Dialektika antara iman versus ritus sejak dahulu kala menyeruak menjadi perdebatan.
Tak mengherankan ketika hari-hari ini orang beragama masih sering memperdebatkannya: bukan saja antar orang yang beda agama, tetapi juga, dan terutama justru oleh mereka yang menganut agama yang sama.
Padahal dalam pemahaman sederhana bisa dikatakan bahwa iman selalu berasal dari kedalaman jiwa, sementara ritual itu dari luar diri kita, dan merupakan ekspresi psiko-spiritual kita.
Benar bahwa iman pun bisa dijadikan sebagai alasan (pendorong) untuk merayakaan ritual; tetapi tak serta merta semua yang hadir pada ritual tertentu selalu mengandaikan mereka hadir karena iman.
Iman, oleh karenanya selalu universal sekaligus personal; tetapi ritual nyaris selalu komunal sekaligus parsial.
Umat Budha dan Hindu merayakan iman mereka justru lebih personal bila dibandingkan dengan umat Kristiani dan Islam yang rutin dengan sembahyng minggun daan jumatan.
Pada umumnya semua agama masih memberi ruang pada individu untuk mengekspresikan imannya secara personal. Buktinya, kesaksian-kesaksian (iman) masih dirasa perlu ditampilkan ditengah peribadatan.
Ini menarik. Sebab, tak hanya agama, multi level marketing atau bisnis jejaring pun melakukan hal yang sama.
Tujuannya pun nyaris sama, yakni untuk merekrut member (anggota/umat) baru. Bisa jadi bedanya hanya soal sistem perhitungan poinnya.
Membagikan pengalaman (iman) rasanya dianggap perlu untuk mempromosikan apa dan siapa komunitas kita. Kendati de facto, pengalamaan itu tetaplah subyektif.
Tapi benarkah semua testimoni atau pengalaman subyektif yang diurai lewat kalimat demi kalimat sistematis di atas bisa dijadikan sebagai bukti bahwa seseorang itu beriman atau tidak beriman?
Kalau ya, lantas di mana tempat umat (followers) yang tak pernah bersaksi secara verbal? Lewat tindakan? Siapa yang akan bersaksi untuk mereka?
Iman dan ritual sebenarnya tak perlu diperdebatkan. Sebab, bila perdebatan itu yg muncul maka, baik iman maupu ritual justru akan tampak seolah-oleh terpisah satu sama lain.
Padahal, selain tindakan aktuall ritual pun masih diperlukan. Ya, minimal untuk mengatakan apa agama Anda (?)
Bukankah hari-hari ini orang cenderung doyang mempersonifikasi dirinya dengan orang lain (baca: idola)?
Orang Budha ingin seperti Sidharta Gautama, orang Islam ingin seperti Muhammad, atau orang Kristen ingin menyerupai Yesus.
Lantas, bagi mereka di mana tempat bagi Tuhan yang universal itu? Bagi mereka yang menganut salah satu agama di atas akan menjawab, "Ya lewat salah satu tokoh di atas".
Tentu tak cukup untuk mengatakan "semua agama sama saja" sementar gereja telah dibakar orang Islam dan mushola pun dibakar orang Kristen.
Pertanyaannya sederhana, benarkah kita "mengimani Tuhan yang sama lewat cara yang berbeda?"
Saya sendiri tidak yakin dengan pernyataan klise di atas, sebab:
(1) Istilah mayoritas versus minoritas masih menggelayut di tatanan hidup bermasyarakat.
(2) Tak pernah ada kedamaian yang sesungguhnya di antara pemeluk agama berbeda, kecuali di tataran verbal.
(3) Agama memiliki peran sentral dalam konflik sosial. Sejarah telah membuktikannya.
Akhirnya, dari ketiga alasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
(1) Iman tak hanya melampaui agama, tetapi juga jauh lebih agung dari sekedar ritual.
(2) Imanilah Sang Ada yang universal sebagaimana diajarkan oleh agamamu, tetapi janganlaah mengimani agamamu sendiri.
(3) Akan jauh lebih berdayaaguna untuk mengimani Sang Pencipta sebagai Tuhan-nya semesta dan segaa isinya daripada mengimani ajaran agama atau menjalankaaan ritual yang mana hanya kita sendiri yang memahaminya.
Ringkas kata, ritual itu perlu bagi ekspresi iman, tapi iman bukanlah melulu ritual.
Posting Komentar