Suasana Creative Learning SMK Tarakanita Jakarta di Rumah Retret Civita Youth Camp, 2007 (Foto: Lusius S.)
Situasi Terkini
Hari-hari ini sekolah semakin kehilangan karakternya sebagai lembaga yang menghasilkan manusia-manusia yang educated person dan rich thinking” (John Dewey). Sebagai lembaga pendidikan sekolah memang semestinya menelurkan orang-orang terpelajar yang berpendidikan (educated thinking) dan mampu berfikir baik (rich or good thinking).
Kenyataanya, output dari sistem pendidikan kita saat ini justru tidak pernah bermuara ke arah sana. Tidak mengherankan apabila kebanyakan orang yang berpendidikan (tinggi) justru tidak mampu berpikir alias poor thinking. Lantas, apa hubungan antara sistem pendidikan dan ketidakmampuan berpikir baik? Apa yang sebenarnya lalai diberikan di masa pendidikan kita di sekolah ?
Kenyataanya, output dari sistem pendidikan kita saat ini justru tidak pernah bermuara ke arah sana. Tidak mengherankan apabila kebanyakan orang yang berpendidikan (tinggi) justru tidak mampu berpikir alias poor thinking. Lantas, apa hubungan antara sistem pendidikan dan ketidakmampuan berpikir baik? Apa yang sebenarnya lalai diberikan di masa pendidikan kita di sekolah ?
Pentingnya Karakter
Yang dimaksud dengan karakter disini lebih pada karakter intelektual, dengan ciri sebagai berikut:
- Open minded (bersikap terbuka)
- Curions (cermat, hati-hati)
- Meta-cognitive (berfikir reflektif)
- Seeking truth & understanding (suka meneliti kebenaran dan pemahaman tertentu)
- Strategic thinking (berfikir strategi)
- Skeptical thinking (berfikir skeptis dalam arti positif, mampu mengantisipasi kebenaran: mendekonstruksi atau merekonstruksi pola pikir tertentu)
Orang Indonesia yang terdidik dan terpelajar hari-hari ini sedang mengalami amnesia sejarah (tidak memiliki ciri 1, 3, 5, dan 6 di atas), tak mau belajar dari kesalahan orang (yang lebih) tua (diluar ciri 1, 2, 4 dan 6), serta kelambanan bergenerasi sosial (diluar ciri 1, 4 dan 6).
Akibatnya, sedikit sekali ilmuan berskala internasional seperti orang Yahudi (asal tahu saja, orang Yahudi selalu menelurkan ilmuwan berskala internasional justru karena mereka sangat menghargai sejarah) yang dihasilkan oleh sistem pendidikan kita beberapa dekade ini. Sebaliknya, sistem pendidikan yang ada sekarang malah menghasilkan orang-orang yang tidak berpikir riil (abstrak?) dan tidak memiliki karakter “bertanya” atau berani bertanya sebagaimana sudah mentradisi dalam sistem pendidikan Barat.
Akibatnya, sedikit sekali ilmuan berskala internasional seperti orang Yahudi (asal tahu saja, orang Yahudi selalu menelurkan ilmuwan berskala internasional justru karena mereka sangat menghargai sejarah) yang dihasilkan oleh sistem pendidikan kita beberapa dekade ini. Sebaliknya, sistem pendidikan yang ada sekarang malah menghasilkan orang-orang yang tidak berpikir riil (abstrak?) dan tidak memiliki karakter “bertanya” atau berani bertanya sebagaimana sudah mentradisi dalam sistem pendidikan Barat.
Faktanya sekolah sebagai lembaga pendidikan (dasar) turut andil dalam memproduksi manusia-manusia Indonesia yang seperti di atas. Sekolah adalah rumah produksi yang menghasilkan manusia-manusia yang tidak riil itu (output). Di sekolah-sekolah di negara kita sangat sedikit guru yang mempunyai tradisi "memberi kesempatan" kepada siswa-siswinya untuk bersikap kritis dan berani bertanya; padahal karakter intelektual siswa justru akan teruji dari kemauan dan kemampuannya untuk bertanya (secara kritis tentunya).
Pada akhirya kita sadar bahwa dengan "bertanya" seorang siswa-siswi justru akan digiring untuk menghargai nilai-nilai intelektualnya sembari meneguhkan mereka untuk menghargai nilai-nilai tersebut. Sebab nilai-nilai itu adalah buah pikiran mereka (yang mereka seleksi dari nilai-nilai baik dan buruk yang tersedia).
Nilai-nilai itu juga yang di kemudian hari ia batinkan hingga membangun sebuah sikap yang tepat dalam hidupnya. Itu karena “bertanya’ itu berkaitan dengan bahasa yang mengembangkan karakter intelektual seorang siswa-siswi di dalam kelas dan akhirnya dengan bahasa "bertanya" tesebut mereka akan berbicara, berfikir, berdialog, beragumentasi dengan cara yang tepat dan kritis.
Pada akhirya kita sadar bahwa dengan "bertanya" seorang siswa-siswi justru akan digiring untuk menghargai nilai-nilai intelektualnya sembari meneguhkan mereka untuk menghargai nilai-nilai tersebut. Sebab nilai-nilai itu adalah buah pikiran mereka (yang mereka seleksi dari nilai-nilai baik dan buruk yang tersedia).
Nilai-nilai itu juga yang di kemudian hari ia batinkan hingga membangun sebuah sikap yang tepat dalam hidupnya. Itu karena “bertanya’ itu berkaitan dengan bahasa yang mengembangkan karakter intelektual seorang siswa-siswi di dalam kelas dan akhirnya dengan bahasa "bertanya" tesebut mereka akan berbicara, berfikir, berdialog, beragumentasi dengan cara yang tepat dan kritis.
Sekolah (di) Indonesia
Saat menjumpai siswa/i atau mahasiswa/i atau para pekerja yang rata-rata berpendidikan (tinggi) dalam pekerjaan saya sebagai guru/dosen, konsultan SDM, trainer dan konselor anak dan keluarga, saya tidak menemukan kemampuan berbahasa yang baik, kalau tidak mau disebut cara berbahasa mereka begitu memprihatinkan.
Lewat para siswa, mahasiswa dan klien itu, saya menemukan beberapa alasan mendasar yang mereka justur mereka pelajari di sekolah. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa di sekolah mereka tidak diajari mengenai disiplin, keutamaaan hidup, cara memotivasi diri dan orang lain, dan mengenai cara membimbing diri sendiri.
Padahal menurut Peter Senge ada 5 komponen disiplin yang harus dipenuhi oleh sekolah atau lembaga pendidikan, yakni system thinking (berfikir sistem/aktif), personal mastery (menguasai diri), share vision (visi bersama) dan team learning (belajar beregu). Artinya, guru dan sekolah tidak cukup hanya dengan menceramahi siswa-siswinya dengna nilai-niali , tapi harus mengajak para siswa mempraktikanya, terutama melalui teladan para guru atau pendidik mereka.
Lewat para siswa, mahasiswa dan klien itu, saya menemukan beberapa alasan mendasar yang mereka justur mereka pelajari di sekolah. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa di sekolah mereka tidak diajari mengenai disiplin, keutamaaan hidup, cara memotivasi diri dan orang lain, dan mengenai cara membimbing diri sendiri.
Padahal menurut Peter Senge ada 5 komponen disiplin yang harus dipenuhi oleh sekolah atau lembaga pendidikan, yakni system thinking (berfikir sistem/aktif), personal mastery (menguasai diri), share vision (visi bersama) dan team learning (belajar beregu). Artinya, guru dan sekolah tidak cukup hanya dengan menceramahi siswa-siswinya dengna nilai-niali , tapi harus mengajak para siswa mempraktikanya, terutama melalui teladan para guru atau pendidik mereka.
Jalan Keluar
Untuk bisa sampai ke arah sana, guru harus mendidik siswa-siswi mereka dengan cara yang baik, seperti menjaga suasana hati, berelasi dengan siswa sebagai kebutuhan (need ) dan seni (art), mengajar dengan cara yang kreatif dan invertif, mencoba berbagai cara atau media mengajar sehingga siswa dapat belajar semaksimal, dan terpenting adalah diajari mengenai perlunya menyangkal diri.
Akhirnya, sebagai solusi bagi kesemrawutan sistem pendidikan di negara tercinta ini saya menawarkan agar para guru punya keyakinan akan karakter masing-masing anak didiknya, memiliki keyakinan bahwa mindset anak-anak didiknya bisa berubah, dan punya keyakinan bahwa (tujuan) sekolah sekarang lebih berorientasi pada mastery (penguasaan) dan performance (yang tampak), sementara di luar itu kurang diperhatikan.
Para guru dan para pendidik harus sadar bahwa sukses justru terletak pada peningkatan, pertumbuhan, penguasaan diri individu dan bukan pada hafalan materi yang bersifat sesaat. Selanjutnya para siswa-siswi yang mereka dampingin harus disadarkan bahwa nilai diperoleh dari usahadan bukan dari penguasa.
Dengan demikian kriteria penilaian tak lagi bersifat absolut melainkan didasarkan pada kemajuan siswa dalam mengikuti standard kompetisi yang disediakan. Akhirnya, dengan sistim pengajaran atau pendidikan seperti ini maka para siswa-siswi yang didampingi sadar bahwa kesalahan adalah bagian dari belajar, dan bukan awal dari penjara ketidakmampuan.
Lusius Sinurat
Akhirnya, sebagai solusi bagi kesemrawutan sistem pendidikan di negara tercinta ini saya menawarkan agar para guru punya keyakinan akan karakter masing-masing anak didiknya, memiliki keyakinan bahwa mindset anak-anak didiknya bisa berubah, dan punya keyakinan bahwa (tujuan) sekolah sekarang lebih berorientasi pada mastery (penguasaan) dan performance (yang tampak), sementara di luar itu kurang diperhatikan.
Para guru dan para pendidik harus sadar bahwa sukses justru terletak pada peningkatan, pertumbuhan, penguasaan diri individu dan bukan pada hafalan materi yang bersifat sesaat. Selanjutnya para siswa-siswi yang mereka dampingin harus disadarkan bahwa nilai diperoleh dari usahadan bukan dari penguasa.
Dengan demikian kriteria penilaian tak lagi bersifat absolut melainkan didasarkan pada kemajuan siswa dalam mengikuti standard kompetisi yang disediakan. Akhirnya, dengan sistim pengajaran atau pendidikan seperti ini maka para siswa-siswi yang didampingi sadar bahwa kesalahan adalah bagian dari belajar, dan bukan awal dari penjara ketidakmampuan.
Lusius Sinurat
Posting Komentar