Tak banyak rumah yang saya kunjungi lebaran tahun ini. Ya, sejujurnya sih saya juga enggak terbiasa silaturahmi ke banyak rumah sepanjang hari raya Idul Fitri, bahkan di hari raya Natal yang saya rayakan sekalipun saya tak pernah mengunjungi lebih dari 3 rumah. Selama 2 hari Idul Fitri tahun ini saya hanya 'sempat' mengunjungi 2; itu juga hanya ke rumah orang dekat. Tahun lalu saya dan teman-teman kantor bahkan hanya bersilaturahmi ke 1 rumah saja. Apakah saya tidak punya banyak sahabat, kenalan atau mitra kerja yang beragama Islam? Tentu saja bukan itu alasannya. Toh, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, saya tak bisa menghindar kenyataan bahwa saudara/i yang beragama muslim lah yang paling banyak saya temui di bumi persada ini, entah di tempat kerja, juga di lingkungan tempat saya tinggal. Jadi, alasan bahwa saya tidak banyak teman beragam muslim pastilah alasan yang tepat untuk tidak mengunjungi banyak rumah di lingkungan saya tinggal sekarang. Yang jelas, suasana lebaran tahun ini nyaris sepi dari suasana 'kemenangan' sebagaimana diimani oleh saudara/i Islam mengenai hari raya Idul Fitri. Malam pertama, malam takbiran, saya masih melihat arak-arakan takbiran dengan sepeda motor dan pejalan kaki. Itu juga hanya 2 grup yang melewati jalan raya di depan rukan, tempat saya tinggal. Tahun lalu memang tampak lebih meriah dari sudut itu. Azan, di malam takbiran itu pun 'hanya' berkumandang sesaat, dan tidak se-lama di tahun lalu. Yang saya saksikan mengalami peningkatan adalah bunyi petasan, yang bahkan sudah nge-bom sejak bulan puasa. Syukur tidak ada orang yang penyakit jantung di perumahan Menoreh 1 Sampangan, Semarang ini. Selain meriahnya kembang api dan petasan, suasana Idul Fitri tahun ini jauh lebih sepi dari tahun lalu. Minimal itu yang saya saksikan di semarang sepanjang 2 tahun tinggal dan bekerja.
Fakta lain yang menarik adalah "hilangnya tradisi makan ketupat". Sebagaimana kita tahu, ketupat sudah begitu identik dengan lebaran, khususnya dalam tradisi Islam di pulau Jawa. Kartu-kartu ucapan yang dicetak pun selalu menampilkan gambar ketupat dengan warna 'sampul'nya yang kuning. Tapi, lagi-lagi ketupat semakin langka. Saya hanya mendapat 1 biji saja, dari tetangga dekat kami di sini. Itu juga dengan pesan, "Susah bang sekarang dapat ketupat. Kalau tahun lalu, ketupat selalu meramaikan 2 perayaan lebaran (orang jawa punya 2 tradisi sepanjang lebaran, yang pertama adalah Idul Fitri sendiri, dan satu lagi Syahwalan yang dirayakan 7 hari setelah idul Fitri). Tapi harga-harga kebutuhan pokok yang semakin meninggi dan makin sulitnya kondisi ekonomi menjadikan ketupat menjadi barang yang cukup mahal tahun ini". Di salah satu desa yang saya kunjungi kemarin pun tak ada ketupat. Kata si ibu yang punya rumah, sekarang orang-orang udah gak sempat lagi membuat sendiri ketupatnya. Semua harus beli... dan membeli berarti butuh tambahan budget lagi tuh. Boro-boro ketupat dari beras ketan, dari beras biasa saja mahal." Begitu juga saat saya mampir ke salah satu resepsi perkawinan seorang teman, sekaligus juga merayakan lebaran di rumahnya.. aku tak menemukan ketupat. Alasannya sama dengan semua orang: bahannya mahal dan cara membuatnya membutuhkan banyak waktu. Jadi harus beli.... dan kalaupun harus beli, Anda harus bersaing dengan pembeli lain, karena sangat sedikit yang menjualnya. Begitulah ketupat semakin langka di perayaan-perayaan tahun ini.
Pada kenyataannya, bukan hanya ketupat yang dihemat, tapi juga waktu turut di hemat. Banyak orang di desa hanya merayakan Idul Fitri setengah hari saja, karena setengah harinmya digunakan ke ladang. Saya saksikan sendiri kemarin di daerah Grobogan, bagaimana orang sudah rame di sawah di saat suasana Idul Fitri. Mereka toh tidak bisa disalahkan, karena mereka butuh hidup, apalagi para kuli tani yang pendapatannya hanya ber-skala harian. Hari ini bekerja untuk makan besok; dan kalau tidak bekerja hari ini berarti satu keluarga harus puasa lagi. Alasan logis ini emang sah-saha saja. Tapi seperti kata salah seorang bijak, mengapa kita rela menyediakan waktu barang sehari saja untuk berkomunitas? Mengapa kita selalu berpikir tentang hemat-menghemat di saat hidup kita hingga saat ini masih berlangsung dan tidak dihemat Allah ? Hanya kita masing-masing yang bisa mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan, bukan kepada masyarakat atau komunitas di mana kita tinggal, tetapi terutama kepada diri kita. Hemat itu penting, tapi jangan sampai seperti seorang teman yang begitu hemat hingga orang-orang yang dekat dengannya pun begitu sedikit. Hanya orang yang bisa berbagai dengan sesama yang mengerti kata hemat, dan pasti bukan orang yang menyimpan segudang pakaian barunya di lemari hingga dimakan ngengat demi hemat. Menghilangkan ketupat ibarat menghilangkan salah satu sisi penting dari tradisi, bukan pertama-tama bahwa ketupat lebih enak dari makanan jenang, melainkan karena dengan berhemat di satu sisi kita harus siap kehilangan banyak di sisi lain.
Posting Komentar