Tak hanya politisi kawakan yang "berjalan di tempat", tetapi politisi muda, dan terutama mereka yang selalu merasa diri orang "Indonesia banget" juga selalu berputar di tempat kayak gasing.
Di era "perebutan kekuasaan" dari Soekarno oleh Soeharto, kita tahu bahwa ketua MPRS saat itu, yakni Jenderal Abdul Haris Nasution turut memuluskan jalan salah satu prajuritnya itu.
Sejak saat itu hingga 32 tahun kemudian fungsi ketua DPR/MPR tak lain hanyalah sebagai 'satpam' alias pengawal presiden. Mereka harus manut kalau tidak mau dipagut atau mayatnya dibuang ke laut.
Sejak 1998 hingga tahun 2014, fungsi DPR/MPR kurang lebih sama, yakni mendukung presiden, terutama presiden yang memberi mereka banyak proyek atau yang berbagai kue dengan mereka.
Ini hanya pengulangan dari masa lalu di atas; kendati ada beberapa pon yang justru sangat berbeda di era Abdul Harris Nasution hingga era Akbar Tanjung dibandin era Amien Rais hingga era Taufik Kiemas.
Kalau di era Nasution hingga Tanjung DPR/MPR tak lebih dari sekedar pengawal, maka di era Amien hingga Kiemas, DPR/MPR sudah naik pangkat menjadi pengawas.
Dalam perjalanannya, apalagi setelah terpilih seorang presiden yang "ASLI" dari tengah rakyat, Presiden Joko Widodo, DPR/MPR dibawah Setya Novanto dan duo mulut besar, Fadli dan Fahri, malah berusaha menjadikan DPR/MPR sebagai KOMISARIS bagi presiden.
Kalau di era Gus Dur, Mega dan terutama 10 tahun era SBY banyak undang-undang baru yang dibuat, bahkan UUD 1945 diamandemen hingga nyaris kehilangan cetakan aslinya. Hal itu terjadi karena pembuatan UU tak lain adalah bagian dari proyek yang ditender pemerintah kepada DPR. Maka di erah ini DPR/MPR tak lebih dari sekedar Kontraktor Proyek.
Lalu muncullah seorang presiden yang tak pernah belajar ilmu parlente ala Sukarno, ilmu menculikan ala Suharto, ilmu teknik ala Habibie, ilmu Fiqih ala Gus Dur, ilmu diam ala Megawati, atau ilmu ambeg dari SBY. Namanya Jokowi.
Jokowi tidak dibesarkan oleh dan/atau di dalam lingkungan politik. Tadinya ia hanya tahu cara mengolah kayu atawa tukang meubel. namun apa hendak dikata, presiden yang sering dituduh 'ndeso' inilah yang berani menghentikan tradisi kerajaan bernama DPR/MPR di atas.
Ia menampilkan bahwa eksekutif harus lebih kuat dari legislatif lewat pendekatan psikologis bersama sobatnya FX Hadi Rudiyatmo di Solo; selanjutnya ia menampilkan ketegasan bak jenderal bersama Ahok saat keduanya memimpin Jakarta.
Kedua tokoh ini, Jokowi dan Ahok adalah pemutus "tradisi gasing" yang sudah begitu lama berjalan itu. Di lembaga eksekutif, keduanya adalah perintis perubahan nyata. Hal itu bahkan berlangsung hingga kini, di saat Jokowi sudah menjadi presiden dan Ahok sudah menjadi gubernur.
Sayangnya, dari pihak legislatif, pengulangan itu masih berlangsung. Anggota DPR kita selalu berputar-putar di tempat. Persis kayak gasing. Mereka masih ingin menjadi AH Nasution yang menjamin Suharto hingga di akhir hidupnya mendapat kehormatan sebagai jenderal besar berbintang lima.
Sayangnya, Setya Novanto dan gengnya salah waktu lahir. Kalau di jaman orba bisa jadi cara yang mereka lakukan "meminta jatah dari perusahaan asing" dan berbagi dengan sesama pencuri lainnya di legislatif akan berhasil dengan sukses. Tapi sayang sekali.... mereka tak lahir di saat yang tepat.
Bagaimana tidak, SEtyanovanto, FAdlizon dan fahri HAMzah (SEFAHAM) menjadi pimpinan DPR di saat kamera CCTV, smartphone, media elektronik dan internet begitu canggih. Tak mengherankan apabila DPR saat ini hanya sekedar DPR.
Sama seperti dulu, mereka bukan representasi dari masyarakat sebagaiman tercatut di atas kertas bernama undang-undang. DPR sekarang hanya representasi DPR dari masa lalu yang selalu ingin mengatasnamakan rakyat untuk tindakan kejahatan yang mereka lakukan.
Mungkin gengnya SEFAHAM cs di DPR sana tak pernah merasa diri seperti Pengawal Presiden seperti era Nasution hingga Akbar Tanjung, atau menjadi pengawas seperti di erah Amien Rais hingga Taufik Kiemas. Itu karena presidennya memiliki mentalitas yang berbeda.
Kita tahu apa yang terjadi berikutnya dengan petinggi 'wakil rakyat' itu. Mereka tak hanya merusak nama baik presiden, tetapi juga menjual harkat dan martabat negara mereka, bahkan rela melakukannya hingga jilat pantat pengusaha /investor asing sekalipun, seperti yang mereka lakukan dengan Donald Trump.
Mungkin gengnya SEFAHAM cs di DPR sana tak pernah merasa diri seperti Pengawal Presiden seperti era Nasution hingga Akbar Tanjung, atau menjadi pengawas seperti di erah Amien Rais hingga Taufik Kiemas. Itu karena presidennya memiliki mentalitas yang berbeda.
Kita tahu apa yang terjadi berikutnya dengan petinggi 'wakil rakyat' itu. Mereka tak hanya merusak nama baik presiden, tetapi juga menjual harkat dan martabat negara mereka, bahkan rela melakukannya hingga jilat pantat pengusaha /investor asing sekalipun, seperti yang mereka lakukan dengan Donald Trump.
Di level tingkat satu, khususnya di ibukota Jakarta pun sama. Anggota legislatif bahkan (pura-pura) tidak tahu bedanya UPS dan USB. Begitu juga di DPRD tk-1 Sumut yang bekerja hanya menunggu giliran kucuran proyek atau jatah bantuan sosial dari sang gubernur yang doyan poligami itu.
Itu gambaran dari DPR pusat yang saban hari minta dimanja oleh pemerintah denga fasilitas mewah; bahkan demi tujuan itu mereka akan cengengesan dan malu-malu kucing dihadapan presiden, tetapi dibelakang mereka membuka mulut mereka lebar-lebar menjelekkan presidennya.
Tentu saja ada alasan dibalik sikap tersebut, yakni karena mereka tak mendapat jatah kue seperti para pendahulu mereka. Kacian deh loe..!!!
Siapa suruh jadi ketua dan wakil DPR di era Jokowi dan Ahok? Mampus aje loe satu per satu. Tapi ada tuh jalan keluar buat kalian bertiga, juga untuk temen2 yang SEFAHAM dengan kalian: pindah dulu aja ke Yordania dan belajar dari onta di padang gurun sana.
Itu karena pemerintahan sekarang tak mau DPR /legislatif, yudikatif, dan terutama eksektif hanya mengulangi kesalahan yang sama di masa lalu.
Lusius Sinurat
Posting Komentar