Pengalamanku yang sangat pribadi menunjukkan bergerak di lapangan (Dunia Gerakan mahasiswa, LSM, bekerja dalam masyarakat melalui penelitian, dll) tanpa literasi terasa kering, literasi tanpa terjun ke masyarakat juga kering, namun dalam pandangan dan pengalamnku orang yang dekat dengan literasi lebih terbuka pemikirannya dan enak di ajak berdialog serta mengembangkan pemiikiran dan wawasan.
Sekolah dan Pergurauan Tinggi (pendidikan formal) tidak terlalu menjadi jawaban untuk berkembangnya literasi yang menyentuh segala lapisan. aku dan Asep suka diskusi, dia sangat mencintai buku, aku juga suka walau tak segila dia, namun diam-diam aku mencintainya dan buku-bukunya, saat mahasiwa hingga bekerja saya suka memanfaatkan buku perpustakaan, hanya sedikit buku yang kubeli, sedang dia selalu membeli buku jika ada uang, secara ekonomi zaman mahasiswa dia juga lebih terdukung untuk terus membeli buku.
Merintis “Rumah Buku” sebuah perpustakaan privat yang dibuka untuk umum adalah usaha untuk menyembuhkan rasa kesepian kami yang sering muncul karna berteman dengan buku, semakin banyak tahu semakin gelisah dan semakin merasa belum punya pengetahuan dan kemampuan berarti jadi harus terus belajar.
Jadi pada dasarnya kami ingin mendapat jaringan teman sebanyak-banyaknya dan menfasilitasi orang-orang yang menyukai buku. Dunia buku juga dapat merangsang seseorang agar punya keinginan menulis.
Berasal dari keprihatinanku pula ketika melihat teman-teman pada saat mahasiswa sampai pada saat bekerja hanya sedikit sekali yang suka membaca termasuk aku pada awalnya tidak punya daya baca yang kuat. Pada saat Sekolah kebanyakan para siswa hanya sibuk dengan buku pelajaran yang menurut saya tidak begitu membangun untuk jalan hidupnya di masa depan.
Namun juga ada persoalan lain banyak teman-teman yang suka membaca namun dia tidak banyak bisa membeli buku yang di inginkan dan mengakses perpustakaan milik kampus atau Perpustakaan pemerintah mungkin terasa menjadi fasilitas yang “kaku” tanpa komunitas.
Ketika bergabung dalam sebuah organisasi beberapa teman merasakan ada kemunduran pengetahuan dan ketika di cari tahu apa penyebabnya ketahuan banyak personil-personil organisasi ini yang tidak suka membaca buku dan mengembangkan wawasan hanya puas dengan pengetahuan yang sudah dimiliki.
Realisasi Rumah buku (Rumah kami dengan perpustakaan mini milik kami pribadi yang kami buka untuk umum) sendiri tercetus dari sebuah obrolan dengan seorang teman tentang mimpi bersama, walaupun sejak dulu aku telah punya mimpi punya cafe yang menyajikan menu literasi dan menu minuman dan makanan teman nongkrong. Ya mimpi itu terasa masih jauh sekali.
Seorang teman itu adalah Dewi Nova setelah acara peluncuran kumpulan cerpennya “Perempuan Kopi” di Semarang berkunjung ke Rumahku dan Asep di daerah Ngalian, dia melihat buku-buku kami yang tersusun rapi disebuah Rak di ruang tengah dan Jumlahnya lumayan banyak, saat itu baru di kisaran 200 buah lebih, rupanya dia senang sekali melihatnya.
Dia bercerita tentang kunjungannya ke Surabaya dan bertemu komunitas atau wadah pecinta buku (aku lupa namanya), dia terinspirasi Rumah yang dipenuhi dengan buku dan sudut-sudut rumahnya di hias cantik dengan buku sampai lorong menuju dapur, dia berharap rumahnya dan rumahku juga bisa seperti itu dan kita akan mengawali langkah untuk menuju mimpi kita bersama suatu saat akan terbentuk Jaringan di beberapa kota di Indonesia yang menjadi situs Literasi dan penyebaran pengetahuan dalam bentuk informal berbasis komunitas.
Jadi Suatu saat nanti pula dalam Peta travelling di Indonesia tidak hanya ada situs lokasi wisata tapi juga situs literasi swasta selain milik pemerintah yang koleksi bukunya ciamik dan Asyiik buat nongkrong. Itu Mimpi kami yang sejak saat itu benar-benar cukup memberi energi untuk bergerak memulainya dan aku senang melakukannya.
Kami mencoba menuju mimpi besar itu degan sebuah langkah merapikan buku-buku pribadi kami dan membuka pintu rumah kami untuk publik, untuk teman-teman untuk siapapun yang ingin menikmati menu buku di rumah kami.
Selain itu Rumahku dan suami juga bisa menjadi tempat bagi komunitas atau mahasiswa yang melakukan kegiatan baik diskusi ataupu kegiatan bermanfaat yang lain. Dewi Nova bersama suaminya dan mahasiswa relawan sekarang membuka Rumah perpustakaannya dan diberi nama “Bumi Buku.”
Namun secara sederhana kami (aku dan Asep) sungguh butuh teman untuk berbagi cerita dari hasil bacaan kami sehingga informasi yang kami terima tidak berhenti di otak kami, kenyataannya dalam pengalamanku terlalu memaksakan jika kita mendiskusikan yang kita baca dengan teman-teman yang tidak pernah membaca sama sekali dan itu membuatku merasa kesepian dan jika kami tidak mendialogkan pikiran-pikiran kami, hal demikian juga sungguh tidak menentramkan dan mnyehatkan jiwa kami.
Saat ini, kami bersyukur koleksi kami semakin hari terus bertambah, teman-teman juga banyak yang berkontribusi merelakan bukunya untuk menjadi koleksi Rumah Buku.
Sebagian besar koleksi kami adalah buku Sastra dan pemikiran (feminisme, filsafat, Teori sosial dari aliran kanan dan kiri, dll), saat ini makin lengkap dengan kehadiran buku bacaan anak dan buku-buku panduan kerajinan, serta informasi kesehatan.
Kami mengundang para pecinta pengetahuan untuk berkunjung dan berkegiatan di Rumah Buku.
Penulis: Afida Masitoh
Posting Komentar