Di dunia kiwari, dalam konteks pembangunan manusia (SDM), pendidikan kerap dijadikan sebagai indikator tunggal keberhasilan seseorang. Tak heran bila orang berlomba – lomba untuk sekolah tinggi, setinggi – tingginya, hingga ia dimasukan sebagai golongan orang pintar, intelektual, ahli, professor, spesialis, dst.
Kenyataannya memang banyak orang menjadi pintar tapi tak banyak yang sungguh-sungguh bijak dalam arti 'cerdas' (bdk. Kisah Raja Salomo yang lebih memiliki kebijaksanaan dari pada kekayan).
Hal yang sama juga terjadi di universitas-universitan atau sekolah tinggi di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkutat di wilayah pendidikan, tak dapat dipungkiri bahwa perguruan tinggi secara rutin 'memproduksi' orang-orang pintar dengan otak canggih, pun bisa mengalahkan kecanggihan robot.
Jeleknya, demi tujuan 'menjadi pintar' tadi, banyak mahasiwa, juga para dosen dan pengajar jatuh dalam plagirisme. Kita lantar bertanya, bagaimana mungkin di kampus yang semestinya menjunjung tinggi keadaban dan kejujuran seseorang kok malah memproduksi manusia-manusia plagiator?
Imbas dari sistem pendidikan semacam ini menjadikan banyak perguruan tinggi, juga lembaga pendidikan menengah dan dasar tak lagi menghasilkan manusia-manusia bijak atau cerdas, melainkan melulu mencetak manusia-manusia pintar dan cangih dengan tingkah bak robot.
Lebih saklek lagi, sistem tersebut sesungguhnya hanya mencetak “otak canggih”, bukan “manusia canggih”. Padahal manusia toh bukan terdiri dari otak melulu.
Kalau diibaratkan sebagai keluarga, lembaga- lembaga pendidikan kita (termasuk mereka yang bertanggung jawab di dalamnya) bukanlah seorang bapa (orang tua) yang baik bagi anak-anaknya. Sebab, tak dapat dipungkiri bahwa lembaga-lembaga pendidikan justru telah gagal menjalankan fungsinya sebagai sebuah keluarga.
Posting Komentar