Saat ratusan sarjana diluluskan, terlahirlah manusia-manusia bebas berkelana: ada yang meretas dengan nilai pas-pasan pun banyak yang tuntas dengan cerdas.
Di podium sana, para penjaga kata dan penjual pesona mengucap selamat dengan cermat, mengulangi nasihat para pendahulu: selamat, Anda sudah lulus! Selanjutnya silakan mengabdikan diri untuk negara dan bangsa!
Sayangnya, ini nada genbira tapi sekaligus was-was. Gembira karena pendidikan dan sistem yang mereka terapkan telah menelurkan ribuan, bahkan jutaan kaum terdidik yang kita namai sarjana. Mereka, kelak akan mengharumkan nama universitas tempat mereka menimba ilmu – sebagai alumni. Lagi, para dosen juga ada yang bersukaria karena mahasiswa/i yang kritis dan selalu menyulitkan mereka, kini telah pergi.
Fakta lain penabur suka cita ialah para mahasiswa yang kurang mampu secara intelektual kini telah meringankan beban para dosen – tentu setelah kami mereka “terpaksa” diluluskan. Waswas karena para penentu kelulusan para wisudawan/wati ini sungguh sadar bahwa para sarjana yang baru lulus ini belum bahkan tidak mengerti arti sesungguhnya dari pesan “mengabdi pada masyarakat”.
Mereka juga sadar bahwa setelah lulus, entah dengan Summa Cum Laude atau sekedar Cum Laude atau bahkan Cuma Lodeh, para sarjana harus membayar utang kepada orang tua mereka lagi pula, dari ribuan calon tenaga kerja yang baru ini justru banyak tidak menjual di masyarakat.
Ini soal kualitas manusianya Bung!!!
Ini soal kualitas manusianya Bung!!!
Lusius Sinurat
Sayangnya yang diluluskan tidak semuanya "Sarjana", dan menjadi sah ketika perilakunya memang tidak "sarjana" atau memang tidak mempunyai kekuatan sarjana. Terminologinya atau ekspetasinya yang harus dikoreksi .........???
BalasHapusTerimakasih atas komentarnya, Pak Intri Siswandi from Cimahi.
BalasHapus"Sayangnya yang diluluskan tidak semuanya "Sarjana", dan menjadi sah ketika perilakunya memang tidak "sarjana" atau memang tidak mempunyai kekuatan sarjana."
Pernyataan yang mumpuni dan menohok. Terminologi yang dipakai tidak ada yang salah. Ekspektasi yang salah, ketika sarjana dipandang sebagai modal untuk kerja dan bukan bekal untuk hidup. Maka semua orang berlomba "lulus dari universitas mana?" dan bukan "lulus untuk lebih menjadi diri sendiri."