Baka belanja di pasar tradisional atau pasar modern... jumlah sekolah yang tersedia sangat menjamur . Tak hanya sekolah yang sudah mapan dari sudut pengalaman di kancah pendidikan nasional, tetapi juga seiring bisnsi sekolah yang menjanjikan, sekolah baru banyak bermunculan.
Di atas semua kondisi itu, para orangtua ingin sekali menyekolahkan anaknya di sekolah yang marak prestasi dan minim 'gosip miring'. Intinya, semua orangtua ingin anaknya bersekolah di sekolah yang terbaik, bahkan mereka tak mau ambil pusing dengan harga yang harus dibayar demi "ijazah" anak-anak mereka.
Pasar menjawab kebutuhan dan keinginan masyarakat. Lahirlah sekolah-sekolah baru yang mencanangkan tagline: "Sekolah terbaik, akreditasi A+".
Gayung bersambut. Orang tua mulai berselancar di dunia maya, mencari di mana sekolah terbaik itu berada. ibu-ibu saling bertanya saat arisan, saat ngobrol santai di pendopo rumahnya, bahkan ketika bertemu di mall dan di tempat lain biasanya mereka berkumpul.
Benar saja. Mereka menemukan beberapa lembaga pendidikan yang menyediakan sekolah-sekolah yang telah terbukti berhasil mengembangkan berbagai potensi mental, spiritual dan intelektual.
Lantas para orangtua, tentu saja yang secara ekonomi tergolong mumpuni, mulai memperebutkan sekolah dimaksud. Sekali lagi, mereka tak ambil pusing dengan harga yang harus dibayar.
Tentu saja fakta ini bertalian dengan hukum pasar, yang melegalkan harga melambung ketika permintaan akan barang/jasa semakin tinggi.
Jelas sekali sekolah-sekolah jenis ini "mahal", bahkan untuk golongan masyarakat menengah ke bawah, biaya setinggi ini tak bisa mereka tutupi dengan pendapatan mereka setiap bulannya. Hingga akhirnya, mereka harus puas untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang hidup dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dari mendiknas.
Fakta ini tentu saja sangat disayangkan. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah "super" itu justru berakibat fatal, yakni TIDAK SEMUA ORANG MEMILIKI PELUANG UNTUK DAPAT MENGAKSESNYA.
Di titik inilah Anies Baswedan selaku menteri pendidikan harus berpikir ulang tentang "pasar pendidikan" yang sudah sekian lama tunduk pada pasar. Ada solusi, pak menteri?
Posting Komentar