Marta, si gadis pekerja keras |
Sebagai orang beriman, Marta sungguh menyadari eksistensinya sebagai manusia yang harus menghidupi dirinya dengan bekerja.
Sebagai perwujudan dari eksistensinya itu, Marta pun tak kenal lelah saat bekerja.
Seperti kebanyakan perempuan, terutama kaum ibu, Marta merasa "melayani tamu" (cf. Injil Lukas: menghidangkan makanan bagi tamu) jauh lebih esensial daripada 'hanya' berbincang-bincang dengan mereka.
"Tamu harus dikenyangkan dan dipuaskan, agar mereka pulang dengan senang dan bukan malah kecewa", kira-kira begitu pikiran Marta.
Prinsip Marta ini sah-saha saja. Hal itu menegaskan bahwa Marta adalah manusia normal. Hanya saja Marta tak terbuka pada prinsip orang di luar dirinya. Ia hanya berhenti pada prinsipnya tadi.
Ujung-ujungnya Marta merasa capek sendiri. Rasa capek itu semakin membuncah ketika ia menyaksikan saudarinya Maria malah asyik ngobrol dengan Sang Tamu, Yesus.
Di dunia nyata saat ini pun, tindakan Maria tampak tak lazim, malah justru tindakannya membuat Marta meradang. Marta tak hanya kehilangan konsentarasi saat bekerja, tetapi serentak pekerjaannya pun tidak maksimal.
Marta tak saja fokus pada apa yang dikerjakannya, tetapi juga pusing dengan orang yang tidak sama prinsipnya dengan dia.
Lantas mengapa Marta justru tidak merasa puas dengan apa yang telah dikerjakannya? Mengapa ia bersungut-sungut dan mulai menyalahkan orang lain atas pekerjaan yang ia geluti?
Marta, representasi pola hidup seorang workaholic
Marta adalah representasi pola hidup seorang workaholic yang selalu menomorsatukan pekerjaan, kesibukan, atau sesuatu yang menghasilkan dan memberi kepuasan, sembari mengesampingkan siapapun yang menurutnya tidak menghasilkan sesuatu.
Bagi Marta, manusia hanyalah obyek dan pekerjaan adalah subyeknya. Sebuah pekerjaan, bagi tipe workaholic hanya akan berhasil bila ia kerjakan sendiri dan sebisa mungkin tidak ada orang lain, apalagi orang lain itu hanya mengamatinya atau tak mempedulikannya samasekali.
Akhirnya, si workaholic akan memandang keberadaan orang lain sebagai batu sandungan yang siap menghalanginya untuk bekerja.
Begitulah kita memahami protes Marta atas 'diam'nya Maria; dan protes itu tak lain adalah kompensasi atas ketidakberhasilannya mengerjakan sesuatu. > Lanjut Baca!