Menjadi seorang pemimpin itu bisa didapatkan dari atas (turunan) dan bisa didapatkan sebagai hasil dari pencapaian (achievment). Sebetulnya tidak terlalu penting apakah jabatan tertentu diperoleh lewat keturunan atau pencapaian.
Sebaliknya persoalanya yang sering muncul adalah bawa seorang pemimpin belum tentu mengetahui bagaimana cara memimpin. Realitas zaman kiwari menjadi penegas utama tese ini.
Banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin. Namun di saat yang sama mereka masih buta total dengan praksis dari konsep “how to lead” yang melekat dalam kepemimpinannya.
Anehnya, kebutaan itu bahkan sudah tertanam dalam dirinya sejak ia berkehendak menjadi seorang pemimpin. Kuasa dan kehormatan diri yang sudah tertanam dalam pribadi mereka oleh pengaruh sosial politik justru semakin membutakan para pemimpin di jaman ini.
Kalau Anda mau tahu, hasil dari mentalitas ini akan melahirkan pemimpin yang yang justru tak terpimpin, sebab mereka hanyalah pemimpin-pimpinan dalam bayangan dan hayalan mereka sendiri.
Pemimpin itu harus turun ke bawah untuk mengangkat yang bawah ke permukaan hingga sejajar dengan yang lain. Seorang pemimpin tak boleh terlepas dari bawahannya. Sebaliknya, seorang bawahan harus siap menggantungkan diri pada keputusan pemimpinnya sembari tanpa kehilangan jati diri dan kreativitasnya.
Ringkasnya, menjadi seorang pemimpin adalah proses untuk senantiasa menghadirkan diri dalam tugas dan tanggungjawabnya kepada orang yang dipimpinnya.
Di titik inilah kemauan untuk hadir dalam aktifitas merkea yang dipimpin sembari memahami mereka menjadi salah satu keharusan. Lantas apa yang dibutuhkan seorang pemimpin untuk bisa melepaskan diri dari kepentingan pribadi atau dari kepentingan orang di pusaran kekuasaan yang ia miliki?
Ternyata, seorang pemimpin harus mau dan masuk ke dalam kekosongan (kenosis, Yun.). Kenosis di sini mengandaikan keberanian untuk melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi dan hasrat untuk hanya mementingkan golongannya saja. Si pemimpin bukanlah subjek maha-sempurna.
Dia itu subjek sekaligus obyek dari proses peziarahan sebuah masa. Dia tidak pernah menjadi sempurna tapi dia sedang melangkah menuju kesempurnaan.
Kenosis dengan demikian bukanlah emptyness. Ya kekosongan bukan sebuah kehampaan, bahkan sebuah ketiadaan. Kekosongan di sini merupakan aktifitas di mana seseorang berkehendak "melepaskan diri dari" kepentingan diri sendiri sembari mengsinya dengan kebijaksanaan yang ia temukan dalam kesehariannya.
Demikianlah pemimpim bukan seorang berwajah otoriter, apalagi seorang pemegang kunci kebenaran. Sebaliknya ia harus mampu turun dan memahami semua yang terjadi dalam lingkup yang dia pimpin.
Dia harus belajar dan mengisi kekosongan itu seperti gairan kehausan. Dengan kenosis tadi ia bahkan rela menjadi hamba bagi mereka yang dipimpinnya. Tentu tak lantas berarti bahwa menjadi hamba sama dengan menghamba.
Seorang pemimpin sejati adalah pemimpin yang berhati hamba tapi bertindak sebagai raja; berjiwa rendah hati sertentak bertindak dengan pasti. Pendeknya, dia harus mampu menghadirkan dua realitas paradoks di atas dalam hidupnya sebagai pemimpin.
Akhirnya, kehadiran dan kekosongan adalah jawaban bagi siapa saja yang akan menjadi seorang pemimpin atau mereka yang sedang memimpin.
Penulis: Subandri Simbolon
Posting Komentar