Duc in altum! Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam. Instruksi ini memang ditujukan kepada para nelayan yang menginginkan ikan yang lebih banyak dan kualitasnya lebih baik daripada ikan di tepi pantai. Hanya saja, ini bukan imperasi. Ini hanya pilihan. Artinya, para nelayan bisa saja tak menurut atau malah langsung percaya.
Duc in altum! berarti juga menjadi obat ampuh bagi siapa saja yang terlalu betah di luaran, mereka yang suka mangkal di tempat yang dangkal. Tipikal orang dangkal adalah tipikal orang yang mudah berpuas diri, yang terbiasa mengumbar cinta, yang suka menjual pesona luar, bahkan orang yang terlalu mudah untuk mengatakan "gampang" tetapi bekerja dengan gamang.
Duc in altum! hanyalah seruan bernats bagi orang-orang yang mapan secara psiko-spiritual, yang tak nyaman menjadi pengikut dan pekerja dengan pola 0840, yakni mereka yang masuk ruang kerja pukul 08.00 pagi dan terbiasa merasa senang setelah pulang pukul 04.00 sore harinya.
Ini tak lantas berarti pekerjaan tipikal karyawan tak baik bagi kita. Sebab pekerjaan apa pun bila dikerjakan dengan bahagia akan mendatangkan makna mendalam bagi hidup kita. Di titik inilah rasa lelah di kantor dan pabrik tak selalu berbanding lurus dengan upah yang Anda dapatkan.
Duc in altum! dengan demikian justru cocok bagi siapa pun, dan terutama mereka yang hidupnya serba sangat teratur (walaupun keteraturan membuat hidup terasa kosong dan hampa). Sebab, secara logis, hanya mereka yang tak punya waktu (untuk diri sendiri)-lah yang akhirnya bisa mencuri-curi waktu untuk dirinya. Artinya, tim-schedule yang jelas akan merangsang pikirannya untuk berlari mencari kebebasannya.
Duc in altum! dengan demikian adalah seruan magsi bagi siapa saja yang yang mau keluar dari kebiasaan robotic-nya, mereka yang sudah terbiasa "menyala" saat ada orang lain yang "menyalakannya", atau mereka yang "padam" bila ada orang lain yang "memadamkannya".
Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam, Duc in altum! menjadi basis langkah semua orang yang bangun dari tidur, bangkit dari keterpurukan, tetap berlari saat pincang, dan terutama bagi mereka yang tak berhenti mengatakan cinta, tak puas hanya tahu sedikit saja, mereka yang tak hanya membaca tanpa bernafsu mengerti isi bacaannya.
Seruan Duc in altum! bukanlah seruan kosong, dan pasti bukan media penghantar orang pada keserakahan dan kesombongan diri. Sebaliknya, keserakahan dan kesombongan justru berasal dari mereka yang mangkal di tepi "kehidupannya". Mereka hanya menikmati dari jauh: birunya laut dan gagahnya ombak serta bisikan angin yang menghantar kesegaran nafas mereka.
Mereka yang di tepi kerap terpana dengan keindahan, dan memandang keindahan mutlak sebagai kelembutan. Mereka tak tahu kalau tsunami juga bermula dari keindahan maha-dahsyat lekukan ombak. Mereka yang begitu betah bermalas-malasan di tepi bahkan kerap tertipu oleh keindahan nun jauh di hadapannya.
Di titik inilah seruan Duc in altum! hanya cocok bagi mereka yang berjiwa petarung dan tak suka dengan kemenangan atau kekalahan yang biasa-biasa aja. Ia adalah seorang sang climber yang mendaki puncak gunung hingga tuntas tetapi serentak akurat dalam perhitungan cuaca.
Duc in altum! dengan demikian justru cocok bagi siapa pun, dan terutama mereka yang hidupnya serba sangat teratur (walaupun keteraturan membuat hidup terasa kosong dan hampa). Sebab, secara logis, hanya mereka yang tak punya waktu (untuk diri sendiri)-lah yang akhirnya bisa mencuri-curi waktu untuk dirinya. Artinya, tim-schedule yang jelas akan merangsang pikirannya untuk berlari mencari kebebasannya.
Duc in altum! dengan demikian adalah seruan magsi bagi siapa saja yang yang mau keluar dari kebiasaan robotic-nya, mereka yang sudah terbiasa "menyala" saat ada orang lain yang "menyalakannya", atau mereka yang "padam" bila ada orang lain yang "memadamkannya".
Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam, Duc in altum! menjadi basis langkah semua orang yang bangun dari tidur, bangkit dari keterpurukan, tetap berlari saat pincang, dan terutama bagi mereka yang tak berhenti mengatakan cinta, tak puas hanya tahu sedikit saja, mereka yang tak hanya membaca tanpa bernafsu mengerti isi bacaannya.
Seruan Duc in altum! bukanlah seruan kosong, dan pasti bukan media penghantar orang pada keserakahan dan kesombongan diri. Sebaliknya, keserakahan dan kesombongan justru berasal dari mereka yang mangkal di tepi "kehidupannya". Mereka hanya menikmati dari jauh: birunya laut dan gagahnya ombak serta bisikan angin yang menghantar kesegaran nafas mereka.
Mereka yang di tepi kerap terpana dengan keindahan, dan memandang keindahan mutlak sebagai kelembutan. Mereka tak tahu kalau tsunami juga bermula dari keindahan maha-dahsyat lekukan ombak. Mereka yang begitu betah bermalas-malasan di tepi bahkan kerap tertipu oleh keindahan nun jauh di hadapannya.
Di titik inilah seruan Duc in altum! hanya cocok bagi mereka yang berjiwa petarung dan tak suka dengan kemenangan atau kekalahan yang biasa-biasa aja. Ia adalah seorang sang climber yang mendaki puncak gunung hingga tuntas tetapi serentak akurat dalam perhitungan cuaca.
Itu berarti seruan Duc in altum! ini tak penting bagi seorang pimpinan peruaahaan yang lebih pusing dengan jas dan dasinya ketimbang memikirkan bawahan yang bahkan selalu telat mendapatkan gaji mereka.
Atau, di dunia pendidikan, seruan Duc in altum! tak berguna bagi para profesor pengumpul gelar tapi selalu marah saat tak bisa menjawab pertanyaan mahasiswa dan mahasiswinya.
Sebaliknya, seruan Duc in altum! hanya akan didengarkan oleh dosen yang selalu mempersiapkan materai kuliah yang akan diajarnya - bukan karena ia belum tahu, tetapi karena ia ingin sungguh tahu - sehingga para mahasiswanya akan memahami apa yang dikatakannya.
Hanya saja, bila hidup kita ingin berarti, maka kita harus berani mengubah kebiasaan pola pikir yang konsentif hingga langkah perubahan terasa berat. Bahasa Simalungun menyebut dua pilihan dalam menjalani hidup, yakni "pasomalhon hasintongan" (membiasakan kebiasaan - hingga tak tahu apakah kebiasaan itu benar atau salah ) atau "pasintonghon hasomalan" (meluruskan kebiasaan - yang akhirna diketahui salah) .
Mari bertolak ke tempat yang lebih dalam. Duc in altum!
Atau, di dunia pendidikan, seruan Duc in altum! tak berguna bagi para profesor pengumpul gelar tapi selalu marah saat tak bisa menjawab pertanyaan mahasiswa dan mahasiswinya.
Sebaliknya, seruan Duc in altum! hanya akan didengarkan oleh dosen yang selalu mempersiapkan materai kuliah yang akan diajarnya - bukan karena ia belum tahu, tetapi karena ia ingin sungguh tahu - sehingga para mahasiswanya akan memahami apa yang dikatakannya.
Hanya saja, bila hidup kita ingin berarti, maka kita harus berani mengubah kebiasaan pola pikir yang konsentif hingga langkah perubahan terasa berat. Bahasa Simalungun menyebut dua pilihan dalam menjalani hidup, yakni "pasomalhon hasintongan" (membiasakan kebiasaan - hingga tak tahu apakah kebiasaan itu benar atau salah ) atau "pasintonghon hasomalan" (meluruskan kebiasaan - yang akhirna diketahui salah) .
Mari bertolak ke tempat yang lebih dalam. Duc in altum!
Posting Komentar