Siapa yang kenal Haji Lulung sekarang ini? Pasti banyak juga sih. Cuma bila Anda pengguna Facebook, Twitter dan media sosial lain, atau Anda seorang pembaca setia media cetak... pasti Anda pernah mengenal nama ini.
Lulung mulai 'terkenal' kendati dalam konteks 'miring' sejak pertikaiannya di tanah abang (2014) dengan sang Wakil Gubernur kala itu, Ahok (Basuki Tjahaja Purnama).
Kini pun terkenalnya Lulung masih dalam konteks pertikaiannya dengan orang yang sama, hanya bedanya, sekarang Ahok sudah menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Lantas beberapa orang yang mencermati kondisi ini lantas dengan gegabah berani menyimpulkan bahwa cara Lulung menjadi terkenal adalah cara dari kebanyakan politisi terkenal: menciptakan konflik karena kepentingan pribadi.
Namun dibalik ketenaran Lulung sebagai figur yang tidak disukai sebagian besar masyarakat ternyata tak bisa dilepaskan dari kompetitornya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Sebagaimana dalam tulisan-tulisanku sebelumnya, sejak menjabat di DKI, entah sebagai wakil gubernur dan kini menjadi Gubernur, Ahok ternyat telah memainkan gaya berpolitik ala koboi (cowboy) yang secara lembut menggiring masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, tetapi serentak tak bisa menahan amarahnya ketika bawahannya menyimpang dari jalan yang telah digariskan.
Tak tanggung-tanggung, Ahok bahkan rela mencambuk rekan kerjanya yang membandel, melecit saat mereka lamban bekerja, berteriak saat instruksinya tak didengarkan, memaki bila mereka membandel.
Namun, di sisi lain, Ahok akan segera terenyuh melihat rakyatnya yang miskin, menangis dan segera mencari solusi saat rakyatnya tak mampu membayar biaya rumah sakit, serta memuji selangit bawahannya yang bersih dari korupsi dan bekerja keras bersamanya.
Ahok seakan menjadi paradoks dari realitas hukum di negeri ini, yang "tumpul ke atas dan tajam ke bawah". Ahok persis membalik praktik di atas. Bagi Ahok, tepatnya cara Ahok memimpin adalah dengan cara "TAJAM ke atas dan TAJAM ke bawah".
Baginya tak ada pembedaan siapa rakyat dan siapa tuan. Ia tak pusing dengan latarbelakang orang lain, pun tak pusing dengan cara yang dilakukan orang lain. Baginya, hasil / tujuan jauh lebih penting daripada sekedar cara.
Sayangnya, sebagaimana dikeluhkan oleh para politisi konvensional, Ahok bukanlah tipe FOLLOWER alias pengikut atau penerus dari pemimpin sebelumnya.
Ahok punya cara sendiri, dan cara itu tampak unik. Walaupun cara yang hampir sama sudah pernah dipraktikkan oleh beberapa pemimpin dunia di negara lain, seperti Lee Kwan Yew atau gubernur DKI Ali Sadikin.
Tetapi AHok tetaplah Ahok. Ia memiliki INTEGRITAS yang tak bisa diragukan lagi (Ahok: Integritas yang Meretas). Ahok juga tampil bak seorang Aristotes yang rela mati demi kebenaran dan ia TEGUH PADA PRINSIP hidupnya (Ahok, Si Penggema Suara Hati).
Ini yang membuat Ahok dikenal sebagai tokoh ANTIKORUPSI: "Daripada korupsi, lebih baik mati; sebab mati dalam kebenaran dan kejujuran adalah keuntungan." (Perisai Anti Korupsi).
Bagi Ahok, seorang politisi pada akhirnya dikatakan unggul, ulung dan berhasil justru ketika mayoritas rakyat yang memilih maupun tidak memilihinya bersedia menemani dan mendukung perjalanan mereka, bahkan ketika elit politik di sekitarnya bermaksud memakzulkan mereka (Politik Versus Niat Baik).
Pendek kata, di titik tertentu Ahok memiliki keselarasan antara apa yang ada di pikiran dan hatinya dan ia ekspresikan dalam tingkah lakunya (Sinergitas antara Sabda dan Lakutapa). Bagi Ahok, "kekuatan dan kehebatan dari seorang pejabat publik justru ketika ia menunjukkan dia bersih, transparan dan profesional; dan ia harus percaya bahwa orang yang bersih, transparan, profesional itu tidak pernah rugi."
Masih menurut Ahok, seorang pemimpin harus MELAWAN KETIDAKADILAN yang terjadi di sekitarnya, sebab kalau tidak seseorang sama saja dengan menghina sabda Tuhan-nya.
Dalam konteks inilah kita bisa membaca secara lengkap tentang pertikaian alias konflik antara Sang Gubernur DKI dan DPRD-DKI yang bermulai dari potensi penyelewengan dana yang dibongkar habis oleh sang gubernur.
Haji Lulung Lunggana, yang dikenal dengan nama Lulung, disamping M. Taufik, adalah salah satu anggota DPRD-DKI yang secara kebetulan adalah ketua dan wakil ketua DPRD yang terang-terangan tersinggung dengan cara Ahok.
Singkat kata, Ahok dan Lulung menjadi terkenal, kendati dalam arena yang berbeda. Kalau Lulung dijadikan sebagai tokoh yang bodoh dan tak berpihak pada rakyat, sementara Ahok terkenal sebagai tokoh antikorupsi dan pemimpin yang diidolakan rakyatnya.
Bila Lulung dicemooh dan akhirnya dipecat oleh partainya, sementara Ahok yang telah meninggalkan partainya malah didukung dan semakin dicintai rakyatnya.
Akhirnya, lewat media sosial, Anda berhak memilih menjadi pesohor positif atau pesohor negatif. Sayangnya, Lulung telah memilih menjadi pesohor negatif ! Saat Ahok memilih menjadi pesohor yang secara kasat mata mendapat dukungan massa, eh si Lulung malah memilih menjadi si Longor (Batak: si bodoh).
Semoga Anda tidak salah kaprah dengan menjadikan sosial media sebagai ladang popularitas negatif Anda, seperti Farhat Abbas, Ahmad Dani dan tentu saja si Lulung!