Hari ini tepatnya adalah hari Kesaktian Pancasila. Menurut saya istilah "sakti" di sini agak rancu dan seolah-olah (quasi) menyiratkan bahwa simbol negara yang dirangkai dalam teriminologi "Pancasila" begitu diagungkan. Toh saat kita belajar di SD, SMP,SMA/SMK lewat mata pelajaran PMP/PPKn/PKN hingga saat mahasiswa (lewat matakuliah Filsafat Pancasila) bahwa Pancasila adalah filosofi hidup berbangsa dan bernegara.
Tak kita dengar bahwa pancasila adalah simbol-teologis atau simbol iman dari negara Indonesia. Bener banget kalau kita baca dalam buku sejarah berdirinya NKRI tercinta ini bahwa Ir. Soekarno, sang pencetus lahirnya Pancasila sekaligus presiden pertama di negara tercinta ini, pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah Dasar Negara (baca: filosofi hidup berbangsa), tetapi ia tak pernah mengajak rakyat Indonesia memuja Pancasila sebagai "sosok sakti" yang tak tertandingi oleh simbola apa pun.
Saya tak membahas kronologi sejarah maupun etimologi dari kata Pancasila pada tulisan ringkas ini. Saya hanya berbagi permenungan tentang alasan dibalik "perlakuan negatif", termasuk "penyingkiran" sering diatasnamakan dengan dalih membela Pancasila. Menurut hemat saya, para legislatif dengan bantuan para ahli linguistik Indonesia harus mempertegas kembali penggunaan istilah "sakti" tadi. Perlu diingat beberapa penyimpangan yang terjadi mengenai perlakuan atau cara memahami:
"Pancasila sebagai dasar negara" dan "pancasila sebagai filsafat hidup bernegara" hampir pasti bersumber dari penggunaan istilah yang kurang tepat atas Pancasila. Tentu saja kawula muda tak terlalu peduli lagi dengan neologi "Kesaktian Pancasila" ini.
Tanya saja kaum remaja dan kaum muda di era hi-tech ini tentang apa itu Pancasila. Biasanya mereka hanya menjawab dengan menyebut "Lima Sila dari Pancasila (panca=lima; sila=sila)".
Ya, memang harus kita akui banyak dari kawula muda Indonesia yang tidak menghafalnya lagi, dengan berbagai alasan tentunya. Mulai dari betapa garing-nya guru PKn atau dosen Filsafat Pancasila saat mengajar, juga betapa seringnya kaum muda menonton, mendengar dan membaca di media tentang pejabat-pejabat yang senang bicara pancasila namun hidupnya persis kebalikan dari kelima sila yang ada.
Menarik bahwa kita kerap mencampuradukkan dua terminologi ini, Pancasila dan Garuda Pancasila. Padahal Pancasila bukanlah Burung Garuda; dan Burung Garuda hanyalalah simbol (logo) dari sejarah kemerdekaan bangsa. Kalau enggak percaya, hitung deh jumlah sayapnya! sayap-sayat itu membentangkanangka 17, 8, 45 atau hari kemerdekaan kita.
Tercetusnya neologi "Garuda Pancasila" secara filosofis mengandaikan bahwa dasar negara kita tak bisa dipisahkan dari hari kemerdekaan bangsa kita dari para penjajah. Jadi, Pancasila itu tidak sama dengan Burung Garuda, dan Burung Garuda tak sama dengan Garuda Pancasila.
Oleh karena hal inilah mengapa Pancasila harus dikembalikan sebagai filosofi atau filsafat hidup bernegara. Ranahnya adalah ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan nasional (IPolEkSosBudHanKamNas).
Pancasila mentok-mentoknya hanya berada ada di ranah filosofis, dan bukan teologis, apalagi sebagai sebuah ideologi agama tertentu. Toh kita tahu kalau agama-agama yang diakui di Indonesia ini menyebut para nabi dan pendirinya sebagai sosok suci (hampir pasti juga karena sosok para nabi tersebut sakti dan menakjubkan) dan umat/pengikut/penganutnya hampir pasti tidak lebih mengagungkan simbol agama mereka daripada sosok nabi/pendirinya.
Bisa jadi anggapan bahwa Pancasila itu sakti membuat para kelompok sektarian dan fundamental dari agama tertentu menjadi sangat marah. Dalam kedangkalan pengetahuan, baik tentang ajaran agamanya sendiri dan hampir pasti juga mereka sangat tidak paham tentang filsafat Pancasila a la Presiden Sukarno, mereka sering bertindak negatif.
Mereka merasa nabi atau pendiri agama mereka kok kalah dari Pancasila yang bukan sesosok mahluk hidup (bernama manusia)? Kenyataannya inilah yang terjadi: mereka berteriak-teriak agar ideologi negara diganti oleh ideologi agama mereka, mereka tak ingin ada ideologi yang lebih tinggi dari orang yang suci dan sakti yang mereka bahkan imani.
Di satu sisi kita tahu mereka salah, tetapi di sisi lain, sebagai orang yang lebih berpendidikan dan kebetulan menjabat sebagai alat pemerintah di negara ini, semestinya para pejabat harus mampu menjelaskan kepada rakyatnya bahwa pancasila itu bukan ideologi agama, melainkan filosofi hidup bernegara yang wilayahnya tidak sampai pada spiritualitas, pun bukan pada dimensi religiositas.
Tagline "Hari Kesakitan Pancasila" semestinya dikembalikan menjadi "Hari Lahirnya Pancasila" atau "Hari Lahir Pancasila". Sejauh saya ingat, isitilah Kesakitan Pancasila itu dimunculkan oleh para penguasa yang justru berhasrat mempertahankan jabatannya.
Bukankah itu yang terjadi dengan peristiwa 1 Juli 1959 (?) oleh Presiden Sukarno dan 1 Oktober 1965 oleh Presiden Suharto? Kiranya filosofi inilah yang "dipermainkan" dalam olahraga kita, terutama sepakbola. Bukan Bendera Merah Putih yang dijadikan "merk" dagangnya, melainkan Simbol Garuda Pancasila.
Sangka saya, dengan simbol Garuda Pancasila tadi, para pemain timnas terlecut semangatnya dan memandang pertandingan sepakbola itu bak memenangkan pertandingan melaiwan penjajah Belanda.
Agar Pancasila dicintai masyarakat Indonesia, terutama oleh kawula muda sebagai penerus bangsa ini, maka kita harus menjauhkan simbol Pancasila dari ideologi yang akhirnya ambigu atau malah berseberangan dengan ideologi agama tertentu.
Ini bisa fatal! Sebab, antara Pancasila dan simbol agamanya (terutama ajaran pendirinya) akan dijadikan sebagai 2 ideologi yang seakan-akan harus mereka pilih salah satunya: "mengimani ajaran agama" atau "mengimani Pancasila"?!?
Sementara, membaca kembali UUD 1945, juga mereview kembali sejarah lahirnya Pancasila kita akan dengan jelas tahu bahwa Pancasila adalah "asas hidup berbangsa dan bernegara". Sekali lagi, ranahnya adalah IPolEkSosBudHanKamNas, dan bukan di ranah spiritual. Dan harus kita ingat, betapa pembakaran tempat ibadah oleh kelompok sektarian nan brutal dari agama tertentu justru bermula dari kekeliruan dalam memahami Pancasila.
Ada yang membakar tempat ibadah atau membantai jiwa-jiwa dari agama/sekte tertentu dengan mengatakan bahwa mereka yang dibantai bukan bagian dari negara ini karena telah melanggar sila pertama Pancasila!
Tanpa bermaksud menggiring dasar negara kita, Pancasila ke jurang degradasi makna, saya kira lebih fair apabila kalimat "Hari Kesaktian Pancasila" diganti dan dikembalikan pada keluhurannya sebagai dasar negara menjadi "Hari Kelahiran Pancasila".
Dengan cara ini Pancasila pun tak lagi diperalat untuk saling membantai dan tak lagi dicatut sebagai sebagai isi flipchart dari para pendemo agar pancasila harus diganti dengan simbol agama tertentu. Sehingga Pancasila sebagai ideologi berbangsa menjadi benar, dan bukan sebagai pancasila yang dipuja selayaknya simbol agama-agama.
Yakin deh, sekte-sekte keras nan brutal yang biasa membantai manusia lain itu tak akan teriak-teriak lagi ingin mengganti Pancasila, karena filosofi yang terkandung di dalamnya sangat dahsyat, terutama sebagai pemersatu bangsa yang beragam ini. Semoga.
Posting Komentar