa menjadi sumber dosa. Maka jangan bangga menjadi bagian dari ketelanjangan itu.
Saru taukkkk !
Lusius Sinurat
Posting Komentar