Arti harafiahnya adalah "jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat." Artinya, jika jiwa seseorang sehat, maka tubuhnya pun akan sehat juga; begitu pula sebaliknya.
Ungkapan ini tampak sederhana, bahkan sangat sederhana. Namun, bila kita pahami secara lebih saksama, ungkapan ini mengandung makna yang sangat mendalam. Ungkapan ini mengandung nilai filosofis tentang 'diri' manusia.
Dalam buku berjudul "Filsafat dan Manusia" karangan Prof. Dr. N. Drijarkara, SJ ditulis begini, "tubuh atau badan itu bermakna sebagai cahaya dari pancaran roh". Bagi orang beragama, tubuh atau cahaya tak lain adalah ciptaan Tuhan, yang diciptakan berdasarkan cinta. Bagi orang beriman, tubuh itu sangat mulia.
Tubuh itu indah. Sedemikan indah hingga eksistensi tubuh sering disejajarkan dengan keindahan bunga-bunga (tubuh perempuan) dan keindahan kumbang atau kegagahan seekor kuda (laki-laki). Keindahan tubuh, bagi orang beriman, justru karena ia bermula dari cinta, berawal dari cinta dua insan yang didasarkan pada cinta Tuhan kepada mereka berdua lewa perkawinan dan akhirnya kelahiran anak.
Artinya, tubuh berasal dari sesuatu yang tak terjamah namun bisa dipikirkan atau diimajinasikan. Itu cinta tadi; dan cinta itulah Tuhan. Bukankah Tuhan itu juga tak terjamah, tak tersentuh tetapi bisa kita pikirkan dan imani?
Kira-kira demikian analogi orang-orang beriman tentang Tubuh. Tubuh berasal dari cinta dan tubuh itu cinta yang harus diperjuangkan hingga bermuara pada ketiadaan. Sebab, tubuh bisa hidup untuk mati; sementara Tuhan ada pada Keabadian.
Kesucian tubuh oleh karenan perlu diusahakan. Pertama karena tubuh terpenjara oleh ruang dan waktu. Kedua, karena tubuh berjalan dalam titik sejarah tertentu. Ini fakta yang harus kita terima. Tidak bisa tidak. Harus.
Tak seorang pun bisa menegasi tubuhnya sendiri. Tak seorang pun bisa menggangap bahwa tubuhnya tidak ada. Sebab tubuh itu melekat pada dirinya sebagai mahluk hidup, sebagaimana juga jiwa dan roh kita.
Tubuh selalu bertalian dengan roh, sebagaimana ditekankan oleh penggagas filsafat modern, Rene Descartes. Menurut Descartes jiwa pastilah merupakan sesuatu yang berbeda dengan tubuh. Jiwa adalah itu satu hal, dan tubuh itu hal lain.
Tubuh itu ibarat benda fisik lainnya. Tubuh terdiri dari partikel-partikel yang bergerak dan memiliki keluasan. Sementara esensi jiwa adalah kesadaran dan pikiran. Keberadaan jiwa tak bergantung pada ruang dan waktu (seperti tubuh) karena ia merupakan “ substansi “ yang immaterial atau non fisik.
Tubuh, yang oleh Aristoteles, St. Paulus, Descartes, Sartre adalah penjara bagi jiwa, bisa kita pahami sebagai cara manusia memaknai tubuh. Pendapat ini tampak membenarkan apa yang diamini oleh St. Agustinus yang mengatakan bahwa tubuh adalah sumber dosa, media di mana manusia berpotensi melakukan dosa.
Sisi positif dari pandangan di atas adalah bahwa kita pun merawat tubuh, tak saja sebagai tubuh fisik, melainkan juga tubuh sebagi wadah bagi nyamannya roh dan jiwa kita.
Ungkapan ini tampak sederhana, bahkan sangat sederhana. Namun, bila kita pahami secara lebih saksama, ungkapan ini mengandung makna yang sangat mendalam. Ungkapan ini mengandung nilai filosofis tentang 'diri' manusia.
Dalam buku berjudul "Filsafat dan Manusia" karangan Prof. Dr. N. Drijarkara, SJ ditulis begini, "tubuh atau badan itu bermakna sebagai cahaya dari pancaran roh". Bagi orang beragama, tubuh atau cahaya tak lain adalah ciptaan Tuhan, yang diciptakan berdasarkan cinta. Bagi orang beriman, tubuh itu sangat mulia.
Tubuh itu indah. Sedemikan indah hingga eksistensi tubuh sering disejajarkan dengan keindahan bunga-bunga (tubuh perempuan) dan keindahan kumbang atau kegagahan seekor kuda (laki-laki). Keindahan tubuh, bagi orang beriman, justru karena ia bermula dari cinta, berawal dari cinta dua insan yang didasarkan pada cinta Tuhan kepada mereka berdua lewa perkawinan dan akhirnya kelahiran anak.
Artinya, tubuh berasal dari sesuatu yang tak terjamah namun bisa dipikirkan atau diimajinasikan. Itu cinta tadi; dan cinta itulah Tuhan. Bukankah Tuhan itu juga tak terjamah, tak tersentuh tetapi bisa kita pikirkan dan imani?
Kira-kira demikian analogi orang-orang beriman tentang Tubuh. Tubuh berasal dari cinta dan tubuh itu cinta yang harus diperjuangkan hingga bermuara pada ketiadaan. Sebab, tubuh bisa hidup untuk mati; sementara Tuhan ada pada Keabadian.
Kesucian tubuh oleh karenan perlu diusahakan. Pertama karena tubuh terpenjara oleh ruang dan waktu. Kedua, karena tubuh berjalan dalam titik sejarah tertentu. Ini fakta yang harus kita terima. Tidak bisa tidak. Harus.
Tak seorang pun bisa menegasi tubuhnya sendiri. Tak seorang pun bisa menggangap bahwa tubuhnya tidak ada. Sebab tubuh itu melekat pada dirinya sebagai mahluk hidup, sebagaimana juga jiwa dan roh kita.
Tubuh selalu bertalian dengan roh, sebagaimana ditekankan oleh penggagas filsafat modern, Rene Descartes. Menurut Descartes jiwa pastilah merupakan sesuatu yang berbeda dengan tubuh. Jiwa adalah itu satu hal, dan tubuh itu hal lain.
Tubuh itu ibarat benda fisik lainnya. Tubuh terdiri dari partikel-partikel yang bergerak dan memiliki keluasan. Sementara esensi jiwa adalah kesadaran dan pikiran. Keberadaan jiwa tak bergantung pada ruang dan waktu (seperti tubuh) karena ia merupakan “ substansi “ yang immaterial atau non fisik.
Tubuh, yang oleh Aristoteles, St. Paulus, Descartes, Sartre adalah penjara bagi jiwa, bisa kita pahami sebagai cara manusia memaknai tubuh. Pendapat ini tampak membenarkan apa yang diamini oleh St. Agustinus yang mengatakan bahwa tubuh adalah sumber dosa, media di mana manusia berpotensi melakukan dosa.
Sisi positif dari pandangan di atas adalah bahwa kita pun merawat tubuh, tak saja sebagai tubuh fisik, melainkan juga tubuh sebagi wadah bagi nyamannya roh dan jiwa kita.