"Enak 'kali tuak di kampung ini," kata Hendri kepada temannya Jasinus Saragih.
"Apa sih kriteria tuak enak?" tanya Ency yang duduk tak jauh disebelah Hendri.
"Tuak yang enak itu ya tuak yang enak di mulut dan tidak bikin muntah," cetus Jasinus Saragih yang memang baru amatiran dalam hal minum tuak.
"Bukan lae... bukan gitu," sela Hendri yang memang lebih paham tentang tuak ini. Selain karena ia jago tuak, ternyata juga keuarganya punya sejarah paragat (orang yang bekerja sebagi petani nira tuak).
"Tuak yang enak itu adalah tauk murni yang hanya dicampur dengan 'raru' (sejenis kulit pohon yang yang biasanya direndam ke tuak hingga tuak terasa nikmat dan alkoholnya terasa enak)," tambah Hendri bersemangat.
"Aku tidak tahu menahu kali pun mana tuak yang baik mana tuak yang tidak baik, mana tuak yang enak dan mana tuak yang tidak enak," celetuk Dame
"Aku malah enggak tau kayak apa rasanya minum tuak. Aku sih hanya tahu mardemban dan marsuntil," celetuk Ria disambut tawa para sahabat yang ikut nimbrung dalam pertemuan itu.
"Aku juga gak suka minum tuak, tepatnya gak bisa menikmati tuak. Rasanya asemnya membuat gigi ngilu, apalagi tuak bagiku tampak kayak air comberan, putih kecoklat-coklatan, atau mirip air tajin.
Aku sendiri tak bisa membayangkan mengapa orang begitu "erat melekat" alias ketergantungan dengan tuak. Anehnya begitu banyak orang yang minum tuak adalah generasi produktif, mereka yang berada di usia emas 30-45 tahunan.
Bisa jadi ketergantungan orang dengan tuak sama dengan ketergantungan seseorang dengan rokok atau minuman keras, bahkan narkoba.
Tapi tunggu dulu ! Tuak tak selalu berjalan simetris dengan mabuk-mabukan, sebagaimana juga rokok tak lantas sama dengan pemakai narkoba. Ini yang diamini sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nias, Bali, bahkan di beberapa daerah Jawa yang masih mengenal tuak. Tentu dengan nama yang berbeda dan juga dengan kemasan yang berbeda.
Bagi orang Batak yang akrab dengan tuak, keterikatan masyarakat dengan tuak tak selalu terkait dengan minuman keras.
Pada umumnya tuak terbuat, tepatnya bersumber dari pohon nira, dan beberapa suku seperti nias lebih suka tuak dari pohon kelapa.
* * * * *
Tanpa bermaksud mengurai sejarah atau asal muasal tradisi minum tuak, aku hanya ingin mengatakan satu hal unik tentang tuak, yakni "Tuak itu simbol pergaulan". Bahwa ada ekses jadi mabok, itu hanya salah satu efek negatif.
Sebab secara kultural, sejauh mata memandang dan sejauh jarak bisa diajak berkompormi, aku melihat sebuah fakta menarik bahwa lebih banyak orang yang meminum tuak untuk sekedar menghangatkan badan dan me-recharge pertemanan lewat minum bersama di lapo.
Lantas mengapa tuak tak terpisahakn dari kehidupan masyarakat Batak, terutama kaum prianya? Benar bahwa tuak tak terpisahkan dari lapo tuak, dan dinamika perjalanan lapo tuak di tanah batak tergolong genit kalau tak bisa dikatakan gesit.
Secara teoretis, menurut sahabat Hendri Sitopu, secara arkhaik dalam kultur Batak (Simalungun), potensi simbolik tuak dapat dibagi berdasarkan nama yang dilekatkan pada jenis tuak tersebut. Pembagian ini juga didasarkan pada cara meracik tuak dimaksud.
Menurut Hendri terdapat 6 jenis tuak, yakni:
- Tuak Mangombah (menggendong) - jenis tuak ini biasanya memberi efek mabok dan merangsang rasa kantuk peminumnya.
- Tuak Manggarayangi (menggerayangi) - jenis tuak ini diracik untuk menaikkan libido pria hingga seseorang setelah meminumnya tak kuasa lagi mengendalikan nafsunya.
- Tuak Paringor (menaikkan 'tensi' emosi) - jenis tuak yang satu ini diracik demi meninggikan emosi tak terkendali, dan tak jarang melibatkan peminum tuak ini terlibat dalam pertengkaran dengan yang lain.
- Tuak Mamokpok (merusak pikiran) - jenis tuak ini diracik untuk menyerang pikiran, hingga otak pun linglung, bahkan seseorang yang meminum tuak ini suka berbicara sendiri setelah meminumnya.
- Tuak Pining Hortuk - tuak jenis ini memiliki efek yang paling parah, karena ia memicu detak jantung semakin kencang berdenyut, dan bila tak bisa mengendalikan emosi ia akan segera mati olehnya.
- Tuak Nasomal (tuak normal)- jenis tuak inilah yang kini yang mendominasi lapo-lapo dan dalam kadar minim (1-3 gelas) tak berakibat parah.
Begitulah tuak mewarnai kehidupan masyarakat Batak, khususnya di daerah simalungun sebagaimana telah disinggung di atas.
Hebatnya lagi, istilah lapo tuak sering diplesetkan sebagai lapangan politik. Ternyata 'plesetan' ini tak sekedar pepesan kosong. Di lapo tuak apa pun dibicarakan. Karena didominasi oleh kamu pria maka di lapo tuak tema politik ternyata lebih menggelitik.
Pembicaraan pun selalu mengalir asyik di lapo tuak, dan tak jarang kebijakan pengembangan sebuah desa atau masyarakat yang tinggal di dalamnya sering dirumuskan dengan asyik di sana. Asyiknya lagi, cara berkompromi kerap dihiasi seraya mendendangkan lagu-lagu syahdu dan bernuansa daerah.
Namun, sangat disayangkan ketika lapo tuak di hari-hari ini malah sering dijadikan tempat mengurai kepentingan demi kepentingan, dan tak jarang kepentingan itu adalah kepentingan politik.
Posting Komentar