Jean Baudrillard
Bicara tentang komunikasi, tepatnya filsafat komunikasi tak bisa dilepaskan dari filsup bernama Jean Baudrillard. Filsafat komunikasi yang dimaksud ialah suatu disiplin yang menelaah pemahaman secara fundamental, metodologis, sistematis, analitis kritis, dan holistis teori dari proses komunikasi yang meliputi segala dimensi menurut bidangnya, sifatnya, tatanannya, tujuannya, fungsinya, tekniknya, dan metodenya.
Baudrillard adalah sosiolog yamg menawarkan banyak gagasan dan wawasan yang inspiratif. Pemikirannya menjadi penting karena ia mengembangkan teori yang berusaha memahami sifat dan pengaruh komunikasi massa. Ia mengatakan media massa menyimbolkan zaman baru di mana bentuk produksi dan konsumsi lama telah memberikan jalan bagi semesta komunikasi yang baru.
Sebagai pemikir aliran postmodern yang perhatian utamanya adalah hakikat dan pengaruh komunikasi dalam masyarakat pascamodern, Baudrillard sering mengeluarkan ide-ide cukup kontroversial dan melawan kemapanan pemikiran yang ada selama ini.
Misalnya dalam wacana mengenai kreativitas dalam budaya media massa atau budaya cyber ia menganggapnya sebagai sesuatu yang absurd dan contradictio in terminis.
Bagi Baudrillard, televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke dalam sebuah kebudayaan sebagai black hole. Ia menyebutnya Simulacra, di mana realitas yang ada adalah realitas semu, realitas buatan (hyper-reality).
Begitulah Baudrillard memandang hakikat komunikasi massa. Lantas bagaimana pandangan Baudrillard tentang hakikat komunikasi massa dan aapa sebetulnya yang dimaksud dengan simulacra dan apa kaitannya dengan proses komunikasi? mari kita uraian berikutnya.
Pemikiran Baudrillard
Pemikiran Baudrillard kiranya dapat memberikan kontribusi atas beberapa pertanyaan yang agak ambisius dibawah ini (walaupun tidak secara langsung):
- Bagaimanakah kita dapat menjelaskan krisis multi dimensional yang kita alami sekarang ini?
- Apakah untuk hidup kita memerlukan identitas?
- Bila identitas itu tidak perlu, apakah kekacauan yang kita alami sekarang ini disebabkan tidak adanya identitas kita sebagai bangsa?
- Bagaimanakah pula, berhadap-hadapan dengan globalisasi – tanpa identitas akankah sirna masyarakat “Indonesia” itu, atau sebaliknya dengan ditemukannya suatu formulasi “Kebudayaan Indonesia", dapatlah kiranya menyelesaikan segala kemelut, mempersatukan bangsa dan kita dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain?
- Apakah ledakan revolusi informatika yang berpusing membentuk galaksi menjadikannya sebagai chain of signifier tanpa referen yang semakin membesar tanpa batas itu menentukan segala nilai-nilai kebudayaan kita?