MARDEMBAN ternyata bisa menguatkan akar-akar gigi. Pendapat ini yang umum diamini masyarakat di Saribudolok atau di tempat lain yang juga memiliki tradisi 'mardemban" atau makan sirih.
Demban atau daun sirih yang mengandung minyak atsiri yang mudah menguap berupa chavicol / chavibetle (C6H3OH) ini tergolong ke dalam jenis alkohol.
Di titik saya setuju ketika para penikmat sirih (pardemban) yang mengatakan bahwa demban itu bisa dijadikan sebagai obat pereda mulut, obat sariawan dan obat sakit gigi. Selain itu menurut mitos dan akhirnya diamini oleh ilmu kedokteran, demban juga sangat manjur mengobati batuk dan tuber colosis (TBC), sakit mimisan, hidung tersumbat, obat gatal, dan seterusnya.
Mitos mengenai fungsi demban di atas juga pernah saya dengarkan langsung dari oppung boru (nenek / grandmother) saya yang memang semasa hidupnya ia tergolong pardemban. Kisah menarik itu pula yang menggiring saya untuk sesekali ingin mengkonsumsinya. Jujur saja rasanya tidak enak. Rada pedas dan sepat mendominasi rasa di lidah saat mengunyah demban (sirih). Setelah memakannya, mulut dan lidah juga terasa kebas.
Justru karena saya tak bisa menikmatinya, maka aku selalu kagum kepada orang-orang yang memang candu dan bisa menikmati demban. Kejadian ini lah yang tadi sore aku saksikan di rumah Bang Bona Purba (Bona Petrus Purba, Ak, MM, CFE, CA yang tak lain adalah balon bupati Simalungun) yang memang asli asal Saribudolok.
Seperti kejadian yang terjadi tadi sore, saat Chyntria Anggreyni Sinaga (Ria) mangatuk (meracik) demban dengan ukuran big size, terutama suntil (tembakau sirih)-nya. Lantas apa itu DEMBAN?
Demban atau sirih (Piper betle L.) adalah tanaman merambat dan memanjat yang masuk ke dalam famili piperaceae dan merupakan tanaman asli India. Sirih mempunyai banyak nama daerah yang antara lain seureuh (Sunda), sedah, suruh (Jawa), sere (Madura), burangir (Mandailing), demban (Toba), cambai (Minangkabau), manuf (Timor), ganjeng (Ujung Pandang), dan bido atau lele (Ternate dan Tidore).
Dalam tradisi Batak, selain istilah "mardemban: juga akrab digunakan istilah "mardaunbari". Tradisi mardemban ini rupanya sudah melekat dalam budaya Batak sejak dulu. Bahkan Tradisi mardemban ini juga sudah melekat dalam upacara-upacara adat Batak.
"Mardemban" atau memakan demban (sirih) yang diracik bersama dengan pining (pinang), hapur (kapur sirih), gambir dan timbaho (serat tembakau).
Saat meraciknya, pastikan Anda memperhatikan komposisi yang proporsional: berapa lembar sirih, kapur sirih, gambir dan tembakau yang akan diracik. Sebab salah racik akan mengakibatkan rasa yang tidak nyaman di mulut, bahkan bisa juga mengakibatkan luka atau iritasi di sekitar rongga mulut.
Tadi sore, sahabat kami Chyntria Anggreyni Sinaga (Ria) meracik demban untuk ia makan dan untuk seniornya Ency Purba Tambak yang juga berharsrat mencobanya.
Disaksikan oleh Novitasari Purba, Jasinus Saragih dan Dame Purba, Ria dengan lihai dan lincah merasik 5 lembar daun sirih - sekitar 5 mg bubuk gambir, 3 iris pinang dan 5 oles kapur sirih basah dan 1/4 genggam tembakau sebagai sungkil atau suntil (yang berfungsi sebagai penyedap rasa sekaligus alat pembersih gigi, mulut).
Kejadian ini cukup langka bagi saya dan teman-teman yang menyaksikan gadis belia sudah begitu lancar dan akrab dengan demban. Ini yang membuat Dame Purba tak sabar memotret dan merekam si Chyntria Anggreyni Sinaga dan Ency Purba Tambak yang "memamahbiak" demban hasil racikan si Chyntria Anggreyni Sinaga sendiri.
Momentum "mardemban" dan "marsuntil" ini membuat sore kami begitu menyenangkan, apalagi saat itu juga kami sempat berbincang akrab dan mendapat petuah spiritual dari inang Sannaria br. Lingga, yang tak lain adalah ibu kandung dari bakal calon bupati Simalungun periode 2015-2020.
Kegembiraan ini pulalah yang mengiringi perjalan pulang kami dari Saribudolok, Silimakuta menuju SAHABAT BONA CENTER di Griya Hapoltakan Sondi Raya.
Niat membesuk inang kami, ibu Lingga ternyat tak sekedar memberinya 'spirit' dan kekuatan spiritual agar cepat sembuh, tetapi sebaliknya kami juga mendapat banyak petuah berharga dari si inang. Jadi, terimakasih inang nami, ibu kami, oppung kami.
Cepat sembuh ya... Biar 'merdemban' dan marsuntil lagi kita di rumah inang di Saribudolok!