Tiap tahun selalu tercipta prestasi Natal yang kemudian ingin dicatat di MURI atau di buku rekor tingkat nasional bahkan dunia. Sayangnya rekor yang dicapai itu adalah rekor sekunder dan bisa dibilang tak ada kaitan dengan esensi Natal.
Misalnya saja pohon Natal tertinggi, perayaan dengan jumlah umat terbanyak, atau peningkatan angka penjualan 'asesoris Natal ' sepanjang Natal , coklat Natal terbesar, sinterklas terbanyak memberi hadiah, iklan ucapan terbanyak di koran atau majalah, dan seterusnya.
Natal pun kerap dirayakan sebagai panggung para pengeruk keuntungan dan popularitas para pengkotbah selalu berapi-api mengutip Kitab Suci untuk membenarkan 'konstituen'-nya (minimal supaya para pendengarnya senang).
Hingga banyak pengkotbah 'idola' seperti mereka yang laris dibeli oleh orang-orang kristen sendiri yang lebih doyan menikmati 'kotbah pasaran' tadi daripada bersabar menanti saat kelahiran Yesus pada malam Natal.
Mereka seakan takut kehilangan pengkotbah idola mereka kalau harus menunggu sampai tanggal 25 Desember! Untuk itu mereka 'terpaksa' merayakan Natal versi mereka bahkan sejak pertengahan november dan bisa jadi sudah lelah merayakan natal mereka hingga tak ada lagi daya mengikuti perayaan hari Raya Natal malam tanggal 24 Desember dan 25 Desember.
Akibatnya, tak jelas lagi bagi banyak pengikut Yesus apakah Natal itu perayaan sebagai tanda syukur atas lahirnya Yesus atau perayaan syukur atas keberhasilan pengikut Yesus mengumpulkan banyak dana untuk merayakan kelahiran Tuhan dengan skala besar, pengkotbah tersohor, tarian dan nyanyian meriah, dan ribuan orang penting yang datang menghadirinya. Lanjut Baca!
Posting Komentar