"Daripada korupsi, lebih baik mati; sebab mati dalam kebenaran dan kejujuran adalah keuntungan." - Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012 - 2017
Jaman ini tampak telah berhasil mengaburkan makna "jujur dan tidak jujur", "benar dan tidak benar". Kebenaran begitu mudah digiring menjadi ketidakbenaran. Dalam konteks roda pemerintahan, kebenaran sedemikian mudah diputarbalikkan.
Si empunya omongan sesat yang biasa diungkap dengan mimik tanpa guratan rasa bersalah, dalam hitungan menit akan lantang memelintir kebenaran dari apa yang ia barusan ucapkan kepada publik. Maka apa yang telah diucapkan lima menit sebelumnya akan segera diletakkan dalam konteks yang berbeda pada lima menit kemudian.
Lihatlah betapa mudahnya pra eksekutif di negeri ini berubah tampilan dalam waktu singkat. Begitu juga dengan para "wakil rakyat" yang ada di lembaga legislatif sana - kebanyakan bertutur tanpa rumusan yang jelas.
Kerjanya membuat, merevisi atau meng-amandemen undang-undang, tetapi omongan keseharian mereka sangguh jauh dari tatanan bahasa yang runut sebagimana yang terdalam rumusan undang-undang hasil kerjaan mereka.
Melejitnya laju sarana teknologi komunikasi ternyata juga turut mengacaukan mana bahasa lisan dan mana bahasa tulisan. Semua menjadi kabur... dan tak pelak lagi, kata-kata pun demikian cepat menjadi bubur.
Begitu pula kebenaran dengan gesit dipermainkan oleh mulut-mulut yang mengunyah kebenaran hingga larut, hingga tak lagi ada bedanya antara apa yang dipikirkan dan apa yang keluar dari mulut.
Para penguasa di era terkini ternyata begitu mudah jatuh pada fenomena dunia virtual: antara yang dipublikasi berbeda dengan apa yang nyata ia lakoni, antara realitas keseharian dan realitas maya yang ia tampilkan di pengadilan akan jauh berbeda dan pasti akan membingungkan kita.
Realitas pun segera menjadi 'abu-abu' karena kasus suap atau karena banyaknya uang negara yang mereka gunakan memenuhi nafsu-nafsu. Ahok atau Pak Basuk, bersama Pak Jokowi ternyata menyadari fenomena terkini ini.
Mereka berkehendak mengembalikan ke surga apa yang semestinya akan kita nikmati di surga; dan meletakkan persoalan dunia kembali ke dunia. Ya, terutama Pak Ahok. Ia begitu 'galak' dan tak gentar mengusahakan misi jenis ini.
Bagi Ahok, kebenaran tak boleh disalahpahami sebagai kebenaran yang bersembunyi dibalik ketidakbenaran yang sedang terjadi.
Kerjanya membuat, merevisi atau meng-amandemen undang-undang, tetapi omongan keseharian mereka sangguh jauh dari tatanan bahasa yang runut sebagimana yang terdalam rumusan undang-undang hasil kerjaan mereka.
Melejitnya laju sarana teknologi komunikasi ternyata juga turut mengacaukan mana bahasa lisan dan mana bahasa tulisan. Semua menjadi kabur... dan tak pelak lagi, kata-kata pun demikian cepat menjadi bubur.
Begitu pula kebenaran dengan gesit dipermainkan oleh mulut-mulut yang mengunyah kebenaran hingga larut, hingga tak lagi ada bedanya antara apa yang dipikirkan dan apa yang keluar dari mulut.
Para penguasa di era terkini ternyata begitu mudah jatuh pada fenomena dunia virtual: antara yang dipublikasi berbeda dengan apa yang nyata ia lakoni, antara realitas keseharian dan realitas maya yang ia tampilkan di pengadilan akan jauh berbeda dan pasti akan membingungkan kita.
Realitas pun segera menjadi 'abu-abu' karena kasus suap atau karena banyaknya uang negara yang mereka gunakan memenuhi nafsu-nafsu. Ahok atau Pak Basuk, bersama Pak Jokowi ternyata menyadari fenomena terkini ini.
Mereka berkehendak mengembalikan ke surga apa yang semestinya akan kita nikmati di surga; dan meletakkan persoalan dunia kembali ke dunia. Ya, terutama Pak Ahok. Ia begitu 'galak' dan tak gentar mengusahakan misi jenis ini.
Bagi Ahok, kebenaran tak boleh disalahpahami sebagai kebenaran yang bersembunyi dibalik ketidakbenaran yang sedang terjadi.
Ya, kebenaran itu ibarat mawar berduri. Kita tahu bahwa tusukan durinya pasti menyakiti, hingga kita mungkin berhenti menggenggamnya, demikian juga kita merasa kebenaran itu cukup dinikmati dari kejauhan sana.
Kita lebih menyukai kebenaran sebagai 'narkoba' yang membuat kita fly; dan sebaliknya kita tak siap meletakkan kebenaran itu sebagai cara hidup (the way of life) kita.
Tapi tidak dengan Ahok. Beliau tak pernah takut dengan duri. Demi kebenaran sejati yang sepanjang hidupnya sebagai pejabat di negeri yang senang mempermainkan kebenarn ke sana - ke mari.
Ahok - bersama sang gubernur Jokowi, menyadari bahwa hitamnya hati para penguasa negeri ini telah menjadikan korupsi sebagai sarana memurnikan diri.
Banyak pejabat yang merasa puas memenuhi birahi mereka bersama wanita-wanita selain bini atau istrinya yang resmi yang ia beli dengan uang hasil korupsi. Entah itu dari hasil penjualan sapi, entah karena telah berhasil menyelewengkan uang pembangunan untuk negeri ini, entah karena demi partai-partai yang dijadikan kendaraan pribadi-pribadi.
Dalam konteks inilah, melalui aksi nyata dan juga lewat ungkapan pribadinya, Ahok berani bahkan nekat menegakkan kejujuran di negeri ini, bahkan sampai rela mati.
Ia tak rela menjadikan negeri ini larut dalam karut marut perpolitikan yang menafikan kebenaran. Ia tak rela rakyat menjadi korban dari para politisi yang mempermainkan kebenaran demi keuntungan diri.
Ketika para pejabat yang "kalah pamor" karena ulah mereka tak bisa diterima masyarakat mulai memperkeruh keadaan agar Ahok mundur dalam misinya, Ahok malah lebih ganas dan lebih garang melawan ketidakadilan yang tidak beradab yang sedang digembar-gemborkan 'lawan-lawan politiknya'.
Kepada sang istri ia berpesan bahwa dalam memperjuangkan kebenaran di negeri ini bisa saja ia dibunuh oleh mereka yang merasa terusik.
Kepada Veronica, sang istri, Ahok malah berpesan supaya 'kalau jenazahnya ditemukan, ia minta dimakamkan di Belitung, kota kelahirannya.
Ahok, yang kini menjadi simbol perlawanan atas ketidakadilan dan penyelewengan yang telah mendarah-daging dilakoni oleh para pejabat negara, sebagai salah dari antara mereka, merasa bertanggungjawab untuk meletakkan kembali kebenaran itu pada tempatnya.
Kebenaran itu harga mati. Kebenaran bukan kebenaran yang relatif. Kebenaran itu bukan demokrasi. kebenaran itu tunggal dan tak bisa dipolitisasi. Kebenaran itu tak bisa dilarutkan dalam polling atau survey sesaat.
Bahkan, ketika semua orang merasa benar, atau ketika si pejabat A, B, C, dst selalu merasa telah melakukan hal benar, maka masyarakat atau setiap orang yang menyaksikannya serentak akan tahu kalau itu bukanlah sebuah kebenaran.
Betul, bahwa demokrasi membuat kita lebih bebas dalam berekspresi. Ya, termasuk dalam mengungkapkan kebenaran versi kita. Tetapi, sesungguhnya kebenaran itu datang dari 'Atas' dan diletakkan oleh 'Sang Pemberi' di kedalaman hati kita.
Artinya, kebenaran itu ada di dalam hati kita semua. Ia adalah warna putih yang siap memurnikan warna hitam. kebenaran itu adalah terang yang siap menyirnakan kegelapan.
Ketika para pejabat ramai-ramai menutup-nutupi asal-muasal kekayaan mereka yang tiba-tiba membengkak, Ahok lagi-lagi malah mempublish besaran pendapatannya sebagai pejabat di DKI. Ia pun tanpa tedeng-aling menyeru ke media kalau di Jakarta, Gubernur dan Wagubnya Tak Terima Setoran.
Ahok memang mempesona. Sikapnya yang tegas dalam menegakkan kebenaran melalui konstitusi bahkan membuat para anggota dewan di negeri ini hanya bisa diam. Karena mereka sangat yakin kalau diri mereka sendiri turut bertanggungjawab atas kekacauan di negeri ini.
Lantas mengapa Ahok begitu berani memeberangus ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi?
Sejauh kami lihat, Ahok selalu mengingat apa yang pernah ia katakan dan lakukan untuk rakyat, dan sebaliknya ia juga sadar betapa ia dibesarkan juga oleh rakyat. Kesadaran ini membuat beliau tidak habis pikir dengan tingkah pejabat lain, termasuk atasannya, mendagri , ketua partainya, dan juga presiden sang bosnya yang tak henti-henti berubah-rupa !
Ahok, misalnya bukan orang yang membenci FPI (Front Pembela Islam), tetapi cara-cara kekerasan oleh ormas inilah yang tidak bisa dibenarkan olehnya. Lagi, dengan inkonsistensi mendagri, ketua partai, bahkan presiden dalam menyikapi kekerasan yang pernah dilakukan oleh FPI pun membuat Ahok harus 'berjalan sendiri'.
Saya cuma berharap Ahok tetap konsisten dalam mengusahakan kebenaran dan kejujuran dalam hidup dan tugasnya sebagai pelayan di negeri ini.
Dalam konteks inilah, melalui aksi nyata dan juga lewat ungkapan pribadinya, Ahok berani bahkan nekat menegakkan kejujuran di negeri ini, bahkan sampai rela mati.
Ia tak rela menjadikan negeri ini larut dalam karut marut perpolitikan yang menafikan kebenaran. Ia tak rela rakyat menjadi korban dari para politisi yang mempermainkan kebenaran demi keuntungan diri.
Ketika para pejabat yang "kalah pamor" karena ulah mereka tak bisa diterima masyarakat mulai memperkeruh keadaan agar Ahok mundur dalam misinya, Ahok malah lebih ganas dan lebih garang melawan ketidakadilan yang tidak beradab yang sedang digembar-gemborkan 'lawan-lawan politiknya'.
Kepada sang istri ia berpesan bahwa dalam memperjuangkan kebenaran di negeri ini bisa saja ia dibunuh oleh mereka yang merasa terusik.
Kepada Veronica, sang istri, Ahok malah berpesan supaya 'kalau jenazahnya ditemukan, ia minta dimakamkan di Belitung, kota kelahirannya.
Ahok, yang kini menjadi simbol perlawanan atas ketidakadilan dan penyelewengan yang telah mendarah-daging dilakoni oleh para pejabat negara, sebagai salah dari antara mereka, merasa bertanggungjawab untuk meletakkan kembali kebenaran itu pada tempatnya.
Kebenaran itu harga mati. Kebenaran bukan kebenaran yang relatif. Kebenaran itu bukan demokrasi. kebenaran itu tunggal dan tak bisa dipolitisasi. Kebenaran itu tak bisa dilarutkan dalam polling atau survey sesaat.
Bahkan, ketika semua orang merasa benar, atau ketika si pejabat A, B, C, dst selalu merasa telah melakukan hal benar, maka masyarakat atau setiap orang yang menyaksikannya serentak akan tahu kalau itu bukanlah sebuah kebenaran.
Betul, bahwa demokrasi membuat kita lebih bebas dalam berekspresi. Ya, termasuk dalam mengungkapkan kebenaran versi kita. Tetapi, sesungguhnya kebenaran itu datang dari 'Atas' dan diletakkan oleh 'Sang Pemberi' di kedalaman hati kita.
Artinya, kebenaran itu ada di dalam hati kita semua. Ia adalah warna putih yang siap memurnikan warna hitam. kebenaran itu adalah terang yang siap menyirnakan kegelapan.
Ketika para pejabat ramai-ramai menutup-nutupi asal-muasal kekayaan mereka yang tiba-tiba membengkak, Ahok lagi-lagi malah mempublish besaran pendapatannya sebagai pejabat di DKI. Ia pun tanpa tedeng-aling menyeru ke media kalau di Jakarta, Gubernur dan Wagubnya Tak Terima Setoran.
Ahok memang mempesona. Sikapnya yang tegas dalam menegakkan kebenaran melalui konstitusi bahkan membuat para anggota dewan di negeri ini hanya bisa diam. Karena mereka sangat yakin kalau diri mereka sendiri turut bertanggungjawab atas kekacauan di negeri ini.
Lantas mengapa Ahok begitu berani memeberangus ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi?
Sejauh kami lihat, Ahok selalu mengingat apa yang pernah ia katakan dan lakukan untuk rakyat, dan sebaliknya ia juga sadar betapa ia dibesarkan juga oleh rakyat. Kesadaran ini membuat beliau tidak habis pikir dengan tingkah pejabat lain, termasuk atasannya, mendagri , ketua partainya, dan juga presiden sang bosnya yang tak henti-henti berubah-rupa !
Ahok, misalnya bukan orang yang membenci FPI (Front Pembela Islam), tetapi cara-cara kekerasan oleh ormas inilah yang tidak bisa dibenarkan olehnya. Lagi, dengan inkonsistensi mendagri, ketua partai, bahkan presiden dalam menyikapi kekerasan yang pernah dilakukan oleh FPI pun membuat Ahok harus 'berjalan sendiri'.
Saya cuma berharap Ahok tetap konsisten dalam mengusahakan kebenaran dan kejujuran dalam hidup dan tugasnya sebagai pelayan di negeri ini.
Posting Komentar