Hanya saja, Pak Ahok, seperti berkali-kali saya tulis, adalah sungguh menjadi antitesis atas tesis yang berlaku. Ia seakan 'terkondisi' menjadi 'sosok yang lain' dari 'yang sudah ada'.
Lihat aja deh... di saat kebanyakan pejabat dan pemimpin di negeri ini mencari aman dan nyaman, sang gubernur DKI ini malah mengobrak-abrik kenyamanan yang tampak tadi, bahkan kenyamanan dan keamanan dirinya sendiri.
"Salah sendiri gue dipilih oleh masyarakat jakarta jadi wagub dan salah konstitusi yang bikin gue jadi gubernur!", kira-kira begitu nada bicara Ahok saat ia berangkat dari rumah menuju balaikota DKI yang beberapa kali sudah Dag Dki kunjungi.
****
Arogan? Ya, tampak arogan. Tetapi jauh di lubuk hatinya, dan itu bisa Anda lihat sendiri saat bertemu langsung dengan beliau... Ahok adalah seorang pemimpin yang secara total memberi dirinya bagi rakyat yang dipimpinnya.
Kita semua tahu bahwa perjalanan seorang Ahok akan "mulus" hingga menjadi presiden sekali pun kalau ia mau "berbagi" dengan para pengusaha nakal, penguasa serakah, atau para bawahannya yang bisa memainkan kartu truf dari bawah.
Ahok adalah paradoks yang secara jelas menggelar tirai pembatas antara penguasa dan pengusaha, hingga keduanya tak lagi bisa sambil bermain data.
...dan....
Ahok tak mau! Ia berbeda!
Seakan-akan tak ada hal yang ditakutinya, bahkan mati demi warga yang dilayaninya pun rela ikhlas terima kalau memang itu kehendak yang Kuasa.
Ahok emang unik, karena beliau adalah antitesis.
Ia tak suka pujian, apalagi pujian dari para penjilat dan penjahat. Ia tak terlena dengan untaian kalimat "Hidup Ahok!" di saat persoalan sebenarnya belum tuntas.
*****
Ahok adalah antitesis atas kondisi yang hingga kini masih marak. Relokasi Kampung Pulo di bantaraan Sungai Ciliwung (20/8/15) adalah salah satu contoh keberanian yang tak dimiliki gubernur DKI sebelumnya.
Ahok tak saja bertindak manusiawi dengan menyiapkan rusun di jalan jatinegara barat; tetapi juga ia memiliki data dan bukti akurat mengapa masyarakat harus direlokasi. penertiban itu bahkan sesuai dengan PP 38 tahun 2011 dan juga berbagai alasan yang masuk akal. Itu yang ditampilkan oleh MetroTvi : https://www.youtube.com/watch?v=JTMLhBDQDyg
Dengan ringkas persoalan relokasi warga demi normalisasi Sungai Ciliwung yang setia menyebabkan banjir Jakarta ditangani Ahok dengan pendekatan yang manusiawi, kendati TVOne lebih menonjolkan kerusuhan yang dilakukan oleh warga yang lebih suka tinggal di pinggiran sungai Ciliwung. Ini videonya: https://www.youtube.com/watch?v=3QEssmt675A
Begitulah Ahok.
Ia berani mengambil resiko; apalagi ia sudah mengantisipasi resiko itu sebelumnya, lewat pembangunan rusun, berikut dua kali surat peringatan dan pada tgl 1 Agustus 2015 Ahok sudah mengundang tokoh masyarakat agar mereka segera pindah demi menghindari banjir.
****
Akhirnya, perjalanan kepemimpinan pak Ahok, juga kepemimpinan Jokowi mestinya memberi kita pelajaran berharga :
- Kita belum siap dengan perubahan atau hal-hal baru, bahkan ketika hal itu baik bagi mereka. Ini yang pernah saya sebut sebagia neophobia.
- Kita tidak siap dipimpin oleh pemimpin yang secara total memberikan diri bagi mereka.
Biarbagaimanapun, sikap paradoks dan posisi antitesisnya Ahok justru menggiring kita untuk segera berpikir ulang: layakkah kita disebut sebagai masyarakat yang cinta perubahan dan menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik?
Kalau ya, berubahlah! Keluarlah dari kotak-kota pikiran picik kita, dan hiduplah dalam perubahan itu.
Posting Komentar