Sebagai sebuah gaya bahasa, sarkasme adalah sebuah majas yang tujuannya untuk menyindir, atau menyinggung seseorang atau sesuatu.
Biasanya gaya bahasa sarkasme itu berupa penghinaan yang mengekspresikan rasa kesal dan marah dengan menggunakan kata-kata kasar.
Faktanya, melukiskan sesuatu dengan cara menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain ini dapat melukai perasaan seseorang.
Fyodor Dostoyevsky menyebut sarkasme sebagai bentuk penyindiran yang menggunakan kata yang terbalik dari maksudnya.
Fyodor Dostoyevsky menyebutnya sebagai ironi (sindiran halus).
Masih menurut Dostoyevsky yag seorang sastrawan Rusia itu, sarkasme merupakan "pelarian terakhir dari orang-orang dengan jiwa bersahaja dan murni disaat sisi personal mereka diusik secara paksa."
Dalam tulisan-tulisannya, Dostoyevsky menggunakan sarkasme dalam konteks humor. Contoh, "Putih benar wajahmu, sampai bisa bedakmus bisa disendoki."
Dalam tulisan-tulisannya, Dostoyevsky menggunakan sarkasme dalam konteks humor. Contoh, "Putih benar wajahmu, sampai bisa bedakmus bisa disendoki."
Majas sarkastik ini juga menunjuk pada si koruptor berlimpah hartanya, tetapi hidupnya malah lebih banyak dihabiskan di penjara.
Dalam konteks perpolitikan di negara ini, terutama yang terlihat di media internet, termasuk media sosial, banyak orang tergoda menggoda menggunakan majas sarkasme dalam mengutarakan pendapatnya.
Fakta tanpa memuat data pun sering diumbar ke publik tanpa hipotesa (pandangan yang dianggap benar meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan) terlebih dahulu. Kita sebut saja golongan ini sebagai Jokowi Haters alias Anti-Jokowi.
Kelompok penikmat kemapanan status quo ini doyan sekali mencari kesalahan Jokowi dan selalu mengeneralisir kesalah itu sebagai kesalahan fatal dan merusak negara dan bangsa Indonesia.
Terlepas dari isi kritiknya, kelompok ini kerap mengumbar gosip dan fitnah dan bermaksud memengaruhi opini umum bahwa Ir. Joko Widodo tak pantas menjadi Presiden Republik Indonesia.
Bisa jadi alasan mereka menggunakan majas sarkasme karena, seperti pernah dikatakan Dostoyevsky, "There is nothing easier than lopping off heads and nothing harder than developing ideas" (tak ada yang lebih mudah dari memenggal kepala dan tak ada yang lebih sulit dari membangun ide.")
Memahami sarkasme memang membutuhkan kecerdasan dan kemampuan seseorang dalam memahami poin terkecil dari kelemahannya saat berbicara.
Misalnya ketika Jokowi justru diserang para politisi mapan dan sudah terbiasa korupsi. Mereka menyebut Jokowi sebagai presiden yang sangat berbahaya dan budak para investor asing, pro aseng dan asing, dan tak peduli dengan rakyatnya.
Di sisi lain, segala prestasi Jokowi sebagai presiden ke-7 di negeri ini justru dinilai melulu sebagai gerbang pencitraan. Mereka mendirikan surat kabar, media online, bahkan memborong iklan televisi suwasta hanya untuk meyakinkan publik bahwa Jokowi tak layak menjadi presiden.
Bahkan, dalam konteks kebebasan pers, bahasa yang mereka gunakan pun sangat sarkastik dan cenderung melecehkan.
Sayangnya, publik tahu pada akhirnya, siapa yang sesungguhnya Jokowi dan segala hal positif yang telah dilakukannya demi mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan karena megakorupsi di segala lini. Jadi, publik tahu bahwa hinaan Jokowi Haters kepada presidennya hanyalah sebagai bentuk kekalahan mereka.
Di atas segala hujatan, hinaan, dan serangan bernada melecehkan kepadanya, Presiden Jokowi justru berkali-kali mengatakan,
Dalam konteks perpolitikan di negara ini, terutama yang terlihat di media internet, termasuk media sosial, banyak orang tergoda menggoda menggunakan majas sarkasme dalam mengutarakan pendapatnya.
Fakta tanpa memuat data pun sering diumbar ke publik tanpa hipotesa (pandangan yang dianggap benar meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan) terlebih dahulu. Kita sebut saja golongan ini sebagai Jokowi Haters alias Anti-Jokowi.
Kelompok penikmat kemapanan status quo ini doyan sekali mencari kesalahan Jokowi dan selalu mengeneralisir kesalah itu sebagai kesalahan fatal dan merusak negara dan bangsa Indonesia.
Terlepas dari isi kritiknya, kelompok ini kerap mengumbar gosip dan fitnah dan bermaksud memengaruhi opini umum bahwa Ir. Joko Widodo tak pantas menjadi Presiden Republik Indonesia.
Bisa jadi alasan mereka menggunakan majas sarkasme karena, seperti pernah dikatakan Dostoyevsky, "There is nothing easier than lopping off heads and nothing harder than developing ideas" (tak ada yang lebih mudah dari memenggal kepala dan tak ada yang lebih sulit dari membangun ide.")
Memahami sarkasme memang membutuhkan kecerdasan dan kemampuan seseorang dalam memahami poin terkecil dari kelemahannya saat berbicara.
Misalnya ketika Jokowi justru diserang para politisi mapan dan sudah terbiasa korupsi. Mereka menyebut Jokowi sebagai presiden yang sangat berbahaya dan budak para investor asing, pro aseng dan asing, dan tak peduli dengan rakyatnya.
Di sisi lain, segala prestasi Jokowi sebagai presiden ke-7 di negeri ini justru dinilai melulu sebagai gerbang pencitraan. Mereka mendirikan surat kabar, media online, bahkan memborong iklan televisi suwasta hanya untuk meyakinkan publik bahwa Jokowi tak layak menjadi presiden.
Bahkan, dalam konteks kebebasan pers, bahasa yang mereka gunakan pun sangat sarkastik dan cenderung melecehkan.
Sayangnya, publik tahu pada akhirnya, siapa yang sesungguhnya Jokowi dan segala hal positif yang telah dilakukannya demi mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan karena megakorupsi di segala lini. Jadi, publik tahu bahwa hinaan Jokowi Haters kepada presidennya hanyalah sebagai bentuk kekalahan mereka.
Di atas segala hujatan, hinaan, dan serangan bernada melecehkan kepadanya, Presiden Jokowi justru berkali-kali mengatakan,
If you want to be respected by others the great thing is to respect yourself. Only by that, only by self-respect will you compel others to respect you.
Benar saja. Jika Anda ingin dihormati oleh orang lain, maka hal terbesar yang harus Anda lakukan adalah menghormati dirimu sendiri. Hanya dengan cara inil Anda akan memaksa orang lain untuk menghormati Anda!
Posting Komentar