Tidak usah jauh-jauh. Sesama Jawa, sesama Batak, sesama Sunda, sesama Tionghoa, sesama Sunda dan semua orang dengan suku yang sama hampir pasti 100% mengekspresikan hak pilih yang sama saat pilkada bakan pilpres sekalipun.
Ahok dan Setya Novanto sama-sama Tionghoa. Keduanya sama-sama telah berhasil menjadi pejabat di negeri ini. Awalnya, keduanya sama-sama Kristiani.
Ahok yang Protestan dan Setya Novanto beragama Katolik. Tetapi tingkat kesetiaan dan konsistensi mereka berbeda 180 derajat. Sejauh ini Ahok tidak terpikir menjual agama demi jabatan, apalagi demi menambah jumlah istri; sementara Setya Novanto melakukannya.
Keduanya juga sama-sama pernah dibesarkan oleh partai Golkar. Bila Setya Novanto tetap bertahan di Golkar, sejak menjadi supir pribadi Hayono Isman, Ahok malah menjauh dari partai tersebut. Kini, Ahok bahkan tak punya partai samasekali.
Kalau Ahok setia menjalankan kepemimpinan yang bersih, transparan dan profesional, sejak jadi bupati, anggota DPR, wagub hingga saat menjadi gubernur.
Setya Novanto lain lagi. Masyarakat bahkaan tak pernah sungguh tahu perjalanan hidupnya, apalagi sejarah bagaimana ia memainkan latarbelakang kulturalnya sebagai pedagang hingga menjadi bendahara umum Golkar. Ia besar dari, oleh dan untuk partai beringin tersebut. Dan hampir dapat dipastikan bahwa ia adalah "pipa saluran" duitnya golkar karena kelihaian dan kelicikannya melobi para pengusaha agar memberi uang pelicin.
Akhirnya, satu hal yang paling menonjol dari perbedaan keduanya adalah cara masing-masing memilihi teman bergaul mereka.
Ahok sejak awal berteman lintas SARA tanpa menghilangkan darah Tionghoa dan agama Kristen yang dianutnya. Lain lagi dengan Setya Novanto yang bahkan menyembunyikan latarbelakangnya agar segera melebur dengan para pejabat Golkar yang memang selalu mudah dijilatinya.
Kalau Ahok belajar banyak dari pemikiran demokratis dan rasa cinta pada Indonesia Gus Dur, kelembutan dan kesabaran dari seorang Jokowi, dan belajar merakyat lwat lagunya Cita-citata, "Goyang Dumang", maka lain lagi si Setya Novanto.
Setya Novanto, yang telah bercerai dengan istrinya yang tetap setia sebagai orang Kristen dan tetap mengakui kecinaannya, justru bergaul dengan para begundal dan para perampok harta negara. Bisa dikatakan bahwa Setya Novanto malah belajar banyak dari Aburizal yang 'menyiram' masyarakat dengan lumpur panas. Setya Novanto juga banyak belajar 'tata cara menebalkan muka seakan tak bersalah" dari Fadly Zon dan Fahri Hamza.
Akhirnya, secara ringkas dapat dikatakan bahwa pembeda keduanya ada pada tingkat "komitmen dan kesetiaan" yang sangat berbeda.
Bila Ahok meleburkan diri hingga meng-Indonesia, maka Setya Novanto justru memecah dengan cara menjual kekayaraan Indonesia demi kepentingan diri dan partainya.
Begitulah politik selalu menjadi media pembeda pola pikir, pola ucap bahkan pola laku kita. Sebab, sistem multi partai dalam tatanan demokrasi pada akhirnya hanyalah salah satu cara negara membedakan mana masyarakat Indonesia yang sesungguhnya dan mana masyarakat yang pura-pura sebagai warga Indonesia tetapi malah menjual ke-Indonesiaannya.
Menyebut Setya Novanto versus Ahok dalam tulisan ini hanyalah salah satu contoh yang kebetulan masih dalam status 'siaga-1' dalam pemberitaan media. Sebab, sesungguhnya para politisi dari suku atau agama lain juga sudah melakukannya terlebih dahulu.
Selamat datang di dunia sosial-politik yang begitu nyata dan tak terelakkan kepada semua relawan dan sahabat Ahok, khususnya yang tergabung dalam Dukung Ahok Gubernur DKI.
Tampaknya tanpa disuruh memilih sekalipun, kita pasti akan memilihi Ahok sebagai panutan dan anutan paham politik kita daripada memilihi Setya Novanto yang lebih memilih mendapatkan SAHAM untuk pribadi dan kelompoknya hingga rela menjual nama presidennya sendiri.
Ahok bertumbuh berkat dukungan orang sekitarnya yang setia mendukungnya dalam ketulusan; sebaliknya Setya Novanto malah buntung karena orang-orang di sekitarnya yang samasekali tak mengerti 5 Sila Pancasila yang telah mereka ubah menjadi pancasila dengan warna merah sebagaimana mereka selama ini telah menjadikan masyarakat sebagai korban kejahatan mereka.
Lusius Sinurat
Posting Komentar