Dalam penggunaannya sebagai kata kerja, "berkamuflase" (v) berarti menyamar; memakai samaran. Hewan yang biasa diidentikkan dengan terminologi ini adalah bunglon selalu (yang selalu menyamar dengan cara menyesuaikan warna kulitnya sesuai dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam ruang yang lebih luas, terminologi kamuflase juga sering mengarah pada sikap "munafik", yakni orang yang sering tampil dengan senyum manis, tetapi sesungguhnya hatinya sinis dan sadis".
Sangat disayangkan ketika sistem kepemimpinan di negara kita masih berkutat pada persoalan pencitraan dalam arti negatif, yang dilakukan oleh satu atau banyak orang demi menapaki tahta kekuasaan yang diinginkannya.
Para pencinta model kepemimpinan pencitraan (secara negatif) dalam dunia politik selalu berusaha membentuk citra mental pribadinya secara visual demi mendapatkan simpati masyarakat / atasan yang memiliki hak menggiringnya menjadi penguasa.
Ada banyak contoh yang mempermudah pemahakan kita tentang kemuflase politik ini. Sebut Ratna Sarumpaet, Rachmawati Soekarnoputri, Fadli Zon, Ahmad Dani, and the gangs yang selalu meremehkan presiden Jokowi demi mendapat perhatian publik.
Atau, jangan lupa juga dengan cara-cara FPI yang berteriak bahwa Ahok harus diusir dari DKI karena tak sesuai dengan ajaran agama tertentu, sembari membentuk Gubernur DKI tandingan yang kini entah raib kemana. Teriakan kamuflatif dari Rizieq dan FPI-nya itu ternyata tak membantu mereka mendapatkan kekuasaan.
*****
Sebaliknya pencitraan tanpa berkamuflase alias penggambaran diri secara positif, riil, aktual dan apa adanya ternyata jauh lebih ampuh.
Ketika Jokowi dituduh pencitraan dengan tampil pura-pura sederhana, maka kita disuguhi penampilan yang sederhana secara konsisten dan tak berpura-pura alias ap adanya. Perkawinan putra seorang presiden pun tak dimanfaatkan oleh Jokowi sebagai pernikahan putra sang raja.
Demikian juga dengan Ahok. Ketika lawan-lawan politik menuduhnya sebagai pemimpin yang kasar, arogan dan tidak peduli dengan rakyatnya, maka Ahok dengan konsisten membiarkan dirinya sebagai sosok nyata yang juga memiliki kekurangan tetapi ia konsisten mencintai rakyatnya lewat tindakan nyata.
Kita butuh Ahok-ahok dan Jokowi-jokowi lain untuk meluluhlantakkan kemunafikan dan membombardir gaya berpolitik bermodalkan pencintraan. Sebab, biar bagaimana pun sosok pemimpin adalah representasi dari rakyat yang dipimpinnya. Bila mereka terbiasa munafik maka bawahan hingga rakyatnya pun tak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang goib.
Lusius Sinurat
Posting Komentar