Menjadi bijaksana di sini berarti kerelaan penuh ketulusan untuk membiarkan tumbuh apa yang bertunas. Nyatanya dunia berubah, begitu cepat.
Tetapi serentak keterbatasan manusia membuat segala pertumbuhan itu tak saja menggembirakannya namun juga merisaukannya. Inilah yang menjadi persoalan duni posmodern, atau dunia setelah era kemodern-an berlalu.
Banyak tempat ibadah terpaksa menutup pintu, khususnya di negara-negara dari mana agama itu disebarkan. Berbagai alasan menyeruak ke permukaan, mulai dari fakta bahwa ada-tidak adanya Tuhan tak berkaitan langsung dengan hidup saya.
Tak heran bila tak seorang pun masih mempunyai waktu untuk berguna pagi pada hari minggu. Ini seperti bentuk apatisme yang mengibarkan semboyannya, "Apa gunanya bersua dengan sejumlah orang yang suram dalam satu ruangan yang tak nyaman, lalu membiarkan diri dibanjiri kata-kata yang sama tak terpahami dan membosankan?"
Tapi, aneh bin sangat ajaib. Saat hal-hal sakral yang semestinya diperoleh di tempat ibadah di atas, eh.. banyak orang malah mencari ahli nujum, para peramal, dukun, dan sejenisnya malah mengalami masa keemasan. Kok bisa?
Satu alasan yang nyaris pasti ialah karena pesan para ahli nujum itu selalu menghibur dan mewajibkan orang untuk mengubah cara hidupnya secara mendalam. Tengok saja iklan-iklan di TV yang banyak menggugah pemiras untuk SMS no XXXX untuk mencari jawaban atas persoalan hidup kita.
Dari fakta di atas, kita lantas bertanya, kalau demikian, "Dimanakah Allah saat kita membutuhkan jawaban konkrit?" Nietzsche: kita telah membunuhnya – we don’t need Him, because He was death!
Begitulah dunia melenggang masuk ke ruang-ruang kedangkalan dan keremehan yang begitu hebat menyelundup kedalam manusia. Pendek kata, manusia telah kehilangan makna kehidupan yang mendalam.
Mari kita lirik sejenak apakah masih ada tersisa kebijaksanaan dalam agama-agama yang selama berabad-abad telah mengibarkan benedera kejayaannya di dunia, tempat kita hidup? Agar lebih mendalam, baik kita lirik sejenak kebijaksanaan kritis dari mereka yang memproklamirkan diri sebagai Atheis.
Bagi seorang Attheis, Allah tidak ada. Alasannya sangat mudah. Kalau Allah ada, lantas siapa yang menciptakanNya? Lagipula, Allah tak kelihatan dan tak kedengaran suaranya. Dan memang begitu kenyataannya.
Mengapa Dia tidak kita lihat? Mengapa Ia berdiam diri? Mengapa Ia tidak menonjol? Mengapa Ia samasekali tidak protes saat mengamati penderiataan orang-orang tak bersalah di dunia yang katanya Ia ciptakan ini?
Jadi, satu-satunya alasan untuk memaafkan Allah ialah dengan meniadakanNya. Ya, Allah tidak ada! (cf. Stendhal). Makanya, janganlah percaya kepada para pendakwah dan pengkotbah yang selalu datang dengan ceritanya yang menghibur dan manis, tetapi pada kenyataanya menyembunyikan nafsu kuasa yang tak terpuaskan.
Rupanya, di sisi gelap yang mereka 'imani' tentang ketiadaan Allah, ternyata termaktub kebijaksanaan yang luarbiasa bagi kita yang masih mempercayai bahwa Allah itu ada.
Benar bahwa Atheisme tidak hanya musuh kebuyutan agama-agama. Tetapi harap diingat bahwa Atheisme justru dapat menjadi media pencarian kita yang terus-menerus akan wujud Allah yang benar. Pendeknya, Atheisme adalah pendorong yang mencegah kita orang beragama tidak berkarat.
Dari aliran kepercayaan Budhisme atau Agama Budha yang berarti sarana pemerdekaan; jalan menuju penerangan, pengenalan akan hakikat manusia dan benda yang sebenarnya, dan jalan menuju pembebasan radikal dari penderitaan kita digiring pada 4 (empat) kebenaran mulia yang dianutnya, Budhisme menegaskan tentang kebenaran mulia tentang: duka, penyebab duka, penghentian duka, jalan yang menuju pemberhentian penderitaan, dan identitas manusia (identitas sang Budha, si fana, dan tanpa diri).
Demikian halnya dengan Agama Hindu. Agama Hindu menegaskan bahwa diri yang sejati bukanlah tubuh dan bukan pula kesadaran, melainkan tersembunyi didalam masing-masing.
Diri sejati adalah yang di seberang segala keterbatasan dan tidaklah terpisah dari Allah. Manusia berjalan dari kebenaran yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi.
Demikan diimplikasikan dalam urutan kasta dalam Hinduisme, mulai dari Kasta Brahmana (para imam, filsuf, cendekiawan, dan pemimpin religius), Kasta Ksatria(prajurit, pemimpin politik), Kasta Waisya (para pedagang, petani), dan Kasta Syuhada atau Sudra (para buruh, hamba). Di luar keempat kasta di atas masih terdapat kaum Paria (Dalit).
Dari kebijaksaan Agama Hindu kita bisa mendekat kepada eksistensi Allah lewat ajaran kebijaksaanya, bawha "Satu-satunya kebenaran permanen ialah bahwa semesta itu bersifat non permanen" dan "Dibelakang kata-kata, terdapat pengalaman."
Islam yang secara umum terdiri dari ada 6 (enam) jenis orang beragam Islam, yakni Islam KTP (tidak tahu menahu iman mereka); Islam Tradisionalis/Reaksioner (dekat dengan kuasa politik yang memberikan kejahatan a.n agama); Islam Revolusioner (menggunakan kekerasan , dasar Al-Qur’an); Islam Reformis (back to muslim “authentic” tanpa jalan kekerasan); Islam Modernis (sesuaikan ajaran Islam dalam konteks zaman); dan Islam Sufi (mengatasi huruf/mencari roh dalam huruf).
Tragedi Islam justru adalah perang antar aliran di atas, bukan dengan masyarakata di luar mereka. Biarbagaimanapun kelompok Islam yang tertinggi adalah Islam Sufi di satu sisi dan Islam Modernis di sisi yang lain.
Dengan ajaran mutlak mengenai adanya Allah dan Muhammad adalah rasulNya, kita digiring untuk mempercayai sesuatu yang kendati bukan dari diri kita sendiri, melainkan dari luar diri kita. Tetapi, terpenting adalah kepercayaan itu akhirnya bisa ditingkatkan lewat usaha menjadi seorang pembawa damai (islam).
Dalam Agama Yahudi ditegaskan bahwa cinta adalah kasih yang menanggung dan yang ditanggung, kata yang dibisikkan oleh segala sesuatu. Agama Yahudi berjalan dengan asas bahwa setiap makhluk memberi, dan dengan memberi ia menerima tercapainya.
Melalui agama Yahudi kita digiring mencari Allah dalam realitas keseharian kita, dan Allah itu tampil lewat tindakan cinta, memberi kepada sesama, supaya Allah menambahkan apa yang tidak ada pada diri kita.
Posting Komentar