Seperti selalu ia bilang, "Aku ini hanyalah wanita dari Desa Padas!"
Entah kenapa, minggu-minggu ini Juminten merasa dikelilingi oleh berbagai kejadian yang mirip antara satu dengan yang lainnya.
Juminten teringat kejadian kemarin waktu dia pergi ke Ciputra Mal. Ketika sedang turun melalui tangga berjalan, di hadapannya terdapat seorang ibu dan anak perempuannya yang masih kecil. Ibu itu berdiri di depan, anaknya di belakang bersama seorang baby sitter.
Anak ini memegang kantong makanan ringan yang sudah dibuka di tangan kirinya. Agak kerepotan juga karena lengan kirinya dipegangi sang baby siter. Tangan kanannya berusaha memegangi kantong makanan ringan tersebut.
Ibunya kemudian menoleh ke belakang dan berkata, ”Sini kantong makanannya, ibu bawakan. Biar tidak repot.”
Anak itu ragu-ragu sejenak. Tapi setelah berpikir sebentar, dia mengulurkan tangannya sambil berkata: ”Jangan dimakan!”.
“Nggak dong, Nak”, kata ibunya.
Anak itu percaya perkataan ibunya dan menyerahkan kantong makanannya. Tapi Juminten kaget ketika melihat sang ibu langsung mengambil dan memakannya. Anak kecil itu berteriak:
”Jangan dimakan!” si ibu hanya tertawa.
Sesampainya di bawah, anak kecil tadi merebut kembali kantong makanan dari tangan ibunya sambil marah-marah. Yang membuat Juminten sedih, Juminten melihat ekspresi kekecewaan dalam diri anak tersebut.
Janji ibunya yang dipercayainya, ternyata tidak ditepati. Mungkin bagi sang ibu, kejadian itu dianggap lucu. Tapi bagi si anak, hatinya luka dan kecewa.
Apa arti sebuah janji kalau tidak bisa dipercaya? Kalau lain kali ibunya berjanji seperti itu lagi, apakah anaknya bisa percaya?
Juminten teringat ketika dia dulu masih kecil. Kebetulan Juminten senang ilmu bela diri. Juminten memiliki seorang paman yang sangat baik. Suatu kali pamannya ini membicarakan ilmu bela diri Juminten. Pamannya kemudian ingin mengukur kekuatan pukulan Juminten.
Beliau meminta agar Juminten memukul lututnya. Juminten menolak karena tidak ingin menyakiti lutut pamannya. Tapi pamannya meyakinkannya bahwa beliau tidak akan sakit.
Dari bimbang, akhirnya Juminten percaya penuh pada pamannya. Dia pun mengepalkan tinjunya yang kecil dan memukul lutut pamannya dengan keras.
Tepat pada saat tinjunya hampir mengenai lutut sang paman, beliau menggerakkan lututnya dan menghindar. Kepalan tangan Juminten membentur pinggiran kursi yang terbuat dari kayu.
Sakitnya bukan kepalang. Tapi, yang lebih sakit lagi adalah hatinya. Juminten sangat kecewa karena pamannya ternyata menipunya.
Dia sudah menaruh kepercayaan penuh pada pamannya, tapi sang paman mengkhianatinya. Tapi pamannya terus tertawa karena menganggap kejadian itu lucu. Sungguh menyakitkan hati.
Rina, rekan kerja Juminten di ruang sebelah juga sedang menggerutu. Rina sudah lama berteman dengan Meri. Kemarin Meri pindah rumah.
Rina yang sudah pernah merasakan repotnya pindah rumah berniat membantu Meri. Karena itu Rina mengatakan agar Meri tidak perlu khawatir. Rina pasti akan membantunya membereskan barang-barang di rumah barunya. Tapi kemarin Rina sibuk sekali di kantor.
Karena itu, sorenya Rina malas ke rumah Meri. Ternyata Meri menelepon dan menanyakan mengapa Rina tidak datang. Meri menagih janji Rina. Tapi rupanya Rina tidak suka. Memangnya saya berutang pada Meri?
Katanya. Juminten menjawab, ”Janji adalah utang.”
Ferdi tadi menelepon. Dulu Ferdi bekerja di kantor tempat Juminten bekerja. Sudah dua tahun dia di sana. Kemudian dia pindah bekerja di perusahaan lain. Baru dua minggu dia bekerja di perusahaan yang baru itu.
Ketika akan masuk kerja, dia dijanjikan mobil dan jabatan yang tinggi. Tentu saja Ferdi senang sekali bekerja di perusahaan tersebut.
Tapi ternyata fasilitas yang sudah dijanjikan tidak sesuai. Tak ada mobil. Ketika Ferdi menagih ke atasannya sesuai janjinya, malah beliau tersinggung. Katanya, dia kan tidak berutang apa-apa?
Lagipula belum kelihatan hasil kerjanya kok minta mobil. Kalau ternyata perusahaan berat memberikan mobil, mengapa dulu begitu mudah mengucapkan janji? Bukankah janji adalah utang?
Di bagian penjualan, pagi tadi ada pelanggan yang marah-marah karena salah seorang karyawan berjanji akan datang pukul sembilan sambil membawakan formulir pesanan, ternyata hingga dua hari dia tidak muncul.
Ada juga yang marah-marah karena bagian penjualan berjanji akan menelepon sepuluh menit lagi, eh ternyata sudah satu jam tidak juga menelepon. Padahal orang tersebut sudah menunggu di samping pesawat telepon.
Sore tadi Juminten belajar sesuatu. Sebagian orang sangat meremehkan janji. Padahal janji adalah utang yang harus ditepati. Juminten berniat tidak akan terlalu mudah mengucapkan janji. Dia sadar kadang-kadang janji diucapkan hanya untuk menunjukkan pada orang lain bahwa dia baik.
Juminten diingatkan, bukan janji yang membuat orang kagum pada kita. Tapi menepati janji yang pernah diucapkan jauh lebih berharga. “Janji adalah utang”. Keep your promise!
Posting Komentar