Semua mata di seputar altar memandang salib itu. Di situ tak ada kemilau pun tak ada pemandangan mempesona. Tapi entah mengapa, pengalaman baru selalu hadir di sana, sebuah pengalaman tanpa selaksa kata.
Aku seperti ada di jangkauan Petrus, Yakobus dan Yohanes yang saat menyaksikan pengalaman menyilaukan, perubahan rupa sang Guru: "wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang" (Mat 17:2).
Sebagaimana peristiwa Gunung Tabor, di atas salib, di sana tak lagi hanya tampak penderitaan. Seperti di Tabor, di salib itu dalam sekejap tampil drama singkat tentang kebahagiaan yang akan dialami Dia yang tersalib.
Seperti di Tabor, tiba-tiba muncul Musa dan Elia, berdiri mengapit Sang Guru sembari berbincang akrab berselimutkan kilauan cahaya kebangkitan. Panggung kemilau cahaya yang sama adalah cahaya paskah yang juga hanya terjadi sekejap.
Tidak lama. Dan kita pun hanya drama satu babak itu itu begitu agung terbentang di kedalaman hati kita, para pengikutNya. Nanti malam, diterangi cahaya Paskah kita pun hanya akan bisa tertegun penuh kagum.
Begitu indah pengalaman bermandikan cahaya, hingga kita tak hendak bergegas pulang meninggalkannya. Lagi, seperti di Tabor, Petrus dkk yang begitu terpesona bahkan rela menawarkan 3 pondok di tempat cahaya berkilau: 1 untuk Musan dan 1 Elia dan 1 lagi untuk Yesus.
Kita manusia. Sungguh sangat manusiawi dalam bergumul dengan ruang dan waktu. Derita kerap mendekap kita, dan tak banyak bahagia menyertai kita.
Petrus yang sehari-hari harus bekerja keras menghidupi keluarganya jelas tak mau berlama-lama di sana. Sekejap ia melupakan "derita" hidupnya itu. Memang ia sungguh lupa karena pancaran sang Cahaya. Ia pun ingin berlama-alam di sana. Tak lain hanya karena ia terbius dalam pengalaman spiritual yang sangat mendalam. Petrus emang rada norak dan lebay !
Tapi itulah gambaran diri kita. Tak mudah keluar dari penderitaan hidup kita, tapi serentak kita ingin bermegah-megah dalam bahagia yang sedang kita alami. Orang lantas rela kehilangan apa pun asal jangan diminta keluar dari kebahagiaan hidupnya.
Entahlah, kita hanya terpesona dengan sabda para pemilik altar dan podium, "Kita telah ditebus Tuhan. Aleluia. Aleluia. Aleluia" atau memang kita sungguh masuk dalam perjalan hidup Tuhan ? Apa kita bahagia atas peristiwa "Tuhan telah menang atas maut" atau karena kita sendiri memang sungguh ingin menang atas penderitaan hidup kita?
Kita adalah Petrus dalam penampakan kemilau cahaya di Gunung Tabor. Kita hampir selalu berorientasi pada hasil, dan bukan proses. Keterpanaan itu lantas menggiring Petrus untuk berlama-alam di tempat itu. Sadar atau tidak, pengaruh jaman ini telah menggiring kita menjadi orang-orang pragmatis.
Logika pun sirna diselubuungi rasa. Yang ada di benak Petrus hanyalah rasa.. ya, rasayang sangat subyektif yang pada akhirnya tidak bisa diperdebatkan (gestibus non disputantur) oleh siapa pun. Output dari pengalaman Petrus merupakan miniatur dari ke-diri-an kita.
Kalau kita ditanya, "Apa/siapa yang kaucari?" maka kita secara tegas akan menjadi "kebahagiaan” atau "orang yang bisa membahagiakan saya".
Di tataran hidup nyata kita sering tak menyadari bahwa KEBAHAGIAAN BUKANLAH SESUATU YANG KITA PEROLEH SECARA PERCUMA. Tak jarang kita lupakan bahwa KEBAHAGIAAN ADALAH SIMPUL RINGKAS DARI USAHA KITA UNTUK MENCAPAINYA.
Dengan demikian PASKAH adalah titik simpul kebahagiaan yang memang layak didapatkan Yesus atas segala daya-upayaNya membahagiakan hidup manusia, dan tentu dengan terlebih dahulu membahagiaan diriNya sendiri.
Akhirnya, bukanlah sebuah kesimpulan yang tepat bila kita merasakan bahwa Tuhan telah menyalamatkan diri kita dari dosa. Jauh lebih penting bagi kita untuk mengatakan bahwa "aku ingin seperti Dia yang tersalib !
Selamat Hari Raya Paskah 2013
Tuhan memberkati. Aleluia. Aleluia. Aleluia.
Posting Komentar