"Dalam kesetiaan kepada Tradisi agung, di mana Kitab Suci sendiri menjadi saksi, eksegese Katolik hendaknya sebisa mungkin menghindari bias profesional dan tetap memelihara identitasnya sebagai suatu disiplin teologis, yang tujuan utamanya adalah memperdalam iman…. Eksegese Katolik tidak boleh larut dalam lautan analisi yang terlalu kritis. Tugasnya adalah melaksanakan fungsinya yang vital, yaitu memberikan sumbangan kepada penerusan makna yang autentik dari Kitab Suci yang diilhamkan, baik di dalam Gereja maupun di Dunia." (Dokumen KKSK, 1993).
Ada ungkapan dari St. Hironimus tidak mengenal Kitab Suci maka tidak kenal pula siapa Yesus itu. Ungkapan ini bukanlah ungkapan kosong belaka. Kitab Suci memang bukan buku sejarah tapi merupakan refleksi iman manusia yang direkam (recorded) dan disusun sedemikian rupa menjadi sebuah buku / Kitab.
Menurut Avery Dulles, Kitab Suci pada akhinya pun menjadi Dokumen Wahyu (Avery Dulles, 1992: 193). Di dalamnya memuat sejarah keselamatan manusia secara historis. Artinya keselamatan itu memang sungguh-sungguh riil menyejarah dalam kehidupan manusia. Jadi bila dalam Kitab Suci dituliskan bahwa refleksi iman manusia atas pemenuhan wahyu Allah itu memuncak dalam diri Yesus Orang Nasaret itu, de facto memang demikian adanya.
Orang-orang yang dekat dan hidup pada zaman-Nya telah menjadi saksi dari semua itu (Dalam Kis. 2:32 dituliskan:”Yesus inilah yang dibangkitkan Allah dan tentang hal itu kami semua adalah saksi”). Kesaksian Para Rasul tentang Yesus Kristus it terus dipelihara dalam komunitas yang disebut Gereja.
Selanjutnya Gereja mempunyai kewajiban untuk mewartakan Injil kepada semua orang termasuk pada zaman modern sekarang ini (Avery Dulles, 1992: 193). Kitab Suci (Injil) dalam hal ini merupakan norma normans non normata yang di dalamnya memuat kebenaran Kristiani.
Kitab Suci pun menjadi norma bagi teologi (locus teologicus) yang diinspirasikan oleh Roh Allah sendiri. Sehingga isinya pun tidak mungkin sesat (Roger Haight, ? : 91). Namum karena akselerasi perubahan zaman modern yang begitu kencang membawa implikasi yang luas pula dalam cara berpikir manusia dalam memandang sesuatu, termasuk dalam menelaah Kitab Suci.
Manusia tidak hanya begitu saja menerima kebenaran-kebenaran Kitab Suci. Iman pun harus serentak pula diimbangi dengan ratio dalam menangkap misteri Allah yang transenden.Dalam Surat Ensiklik Fides et Ratio, Paus Yohanes Paulus II menyebutkan:
Tentunya tidak mudah, apalagi situasi kontekstual Negara Indonesia yang plural. Gereja mengalami banyak perubahan setelah Konsili Vatikan II, dan tidak hanya berhenti di situ Otoritas Gereja pun mengeluarkan banyak ensiklik / dokumen yang bertalian dengan pewartaan Injil.
Dalam Evangelii Nuntiandi dimuat sejauh mana daya Kabar Baik (Injil) yang tersembunyi mempunyai pengaruh yang kuat pada hati nurani manusia; mampu merubah (mentranformasi) manusia dan metode-metode apakah yang harus diikuti agar supaya kekuatan Injil dapat mempunyai pengaruh (Paus Yohanes Paulus II, 1990: 9).
Selanjutnya bagaimana Gereja yakni orang yang telah menerima pewartaan Injil, kemudian mewartakannya pula kepada orang-orang lain. Dimana hal tersebut merupakan suatu proses yang kompleks.
Mewartakan Kristus sebagai Puncak Wahyu Allah secara literal seperti yang termuat dalam Kitab Suci di tengah dunia yang plural bukanlah cara-cara yang bisa dianggap tepat lagi. Dalam Redemtoris Missio dimuat: “Masih relevankah karya missioner di tengah-tengah orang-orang bukan Kristen? (Paus Yohanes Paulus II, 1990: 11). Namun berbicara soal evangelisasi Gereja tidak pernah bisa meninggalkan Kitab Suci (Injil) itu sendiri.
Esensi dari Kerajaan Allah (sebagai kabar gembira) yang diwartakan dan dihadirkan oleh Yesus (Paus Yohanes Paulus II, 1990: 20-21) dahulu dan sekarang tetap sama. Hanya saja cara menginterpretasikan dan mengekspresikannya yang berubah (baru) sesuai konteks zamannya.
Berkaitan dengan situasi sekarang tersebut maka perlulah evangelisasi dan mistagogi yang baru. Evangelisasi yang lama senantiasa konvergen dan “memaksa” orang untuk dibaptis. Evangelissasi yang baru lebih menekankan pada aspek metanoia / transformasi hidup manusia itu sendiri.
Mistagogi lama adalah tertuju kepada orang yang baru dibaptis. Sementara yang baru (sekarang) mengantar orang ke dalam misteri manusia dihadapan Sang Pencipta (Tom Jacobs, 2003: 9). Menurut Rahner (Tom Jacobs, 2003: 9), setiap orang Kristiani membutuhkan mistagogi, yang bisa membawanya kepada pengalaman religius yang sejati.
Lebih lanjut lagi menurutnya, orang Kristiani masa depan harus menjadi orang mistik, artinya orang yang mengalami “sesuatu” atau dia bukan seorang Kristiani lagi.
Untuk itu penulis (secara subjektif) menawarkan sebuah solusi dalam berevangelisasi secara baru menurut John Walsh di tengah situasi dunia sekarang, di mana proses evangelasi berlangsung tanpa mematikan / memandulkan kebebasan manusia (EN 39: kebebasan agama menduduki tempat yang utama diantara hak-hak manusiawi yang fundamenta).
John Walsh menyum-bangkan gagasan bagaimana proses evangelisasi baru yang bisa mengantar orang kepada tingkatan iman yang dewasa. Ia menggambarkan langkah-langkahnya sebagai berikut (John Walsh,1982: 56):
Orang-orang yang dekat dan hidup pada zaman-Nya telah menjadi saksi dari semua itu (Dalam Kis. 2:32 dituliskan:”Yesus inilah yang dibangkitkan Allah dan tentang hal itu kami semua adalah saksi”). Kesaksian Para Rasul tentang Yesus Kristus it terus dipelihara dalam komunitas yang disebut Gereja.
Selanjutnya Gereja mempunyai kewajiban untuk mewartakan Injil kepada semua orang termasuk pada zaman modern sekarang ini (Avery Dulles, 1992: 193). Kitab Suci (Injil) dalam hal ini merupakan norma normans non normata yang di dalamnya memuat kebenaran Kristiani.
Kitab Suci pun menjadi norma bagi teologi (locus teologicus) yang diinspirasikan oleh Roh Allah sendiri. Sehingga isinya pun tidak mungkin sesat (Roger Haight, ? : 91). Namum karena akselerasi perubahan zaman modern yang begitu kencang membawa implikasi yang luas pula dalam cara berpikir manusia dalam memandang sesuatu, termasuk dalam menelaah Kitab Suci.
Manusia tidak hanya begitu saja menerima kebenaran-kebenaran Kitab Suci. Iman pun harus serentak pula diimbangi dengan ratio dalam menangkap misteri Allah yang transenden.Dalam Surat Ensiklik Fides et Ratio, Paus Yohanes Paulus II menyebutkan:
”Salah satu hal yang menjadi kepedulian filsafat klasik ialah memurnikan pengertian-pengertian mengenai Allah dari unsure-unsur mitiologis.” (Paus Yohanes Paulus II, 1999: 67).Berhadapan dengan situasi zaman sekarang ini Gereja tentunya tidak tinggal diam. Bagaiman caranya orang Kristen berevangelsasi di tengah dunia modern sekarang ini?
Tentunya tidak mudah, apalagi situasi kontekstual Negara Indonesia yang plural. Gereja mengalami banyak perubahan setelah Konsili Vatikan II, dan tidak hanya berhenti di situ Otoritas Gereja pun mengeluarkan banyak ensiklik / dokumen yang bertalian dengan pewartaan Injil.
Dalam Evangelii Nuntiandi dimuat sejauh mana daya Kabar Baik (Injil) yang tersembunyi mempunyai pengaruh yang kuat pada hati nurani manusia; mampu merubah (mentranformasi) manusia dan metode-metode apakah yang harus diikuti agar supaya kekuatan Injil dapat mempunyai pengaruh (Paus Yohanes Paulus II, 1990: 9).
Selanjutnya bagaimana Gereja yakni orang yang telah menerima pewartaan Injil, kemudian mewartakannya pula kepada orang-orang lain. Dimana hal tersebut merupakan suatu proses yang kompleks.
Mewartakan Kristus sebagai Puncak Wahyu Allah secara literal seperti yang termuat dalam Kitab Suci di tengah dunia yang plural bukanlah cara-cara yang bisa dianggap tepat lagi. Dalam Redemtoris Missio dimuat: “Masih relevankah karya missioner di tengah-tengah orang-orang bukan Kristen? (Paus Yohanes Paulus II, 1990: 11). Namun berbicara soal evangelisasi Gereja tidak pernah bisa meninggalkan Kitab Suci (Injil) itu sendiri.
Esensi dari Kerajaan Allah (sebagai kabar gembira) yang diwartakan dan dihadirkan oleh Yesus (Paus Yohanes Paulus II, 1990: 20-21) dahulu dan sekarang tetap sama. Hanya saja cara menginterpretasikan dan mengekspresikannya yang berubah (baru) sesuai konteks zamannya.
Berkaitan dengan situasi sekarang tersebut maka perlulah evangelisasi dan mistagogi yang baru. Evangelisasi yang lama senantiasa konvergen dan “memaksa” orang untuk dibaptis. Evangelissasi yang baru lebih menekankan pada aspek metanoia / transformasi hidup manusia itu sendiri.
Mistagogi lama adalah tertuju kepada orang yang baru dibaptis. Sementara yang baru (sekarang) mengantar orang ke dalam misteri manusia dihadapan Sang Pencipta (Tom Jacobs, 2003: 9). Menurut Rahner (Tom Jacobs, 2003: 9), setiap orang Kristiani membutuhkan mistagogi, yang bisa membawanya kepada pengalaman religius yang sejati.
Lebih lanjut lagi menurutnya, orang Kristiani masa depan harus menjadi orang mistik, artinya orang yang mengalami “sesuatu” atau dia bukan seorang Kristiani lagi.
Untuk itu penulis (secara subjektif) menawarkan sebuah solusi dalam berevangelisasi secara baru menurut John Walsh di tengah situasi dunia sekarang, di mana proses evangelasi berlangsung tanpa mematikan / memandulkan kebebasan manusia (EN 39: kebebasan agama menduduki tempat yang utama diantara hak-hak manusiawi yang fundamenta).
John Walsh menyum-bangkan gagasan bagaimana proses evangelisasi baru yang bisa mengantar orang kepada tingkatan iman yang dewasa. Ia menggambarkan langkah-langkahnya sebagai berikut (John Walsh,1982: 56):
10.
Omega Point Terminologi ‘titik omega’ ini dimunculkan oleh Teilhard de Chardin. Ibid., p.35. Dalam Kitab Wahyu 1:8, ditulis: “Aku adalah alfa dan omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa”. (Bdk. Wahyu 1:17; 2:28, Yes 41:4; 44:6).
Lebih jauh lagi menurut Teilhard, wahyu Kristus itu memberikan tunjangan dan kejelasan tambahan kepada hipotesis ilmiahnya tentang suatu sasaran definitf (omega) yang mengarahkan proses evolusioner. Dengan demikian wahyu menjadi semacam “adiilmu” sesuai dengan kesadaran baru yang dibawa oleh kristus ke dunia (Avery Dulles, 1992: 256).
Omega Point Terminologi ‘titik omega’ ini dimunculkan oleh Teilhard de Chardin. Ibid., p.35. Dalam Kitab Wahyu 1:8, ditulis: “Aku adalah alfa dan omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa”. (Bdk. Wahyu 1:17; 2:28, Yes 41:4; 44:6).
Lebih jauh lagi menurut Teilhard, wahyu Kristus itu memberikan tunjangan dan kejelasan tambahan kepada hipotesis ilmiahnya tentang suatu sasaran definitf (omega) yang mengarahkan proses evolusioner. Dengan demikian wahyu menjadi semacam “adiilmu” sesuai dengan kesadaran baru yang dibawa oleh kristus ke dunia (Avery Dulles, 1992: 256).
9.
Entering into a deeper spirituality
8.
Conventional Christian activity
7.
Baptism
6.
Acceptance of God’s entering the human condition
5.
Realization that we cannot succed alone (Scripture)
4.
Encountering God and others (Practice)
3.
Encountering God and others (Theory)
2.
Searching step
1.
Preliminary step.
Keterangan:
- Pada langkah pertama ini, mengandaikan tidak adanya syarat apapun. Di sini seseorang mempunyai sikap negatif terhadap Allah, dirinya, orang lain maupun agama. Gambaran terhadap dirinya pun lemah, sehingga ia menjadi orang yang terasing dari yang lainnya. Ia mengalami hidup yang sekarat ditengah banyak orang. Agama pun dipandang sebagai sesuatu kekalahan hidup yang menipu, tahayul. Di sini orang tidak memiliki jaminan apapun.
- Suara dari dalam hati mulai muncul. Di mana hidup harus lebih dari sekedar mengalami dalam hal ini hati menjadi sikap dasar harapan untuk terus berkembang.
- Selanjutnya, orang mulai merealisasikan sikap dasar harapannya tersebut melalui perjumpaan dengan orang lain (Allah). Di sini pemahaman secara intelektualitas (teoritis) diperlukan.
- Pada langkah ini, orang mencoba menciptakan perjumpaan dengan Allah dan sesama. Hanya saja ia mengandalkan kekuatannya sendiri. Sehingga sering jatuh ke dalam apa yang disebut dengan Sindrom Spiritual Seorang Lifter.
- Menindaklanjuti langkah ke-4 tersebut, orang pun akhirnya secara eksplisit menanyakan di mana keberadaan Allah dan mengharapkan pertolongan-Nya. Orang tidak dapat mengalami perjumpaan dengan yang lainnya dengan bertumpu pada kekuatannya sendiri. Hal inilah yang mengarahkan orang kepada Injil yang memuat bagaimana Allah menjawab seruan umat-Nya. Dalam hal ini Injil tidak cukup menjadi sumber informasi bagi kehidupan beragama. Diperlukan juga pengalaman perjumpaan dengan Allah yang riil dalam diri sesama sehari-hari.
- Selanjutnya Injil menjadi pengalaman perjumpaan manusia dengan Allah dalam peristiwa Pentakosta. Pada saat Pentakosta inilah Kristus masuk dan meceburkan dirinya dalam kehidupan manusia itu sendiri. Tindakan ini menjadi puncak perjumpaan manusia dengan Allah dan merasakan keintiman yang luar biasa.
- Baptisan akhirnya tidak lagi dipandang hanya sekedar upacara ritual yang menjadikan seseorang itu menjadi Katolik (Kristen). Tapi lebih dari itu yakni mengalami perjumpaan dengan Allah dan sesama dalam komunitas yang disebut Gereja.
- Peristiwa Pentakosta tidak hanya terjadi dan berhenti pada zaman Gereja perdana tapi terus berlangsung hingga sekarang. Sebagai suatu proses yang menjadikan seseorang masuk ke dalam kehidupan cinta Allah karena kebangkitan Kristus di dalam Gereja yang dinamis.
- Pada langkah ini, setiap individu memiliki iman yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Dan ini tergantung kepada kepribadian masing-masing dan bimbingan Roh Kudus sendiri.
- Evolusi peristiwa Pentakosta mencapai puncaknya. Di mana seseorang akhirnya menjadi Imitatio Christi. Bukan lagi aku yang hidup tetapi Kristuslah yang hidup di dalam diriku. Seorang manusia yang mampu menghidupkan orang lain.
Menurut Paus Yohanes Paulus II abad sekarang ini orang haus akan hal yang otentik. Sehingga akhirnya setiap orang Kristiani harus dapat menjadi saksi-saksi yang otentik yang tidak palsu agar supaya dunia menjadi dapat menjadi percaya.
Dan kita semua bertanggungjawab terhadap itu semua. Lebih lanjut lagi, Ia menyerukan bahwa dunia membutuhkan para penginjil untuk berbicara kepada dunia mengenai Allah, yang hendaknya diketahui juga oleh para penginjil sendiri dan hendaknya mereka akrab dengan-Nya, seolah-olah mereka dapat melihat yang tak kelihatan.
Dunia membutuhkan dan mengharapkan dari kita kesederhanaan hidup, semangat doa, kasih terhadap semua orang, lebih-lebih terhadap orang yang rendah dan miskin. Ketaatan dan kerendahan hati, sikap lepas bebas dan pengorbanan diri. Tanpa tanda kesucian ini kata-kata kita akn sulit menyentuh hati orang-orang modern. Bahkan ada resiko akan menjadi sia-sia dan mandul (Paus Yohanes Paulus II, Evangelii Nutiandi (terj.), 1990: 71-72).
Dunia membutuhkan dan mengharapkan dari kita kesederhanaan hidup, semangat doa, kasih terhadap semua orang, lebih-lebih terhadap orang yang rendah dan miskin. Ketaatan dan kerendahan hati, sikap lepas bebas dan pengorbanan diri. Tanpa tanda kesucian ini kata-kata kita akn sulit menyentuh hati orang-orang modern. Bahkan ada resiko akan menjadi sia-sia dan mandul (Paus Yohanes Paulus II, Evangelii Nutiandi (terj.), 1990: 71-72).
Menjadi saksi Kristus yang menawarkan nilai-nilai luhur (Ilahi) yang telah diajarkannya kepada orang-orang pada zaman-Nya, dan yang direkam dalam Kitab Suci, serta yang mentradisi dan dirawat dan diwartakan terus menerus dalam komunitas Gereja untuk keselamatan dunia. Kembali ke awal!
- Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM., Tafsir Kitab Suci Perjanjian Lama, Kanisius, 2002.
- Dulles, Avery Dulles, Model of Rrevelation, New York, Maryknoll, 1992.
- Jacobs, Tom Prof., Mistagogi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Teologi pada Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 13 September 2003.
- Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja, Kanisius, 2003.
- Raymond E. Brown, dkk.(ed), The New Jerome Biblical Commentary, Great Britain, 1989.
- Roger Haight, SJ., Dinamics of Theology, The Status of Scripture in The Churh.
- Walsh, John, Evangelization and Justice New Insights forChristian Ministr, New York, Maryknoll, 1982.
- Yohanes Paulus II,Paus, Surat Ensiklik Fides et Ratio, Yogyakarta, 1999.
- Yohanes Paulus II,Paus, Evangelii Nutiandi (terj.), Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
- Yohanes Paulus II, Paus, Ensiklik Redemtoris Missio (terj.), Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Mohon ijin copy
BalasHapus