Begitulah Caramu - Lusius Sinurat

Teman itu berlari kencang hingga tubuhnya terguncang. Entah apa yang dikejarnya, tak banyak orang yang sungguh tahu. Ia aneh dan melenceng.

Jalur yang telah ditetapkan panitia ia langgar, bahkan ia tak sadar bahwa ia tak sungguh ada di depan pelari lain. Hanya di awal ia terlihat brillian dan memulai start hebat seakan-akan ia pasti bakal jadi pemenang.

Ia aneh, karena baginya kerumunan penonton, entah mendukung pelari yang mana ia anggap sebagai suporternya, pendukung utamanya.

Tampak sekali oleh panitia, betapa pelari aneh ini malah rela menghentikan lajunya hanya demi memuliakan para penonton.

Pantas saja ia disoraki dan diteriaki. Tapi, lagi-lagi, sorak sorai itu ia malah anggap sebagai dukungan untuknya. Ia tak sadar bahwa, teriakan para penonton itu adalah cemoohan baginya.

Singkat kata, ia memang mengitari stadion sepakbola yang disekelilingnya terdapat jalur lomba lari. Sayangnya ia hanya mengitari satu kali saja. Bukan 3 x 400 meter alias 3 putaran sebagaimana telah ditetapkan panitia lomba.

Tak lama berselang, setelah pelari lain tinggal menuntaskan 1 putaran lagi, si pelari aneh tadi persis mendekati garis finish. Para penonton pun berterikan agar ia melanjutkan perlombaan atau keluar dari lomba. Namun, lagi-lagi teriakan si penonton ia anggap sebagai pengesahan bahwa dialah pemenang lomba.

ia memang sedang mendekati garis finish, tapi ia tak sadar itu baru satu kali putaran, dan ia masih menyisakan 2 putaran lagi. Tanpa disadarinya dia terhanyut untuk merayakan "kemenangannya", bahkan terlihat sangat mendekati wartawan dan reporter salah satu televisi yang memang sedang deg-deg-an menunggu hasil perlombaan.

Ia langsung mendekati wartawan dan memaksa sang wartawan mewawancarainya. Ia tetap yakin bahwa dialah pemenangnya. Maka terjadilah percakapan berikut ini:

Wartawan & Reporter: "Mengapa Anda tidak melanjutkan perlombaan hingga tuntas? Apakah Anda sudah gila dengan merasa Andalah pemenang lomba di saat pelari lain masih menyisakan 1 putaran lagi?"

Pelari Aneh: "Aku tidak peduli mereka masih menyisakan berapa putaran lagi yang harus mereka lalui. Yang pasti aku sudah tiba di garis finish?"

Wartawan & Reporter: "Justru Anda sendiri yang aneh. Apa Anda tak bisa menghitung angka 1 sampe 3?"

Pelari Aneh: "Tentu saja saya bisa. Tidak mungkin saya ikut perlombaan ini kalau saja aku tak bisa menghitung angka 1 sampai 3. Anda mengapa menuduh saya bodoh? Menurutku, Anda sendiri yang bodoh?"

Wartawan & Reporter: [dengan mimik marah dan tersinggung] "Tolong jaga mulut Anda. Bukan kami, tapi Anda sendiri yang bego dan oon! Sebab, bagaimana mungkin Anda mengikuti perlombaan yang pasti Anda tak mampu tuntaskan?"

Pelari Aneh: "Maaf ya. Saya memang sedang mengikuti lomba lari, tapi saya tak berminat menjadi sang juara. Sebab, hanya kepingan kuningan dicampur plasti bernama piala serta beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah saja sebagai hadiahnya. Sementara dengan menyapa, memperhatikan dan sambil menghitung jumlah mereka, saya sedang mengerjakan sesuatu."

Wartawan & Reporter: "Apa itu?"

Pelari Aneh: "Saya sedang memperhatikan apa saja yang dibutuhkan para penonton di stadion ini saat menonton perlombaan. Itu yang pertama. Selanjutnya dengan tindakan saya, Anda semua, para wartawan dan reporter pasti menarik perhatianku. Hasilnya, Anda tau sendiri. Di saat yang lain masih berlari secara normal, beberapa kamera televisi sibuk men-zoom wajahku. Itu berarti aku akan menjadi orang paling terkenal pada perlombaan ini."

Wartawan & Reporter: "Lantas apa yang akan Anda dapatkan dengan cara aneh dan gila itu? yang ada juga diperolok-olok!"

Pelari Aneh: "Hahahaha... Aku memang aneh. Dan Anda tau? Aku sedang menjual keanehanku. Termasuk media cetak dan televisi ikut menyaksikan, bahkan meliput keanehanku tadi. Apakah hal itu semua belum menjadi bukti sahih bahwa aku lebih terkenal daripada pemenang lomba ini?"

Wartawan & Reporter: "Kalau begitu apa yang sebenarnya Anda lakukan tadi? Terus, tujuannya apaan buatmu?"

Pelari Aneh: "Saya sedang memanfaatkan momen ini untuk bisnisku. Sekarang aku tahu kalau orang-orang di sini sangat antusias menonton perlombaan. Aku pikir para penonton ini bisa "dikelola" dengan baik dan saling menguntungkan juga. Misalnya, mengapa mereka tidak diwajibkan mengenakan seragam, entah itu kaos, celana pendek, sepatu, payung dan lain sebagainya. Nah, karena mereka sudah mengenalku, maka aku akan lebih leluasa berjualan kepada mereka. Bukankah hari ini aku udah mereka kenal? Kurang lebih mereka-mereka ini saja toh yang suka menonton perlombaan?

Wartawan & Reporter: "Dasar gila dan aneh. Otak pebisnis emang susah ya?!?"

Si pelari memang punya caranya sendiri. Ya, caranya berlari adalah dengan mencari calon pembeli. Sementara pelari lain berlari demi mengejar prestasi. Bila pelari normal berlari dengan imajinasi, maka si pelari aneh tadi berlari demi menacari sensasi, karena bisnis membutuhkan sensasi.

Ia tidak salah. Minimal menurut pendapatnya sendiri. Sebab ia punya cara, dan bila caranya dipandang salah, maka ia pun berhak memandang tindakan orang lain sebagai sesuatu yang salah.

Sebab, bukankah tak ada kebenaran tak bisa dicapai hanya dengan satu cara, dan Anda harus memilihnya demi mewujudkan visi-misi hidup Anda. Seperti kata si pelari aneh, 

"Bagiku menggapai garis finish adalah bisnis, dan media selalu membantu menciptakan peluang bagiku... Hanya saja banyak orang tak menyadari bahwa peluang itu adalah uang. Yang penting Anda cerdas memainkan peran sebagai sang antagonis yang manis. Dimana lagi aku mencari peluang sebesar ini kalau bukan di stadion agung ini?"

Benarlah kata Nietzsche, bahwa tiap orang punya caranya sendiri, yakni cara yang dipilihnya. Sebab tak ada cara yang terbaik. Sebab tak mungkin kita berlomba dengan metode atau cara yang sama."

Selamat berlari memaknai hari.