Di ranah pemberitaan media cetak, media sosial dan media cetak lainnya agama memang menorehkan prestasi sepanjang tahun ini.
Tetapi sesungguhnya agama justru mengalamai kesepian yang luarbiasa. Bagaimana tidak? Agama yang tampak lewat pemberitaan itu justru bukanlah agama dalam arti yang sesungguhnya, melainkan agama yang sedang disbukkan oleh pencarian jati diri oleh para penganutnya.
Pecahnya kelompok penganut agama yang berhulu dari perbedaan tafsir dan tasrif atas teks kitab suci dan secara faktual justru telah berhilir pada perpecahan hingga perang saudara.
Berbagai tantangan nyata pun justru bergulir dalam tubuh agama-agama yang oleh penganutnya digiring untuk berselingkuh dengan berbagai tidak kekerasan.
Sepanjang tahun 2015 ini misalnya, Islam sedang bergelut dengan ajaran penyelewengan 'islam kuno dengan wajah baru' lewat ISIS atau kelompok Bokoharam yang secara membabibuta membunuh orang diluar kaumnya.
Demikian juga dengan agama Kristen fundamentalis yang mulai mempertanyakan sifat inklusivitasnya hingga terjerumus dalam ekslusivitasnya yang bias, sebagaimana tampak dari ajakan salah satu calon presiden Amerika, Donald Trump.
Tak kalah kacaunya juga dengan Budha yang semakin menjauh dari Delapan Jalan Kebenaran-nya yang bisa diteima semua orang. Di Myanmar dan Thailand umat Budha, termasuk para pemimpin agamanya turut memerangi kelompok minoritas dan mengusir mereka dari negerinya.
Pendek kata, setahun belakangan, agama tak lebih dari sekedar alat untuk saling membunuh atas nama klaim "kebenaran" yang direlativir secara sektarian. Maka, agama tak beda dengan para pelacur yang membiarkan dirinya nyaris telanjang di tepi jalanan sembari mempertontonkan kemolekan 'tubuh'-nya demi menggait pelanggan baru.
Tragisnya, media sosial dan internet adalah etalase terlaris yang mempertontonkan pertarungan untuk memperebutkan anggota baru dari masing-masing agama.
Semua agama berebut pengikut. Para penganut dari kalangan selebritas, intelektual, pengusaha dan penguasa menjadi sorotan media, terutama dalam kaitannya dnegan 'migrasi' agama yang memang doyan mereka lakukan entah demi apa.
Maka ada 2 kata yang paling menarik dalam konteks migrasi itu, yakni "TOBAT" dan "MURTAD". Kita tahu bahwa sebutan si Pentobat disematkan oleh anggota komunitas agama baru yang dimasuki seseorang. Sementara kata si Murtad disematakan oleh anggota komunitas agama yang ditinggalkan oleh seseorang.
Benar bahwa kita seringkali lebih asyik mengumbar migras agama dari kaum selebirtas daripada memperkuat keimanan kita sendiri. Realitas ini bisa jadi disebabkan oleh semakin rendahnya kualitas pengetahuan para pemuka agama yang seringkali justru menahbiskan dirinya sebagai nabi bagi pengikutnya.
Juga tak dapati dipungkiri bahwa hari-hari ini tercipta gap yang makin melebar antara "apa yang dikatakan" dan "apa yang dilakukan" para pemuka agama serta tantangan global yang seakan mengharuskan semua orang adalah raja, dewa atau nabi bagi dirinya sendiri turut menciptkan mentalitas "bloon" ini.
Demikianlah Perayaan Natal berlangsung dalam kesepian, sebagaimana juga agama sedang terpenjara dalam sepinya para penganut yang setia mengimani ajarannya.
Benar, Prayaan Natal adalah ruang simpul temporal yang menampilkan kembali peristiwa kelahiran Sang Penebus di kandang domba yang sepi. Namun harus kita ingat bahwa sepinya kandang domba justru disemarakkan oleh kehadiran para gembala yang bernyanyi sukacita, kaum intelektual yang disebut Majus dari Timur yang datang dari jauh membawa emas dan mur sebagai rasa hormat mereka pada bayi yang laihir.
Tentu kejadian yang diurai secara variatif dalam Injil Yohanes dan tiga Injil Sinoptik ini sangat berbeda dengan pemaknaan perayaan Natal pada tahun ini. Kehidupan sosial masyarakat sepanjang tahun ini begitu semarak, entah karena kemajuan perekonomian, perang saudara, perebutan tahta kekuasaan di dunia politik, atau karena hingar-bingar lahirnya produk teknologi komunikasi yang semakin canggih.
Dua faktor yang saya sebut terakhir merupakan penyebab utama 'Sepinya Perayaan Natal' tahun ini, yakni situasi politik dan kemajuan teknologi komunikasi. Pilkada serentak pada tanggal 9 Desember 2015 lalu (dan 5 daerah harus menundanya selama 12 hari yang tanggal tersebut) turut memengaruhi konstelasi perayaan Natal di negara ini, terutama di daerah yang melangsungkan pilkada pada tahun ini.
Selain kondisi politik yang berpotensi memecah dan mengalihkan perhatian masyarakat yang merayakannya, perayaan Natal juga semakin sepi oleh maraknya produk-produk baru alat komunikasi yang semakin kaya oleh gadget-gadgetnya.
Sadar atau tidak, alat-alat komunikasi canggih itu turut mencuri perayaan natal dari maknya yang asali. Dengan mudah kita mengunggah dan mengunduh peristiwa seputar Natal, tetapi serentak justru menjauhkan kita dari perayaan Natal yang sesungguhnya.
Sebab sesungguhnya Natal adalah KEHADIRAN YANG SEDERHANA dalam PEMAHAMAN YANG KAYA MAKNA.
Lusius Sinurat,
Posting Komentar