Melalui refleksi ini aku tak bermaksud untuk bertutur gamblang tentang arti penderitaan; juga tak berniat menarasikan secara lengkap mengenai penderitaan dalam sejarah hidup manusia. Refleksi ini lahir dari permenungan panjangku tentang (cara orang melihat) penderitaan yang ada di sekitarku, bahkan saat di mana penderitaan itu mendekat dan mendekap hidupku.
Penderitaan vs Kesabaran
Salah satu obat bagi penderitaan adalah (ke)sabar(an). Cuivis dolori remedium est patientia (kesabaran itu obat mujarab bagi penderitaan kita)! Kesabaran adalah salah satu jalan keluar bagi mereka yang (sedang) mengalami penderitaan dalam hidupnya, terutama para korban bencana alam yang terjadi di beberapa daerah di republik ini. Sebab, kesabaran adalah salah satu cara manusia melibatkan kekuatan Tuhan -- entah melalui doa, entah melalu ucapan syukur atas “sentuhan” Tuhan di tiap tikungan derita mereka -- khususnya lewat cinta yang nyata dari orang-orang yang siaga membantu mereka. Di titik inilah semua hal, termasuk penderitaa sungguh bermakna bagi siapa pun yang mengalaminya.
Lantas, apa sesungguhnya makna penderitaan dan mengapa manusia menderita?
Inilah salah satu pertanyaan tersulit untuk dijawab dalam hidup kita. Sebab, di satu sisi penderitaan juga telah menggiring kita untuk sesegera mungkin mengkritisi ajaran agama (kita) yang menyatakan bahwa Tuhan itu baik. Nah, kalau saja Tuhan itu baik, lantas mengapa ia “membiarkan” penderitaan menghampiri hidup manusia? Jangan-jangan penderitaan adalah hukuman (langsung) dari Tuhan atas dosa-dosa kita?
Surat Apostolik, Salvifici Doloris (Penderitaan yang Menyelamatkan) yang mengajak kita untuk tidak dari Paus Yohanes Paulus II dengan jelas menguraikan kaitan langsung antara penderitaan dan dosa. Yohanes Paulus II mengangkat Kisah Ayub untuk menjelaskan hal ini.
Dengan membaca Kisah Ayub kita akan menemukan satu fakta bahwa penderitaan bukanlah pertama-tama sebagai hukuman atas dosa. Ayub digambarkan sebagai orang yang samasekali tidak pantas menerima hukuman (baca: penderitaan) yang ditimpakan kepadanya. Di sana dikisahkan bahwa Allah membiarkan iblis berkuasa atas segala hal yang dimiliki oleh Ayub (Ayub 1: 6-12). Allah membiarkan Ayub kehilangan segala miliknya, bahkan anggota keluarganya. Sungguh tidak masuk akal bagi seorang yang saleh seperti Ayub malah dibiarkan Allah menderita. Inilah sisi lain dari penderitaan Ayub, yakni bahwa pendertiaan Ayub sesungguhnya lebih bermakna uji coba akan ketulusan, dan bukan hukuman atas dosa Ayub.
Ayub dan Makna Penderitaan
Melalui Kitab Suci Perjanjian Lama, juga tercatat dalam Taurat dan Al Qur'an, kita tahu bahwa Ayub memang membuktikan ketulusan imannya. Kepercayaan Ayub akan Allah bukanlah kepercayaan yang menuntut balasan. Kecurigaan bahwa Ayub percaya kepada Allah karena kelimpahan yang dimilikinya sebagaimana dinyatakan dan dijadikan oleh iblis sebagai alasan untuk mengujinya (Ayub 1:9 cf Riwayat Nabi Ayyub AS terdapat dalam surat Al-Anbiyâ: 83-84 dan surat Sâd: 41-44) terbukti tidaklah benar. Ayub tetap percaya kepada Allah meskipun segala miliknya diambil darinya. Dan karena kesetiaannya itu, Allah mengembalikan segala milik Ayub, bahkan diberi-Nya lebih daripada apa yang dimilikinya sebelumnya (Ayub 42:10-17 cf. QS. Shad 44). Pendek kata, kisah Ayub memberi kita wajah baru mengenai penderitaan, yaitu penderitaan tanpa dosa.
Refleksi Paus Yaohanes Paulus II lewat Surat Apostolik Salvifici Doloris menggiring kita untuk menyadari betapa penderitaan bukanlah pertama-tama sebagai akibat langsung dari dosa. Benar bahwa penderitaan juga bermakna sebagai hukuman apabila penderitaan itu dihubungkan dengan suatu kesalahan; namun tidak tepat bila dikatakan bahwa segala penderitaan merupakan suatu akibat dari suatu kesalahan, apalagi tercermin dalam sebuah bentuk hukuman. Namun pertanyaan berikut terus saja menghantui kita:
- Apakah dengan demikian masalah selesai?
- Apakah masalah arti penderitaan manusia selesai dengan muara refleksi uji coba akan ketulusan, dan setelah uji coba selesai, kebahagiaan merupakan suatu keniscayaan?
- Apakah kepercayaan akan Allah menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia?
Ternyata, kisah Ayub tentang penderitaan sebagai ujian ketulusan kepada Allah juga tidak bisa menjelaskan arti sesungguhnya dari penderitaan di sekitar kita. Buktinya, tidak sedikit orang yang menderita sampai akhir hidupnya meskipun sesungguhnya mereka sangat percaya kepada Allah. Demikian halnya dengan kisah Ayub yang menjanjikan kebahagiaan setelah uji coba dari Tuhan (lewat penderitaan sementara yang Ayub alami) malah tidak terjadi,, dan yang kerap kali terjadi justru hal sebaliknya, yakni penderitaan tanpa akhir yang indah.
Di titik ini kita bisa memahami betapa baik hukuman atas dosa maupun uji coba akan ketulusan ternyata tidak cukup untuk menjelaskan arti sesungguhnya dari penderitaan manusia. Penderitaan tetaplah menjadi sebuah misteri yang tidak mudah dipahami dan karenanya juga merupakan misteri terdalam manusia.
Penderitaan Sebagai Tanda Kehadiran Allah
Refleksi mendalam atas penderitaan yang dialami manusia, terutama penderitaan akibat bencana alam yang terjadi hari-hari ini, pada akhirnya menggiring kita adalat tentang bagaimana seseorang – atas bantuan Tuhan lewat kehadiran orang yang mencintai mereka — bisa bangkit dari penderitaan mereka. Dalam bahasa sederhana, penderitaan di sekitar kita merupakan gerbang ajakan Allah agar kita satu sama lain saling memperhatikan, selalu siaga membantu mereka yang sedang dilanda derita di sekitar kita. Lewat penderitaan yang terbentang, Allah seakan mengajak kita menjadi orang yang siap “beserta” (being with) mereka yang menderita. Hal inilah yang ditonjolkan dalam teologi penderitaan atau teologi salib dalam ajaran Kristiani: Dalam teologi salib, penderitaan itu bisa dijelaskan dalam dua dimensi salib.
- Di satu sisi, Peristiwa Salib adalah jawaban sesungguhnya bagi setiap penderitaan manusia, sebab di dalam Yesus Kristus, penderitaan beroleh makna baru : “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 1: 29). Pendeknya, karena kebesaran kasih Allah akan dunia inilah Yesus Kristus datang, supaya manusia “tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”.
- Di sisi lain, melalui peristiwa Salib kita digiring pada pemahaman bahwa penderitaan akan selalu berakhir bila melibatkan Allah di dalamnya. Untuk melaksanakan karyaNya itu, Allah sendiri memilih jalan sengsara (St. Ignatius Loyola, Latihan Rohani [LR] (terj. J. Darminta SJ), Yogyakarta: Kanisius, 1993, no. 195 & no. 196).
Kehadiran Yesus Kristus di tengah-tengah manusia dan terutama sengsara, wafat dan kebangkitanNya menyatakan bahwa penderitaan telah dikalahkan oleh kebesaran kasih Allah dan karenanya diberi suatu makna baru. Dalam diri Yesus Kristus, Allah yang tak terbatas masuk dalam keterbatasan, bahkan masuk dalam misteri terdalam manusia, yaitu penderitaan dan kematian. Allah Pencipta dalam Yesus Kristus masuk dalam derita dan kematian manusia untuk mencipta dan menebus manusia (ibid, no. 223)...
- Karya keselamatan Yesus Kristus inilah yang memberikan dimensi baru kepada penderitaan. Dimensi baru itu adalah harapan. Benih-benih makna dalam kisah Ayub “tumbuh” dan “berbuah” lewat karya keselamatan Yesus Kristus. Penderitaan yang semula “tidak berarti apa-apa”, bahkan makna uji coba atas ketulusan, dalam Yesus memperoleh “faedah”-nya, yaitu harapan akan hidup kekal sebagai kemenangan atas kematian, dan kekudusan sebagai kemenangan atas dosa (SD, bab IV, no. 15, par. 4).
- Karya keselamatan Yesus Kristus memang tidak meniadakan penderitaan manusia di dunia. Namun, karya keselamatan itu memberi makna baru yang sangat penting, yaitu harapan: “Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus, demikian pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah” (II Kor 1: 5). Yesus Kristus, Putera Allah sendiri telah menyelamatkan dan menebus dengan ambil bagian dalam penderitaan manusia. Oleh karena itu, dari pihak manusia, dengan pertolongan iman, manusia ingin ikut ambil bagian dalam penderitaan Kristus itu, karena di dalam-Nya ada keselamatan dan penebusan (SD, Bab V, no. 20, par. 3).
Refleksi
Berdasarkan uraian di atas, kita tahu bahwa iman kristiani menyatakan bahwa penderitaan, apapun bentuknya bukanlah pertama-tama merupakan hukuman atas dosa, meskipun tetap mengakui adanya keterkaitan kompleks antara penderitaan dengan dosa. Pengertian akan Allah yang selalu mengasihi dan tidak pernah menghukum dapat membuat orang tetap berharap di tengah realitas segelap apapun.
- Salib Yesus memang menyimpan paradoks. Allah tersembunyi sekaligus terungkap. Allah yang absen sekaligus hadir. Allah yang meninggalkan sekaligus menyertai. Tetapi lewat penderitaan dan kelemahan Yesus, nyata bahwa kuasa Allah yang menyelamatkan. Padahal, sebagai simbol hukuman yang melecehkan dan merendahkan martabat, salib tak mungkin disukai; salib adalah batu sandungan (scandalum) dan kebodohan.
- Kendati demikian, paradoks di dalam salib adalah Allah yang menderita mampu menolong. Juga bersama dengan pengenalan akan Allah di dalam diri Yesus yang tersalib, teologi Kristen berdiri dan jatuh (Jürgen Moltmann, 1993).
Akhirnya, pemaknaan akan penderitaan tentu sangat menentukan sikap batin maupun reaksi seseorang ketika berhadapan dengannya. Orang yang memaknai penderitaan sebagai hukuman atas dosa bisa jadi akan mengadakan introspeksi ketika berhadapan dengan penderitaan. Namun, seringkali terjadi introspeksi semacam itu sampai pada titik terlemahnya sehingga dosa tak lagi cukup menjelaskan penderitaan. Bagi saya, refleksi ini menarik karena menumbuhkan harapan, dan bukan justru semakin memperkeruh suasana dengan menyalahkan diri sendiri atau orang lain dengan dosa. Dalam kesederhanaan iman semacam itulah benih-benih harapan akan tumbuh dan kembali memulihkan kehidupan.
Kutipan indah dari Al qur'an (QS. Shad: 41-44) ini layak kita renungkan bersama:
"Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika ia menyeru Tuhannya: 'Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.' (Allah berfirman): 'Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesugguhnya Kami mendapati dia (Ayuh) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia sangat taat (hepada Tuhannya)."
__________
Bacaan:
- Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. 1974.
- Jürgen Moltmann, The Crucified God: The Cross of Christ as the Foundation and Criticism of Christian Theology, tr. RA Wilson and J Bowden; Minneapolis: Fortress, 1993
- Loyola, St. Ignatius. Latihan Rohani (terj. J. Darminta SJ). Yogyakarta: Kanisius. 1993.
- Paulus II, Yohanes. Salvifici Doloris (Penderitaan yang Menyelamatkan), Surat Apostolik dari Paus Yohanes Paulus II tentang Arti Kristiani dari Penderitaan Manusia (terj. J. Hadiwikarta, Pr). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1993.
__________
Disarikan kembali oleh penulis dari tulisan dengan judul yang sama : Lusius Sinurat, Memaknai Penderitaan dalam Sebutir Pasir (Pengantar untuk buku Dedeh Supantini dengan judul Hanya Sebutir Pasir) di Bandung Februari 2012
Posting Komentar