Gubernur dan bupati turun saat gotong royong di daerahnya. Polri turun tangan membersihkan gorong-gorong. Tentara turun ke sawah dan menanam padi.
DPRD turun dan menjanjikan kepada para petani yang tak lain adalah konstituennya saat berkunjung di masa resesnya. Bupati prihatin saat melihat jalan rusak di daerahnya.
Masih banyak contoh di media elektronik dan media cetak tentang berbagai aktivitas para pemimpin kita, entah presiden, gubernur, bupati, walikota, kapolri, panglima TNI, dan semua jajaran eksekutif dan legislatif.
Koran laris manis, hingga orang yang tak mengerti alur jurnalistik sekalipun mendadak menjadi penulis. Seperti koran atau berita harian, buletin mingguan, majalah bulanan pun bermunculan bak jamur tumbuh di tanah subur.
Tentu tak ketinggalan dengan media sosial yang menjamur di dunia maya. Media online menjamur, akun-akun grup meledak, fanpage bertumbuh pesat. Semua IP addres dengan akhirn .com, .net.id, .co.id, .web.id., .net, .info, dan .(dot) lain semakin laku.
Ada versi panjang dan ada versi pendek. Berita online adalah versi panjangnya. Fesbuk itu versi mediumnya. Sementara twitter itu media versi cacahan karena cuma memuat 140 karakter yang disediakannya.
Isi dari semua media itu didominiasi oleh berita tentang pemimpin, selebriti, pengamat, dan sesekali dihiasi tentang pembunuhan, pemerkosaan, penganiyaan, ancaman, penyiksaan, dan bentuk kekerasan lain.
Lain lagi di media picisan, yang dengan gagahnya menjual berita tentang video mesum, perselingkuhan, metode hubungan seksual, merawat organ vital, dan sejenisnya.
Hari-hari ini, seturut gesitnya pertumbuhan ala-alat komunikasi nan canggih, media adalah makanan harian kita. Karena media itu makanan, maka di dalamnya ada orang yang makan sesuai kebutuhan.
Namun seakan tak terhindarkan orang begitu rakus, hingga demi hasratnya mereka menghina, menjelekkan, meremehkan, mengancam atau menuduh orang lain sebagai penjahat. Untuk apa lagi kalau bukan demi memuaskan hasrat atau nafsu mereka?
Hari-hari ini, tak lagi jelas siapa penulis berita (news sender) dan siapa pembaca / pengkonsumsi berita (news reciever). Kin, tak lagi jelas terlihat prinsip penulisan standar sebuah berita, yakni 5 W+ 1H (Who, What, When, Where, Why + How).
Media, di satu sisi sangat menjembatani si penulis berita dan si pembaca berita, tetapi serentak media juga menjadi penghancur jembatan yang sudah mereka bangun sendiri. Kita semua tahu betapa media juga punya kelemahan dan efek negatif untuk kita.
Kita semua tahu, bahwa media punya keterbatasan untuk menjelaskan realitas. Siapa menyangka ketika banyak orang akhirnya memandang sosial media sebagai corong satu-satunya untuk mengekspresikan dirinya?
Siapa dari Anda yang menyangka bahwa pemerintahan, bisnis, perang, relasi personal, organisasi dan berbagai bentuk perkumpulan masyarakat bisa dikendalikan lewat media?
Apa yang terjadi hari ini adalah sebuah kemajuan yang layak dibanggakan oleh manusia sendiri. Tetapi serentak, kemajuan itu sebaiknya tidak lantas meninggalkan tradisi lama yang sudah berjalan.
Di kabupaten Simalungun, termasuk Saribudolok dan Raya tempat kami berkarya 3 bulan terakhir, saya kagum melihat orang tak lantas meninggalkan kesempatan bertatap muka hanya karena kecanggihan ponsel mereka.
Ada hari-hari tertentu yang oleh masyarakat dimaksimalkan sebagai ajang pertemuan di pasar mingguan (orang sini menyebutknya pokkan atau pekan). Bagi masyarakat di Simalungun yang mayoritas petani, hari Pokan adalah hari libur, tempat di mana mereka bisa bertemu kerabat dari desa terdekat.
Anda tahu, event seperti inilah yang tak bisa tertandingi oleh canggihnya teknologi. Bagi masyarakat Simalungun ini, hari di mana pasar mingguan dilangsungkan (Ari Pokkan) adalah media tercanggih dan terbaik untuk mereka. Mengapa?
Sebab, di Pokan/Pekan alias Pasar mingguan itu mereka tak saja bisa berkomunikasi dari hati ke hati, berinteraksi langsung lewat tatap muka, merancang kebersamaan lewat perjumpaan, bahkan mereka bisa melepas kerinduan satu sama lain.
Ketika pasar modern melulu sibuk dengan orang-orang yang sedang ber-transaksi, masyarakat di Simalungun dan di pedesaan pada umumnya justru menjadikan pasar sebagai tempat ber-interaksi.
Tak heran, betapa pun canggihnya kemajuan sarana komunikasi, masyarakat di Simalungun tak pernah melupakan komunitas mereka, entah komunitas marga, serikat, pesta adat serta berbagai kegiatan antar-desa.
Akhirnya, sendi-sendi kehidupan bersmasyarakat masih berlangsung seperti dulu.