Sumber: detikcom |
Dalam keseharian 'halak na lutu" ini suka memancing emosi, mulai dari tindakan sengaja memotong pembicaraan, sok tahu kendati tak nyambung, bahkan dengan sengaja menonjolkan dirinya dan tidak mau tahu orang lain.
Mungkin Anda pernah bertemu atau malah berteman dengan "halak na lutu" ini. Cirinya seperti yang telah disebutkan di atas. Dalam pertemanan, dia selalu ingin lebih dominan. Itu yang selalu ia coba ungkapkan ditengah keramaian.
Dengan demikian "halak na lutu" (jolma si gessor, jelma nu riweuh) kurang lebih sama dengan seseorang dengan sifat eksibisionis. Ia senang menampilkan diri, menampakkan ketelanjangannya tanpa berpikir apakah orang lain suka tau tidak suka dengan tingkahnya.
Sayang sekali, "halak na lutu" alias si cerewet nan eksibisionis tak banyak disukai orang. Tentu, ada saja yang menyukai karakter seperti ini. Hanya tak banyak! Pertama-tama, pasti karena kebanyakan orang tidak suka dengan orang yang terlalu mengumbar kehebatannya, dan akan semakin parah bilah kisah kehebatan yang ia bungkus sedemikian rupa itu ternyata hanya pepesan kosong.
Tapi jangan salah. "Halak na lutu" tak sama dengan orang cerewet; kendati pada titik tertentu ia sama dengan orang cerewet. Hanya saja orang cerewet belum tentu menjadi "halak na lutu" .
Dalam dunia perpolitikan terbaru, kita mengenal Haji Lulung dan Taufik, yang tak lain adalah anggota DPRD DKI yang sedang "lutu" membenarkan diri dan memaki Ahok, sang gurbernur. Dan tingkat pusat, siapa yang tidak mengenal Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang kadang bicara untuk mengacau keadaan dan memancing amarah masyarakat?
Tapi itulah hebatnya "halak na lutu" . Mereka pintar memutarbalikkan fakta untuk mengabadikan kesalahannya di hati orang banyak. Ia senang dengan itu. Ia suka kalau menjadi figuran yang dibenci. Ia menyukai karakter antagonis dan sinis. Mengapa? Karena dari sanalah mereka makan. Dari sana mereka meraup segala yang ia butuhkan.
Akhirnya, "halak na lutu", kendati pintar memengaruhi orang lain demi keuntungan pribadinya, tetapi sangat disayangkan, mereka sering hidup dalam bayangan rasa bersalah, hingga senyumnya tak lagi merekah, tawanya tak lagi renyah, dan kata-katanya tak lagi dibalut oleh nada kejujuran. Ini bisa terjadi bila seseorang mengalamai penyakit "lutu" yang akut.
Makanya jangan "lutu" melulu hehehe :)
Lusius Sinurat
Mungkin Anda pernah bertemu atau malah berteman dengan "halak na lutu" ini. Cirinya seperti yang telah disebutkan di atas. Dalam pertemanan, dia selalu ingin lebih dominan. Itu yang selalu ia coba ungkapkan ditengah keramaian.
Dengan demikian "halak na lutu" (jolma si gessor, jelma nu riweuh) kurang lebih sama dengan seseorang dengan sifat eksibisionis. Ia senang menampilkan diri, menampakkan ketelanjangannya tanpa berpikir apakah orang lain suka tau tidak suka dengan tingkahnya.
Sayang sekali, "halak na lutu" alias si cerewet nan eksibisionis tak banyak disukai orang. Tentu, ada saja yang menyukai karakter seperti ini. Hanya tak banyak! Pertama-tama, pasti karena kebanyakan orang tidak suka dengan orang yang terlalu mengumbar kehebatannya, dan akan semakin parah bilah kisah kehebatan yang ia bungkus sedemikian rupa itu ternyata hanya pepesan kosong.
Tapi jangan salah. "Halak na lutu" tak sama dengan orang cerewet; kendati pada titik tertentu ia sama dengan orang cerewet. Hanya saja orang cerewet belum tentu menjadi "halak na lutu" .
Dalam dunia perpolitikan terbaru, kita mengenal Haji Lulung dan Taufik, yang tak lain adalah anggota DPRD DKI yang sedang "lutu" membenarkan diri dan memaki Ahok, sang gurbernur. Dan tingkat pusat, siapa yang tidak mengenal Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang kadang bicara untuk mengacau keadaan dan memancing amarah masyarakat?
Tapi itulah hebatnya "halak na lutu" . Mereka pintar memutarbalikkan fakta untuk mengabadikan kesalahannya di hati orang banyak. Ia senang dengan itu. Ia suka kalau menjadi figuran yang dibenci. Ia menyukai karakter antagonis dan sinis. Mengapa? Karena dari sanalah mereka makan. Dari sana mereka meraup segala yang ia butuhkan.
Akhirnya, "halak na lutu", kendati pintar memengaruhi orang lain demi keuntungan pribadinya, tetapi sangat disayangkan, mereka sering hidup dalam bayangan rasa bersalah, hingga senyumnya tak lagi merekah, tawanya tak lagi renyah, dan kata-katanya tak lagi dibalut oleh nada kejujuran. Ini bisa terjadi bila seseorang mengalamai penyakit "lutu" yang akut.
Makanya jangan "lutu" melulu hehehe :)
Lusius Sinurat