Pengumuman pengunduran diri Paus Benediktus XVI pada tanggal 1 Maret 2013 |
Selain peristiwa di atas, Konklaf (conclav) atau prosesi pemilihan Paus baru (ke-266) untuk memimpin 1,2 milyar umat Katolik di seluruh dunia juga menjadi sorotan utama.
Entah karena di jaman ini tradisi Gereja Katolik dianggap "gila", atau sebaliknya karena liputan tentang Gereja Katolik masih dianggap penting oleh media, maka hampir sebulan terakhir Vatikan disorot oleh media dari berbagai belahan bumi.
Media seakan penasaran. Pertama, karena kecanggihan alat komunikasi yang mereka miliki ternyata tak mampu menembus dinding Kapel Sixtina, tempat konklaf dilakukan secara tertutup.
Selama konklaf berlangsung, hanya 115 orang yang ada di ruangan itu. Semuanya tertutup rapat. Bahkan 115 Kardinal yang punyak hak memilih tak diperbolehkan mewartakan satu kata, bahkan satu huruf pun ke media di luar Kapel Sixtina yang berparaskan lukisan Michael Angelo itu.
Apakah para kardinal tidak punya smartphone atau ponsel samasekali? Tentu saja hampir semua mereka punya smartphone. Hanya saja mereka harus patuh (dengan kesadaran penuh tentunya) pada aturan konklaf. Toh mereka juga sudah disumpah dalam kepatuhan pada Kitab Suci, Magisterium dan Tradisi Gereja.
*****
115 Kardinal yang punyak hak memilih saat konklaf |
Di jaman ini, melepaskan diri dari smartphone tentu sangat sulit. Seberapa lamakah kita bertahan di dalam ruangan tertutup dan tanpa smartphone disaat kita berbicara dengan orang lain pun selalu asyik dengan ponsel kita?
Jadi, jangankan di ruang gelap dan sendirian, bahkan di keramaian pun kita hampir tak bisa tanpa ponsel. Mungkin bisa terjadi ketika seseorang bisa tertawa saat temannya sedang melintas jalan raya dan pada saat yang sama temannya ditabrak truk dan mati. Bisa saja, karena ada kita sering asyik bermain gawai canggih kita dan tak menghiraukan yang lain.
Faktanya kita seringkali lebih asyik punya teman semu di akun media sosial kita daripada memiliki teman nyata di dekat kita. Butkinya, kita tak lupa menyapa orang di kejauhan sana lewat media yang ada, tetapi serentak, di saat bersamaan kita tak justru lupa menyapa orang terdekat kita.
Bila di suatu tempat sinyal terputus atau tak terjangkau ponsel atau smartphone Anda, apa yang terjadi ?
Mungkin saja Anda akan meraih langit, mengangkat dan mengibas-ngibaskan telepon genggam Anda setinggi-tingginya dan berharap sinyal datang menghampiri alat komunikasi itu. Itu yang aku lakukan pada tahun 2006 saat bertugas di Pulau Nias. Aku datang ke Nias dengan pola pikir seperti Anda, yakni dunia terasa sempit lewat media yang tersedia.
Faktanya, saat jaringan telepon dan internet samasekali tak ada, maka konsep kecanggihan itu jadi tak berharga. Ponsel tanpa sinyal dan jaringan internet itu tak lebih dari sebuah rongsokan yang harus dibuang.
Tak sampai sehari, tangan dan mulutku mulai gatal untuk berkomunikasi dengan sahabat di kejauhan saya, minimal lewat berkirim pesan via internet. Belum lagi kendala bahasa daerah (bahasa Nias) yang tidak kupahami membuat waktu berjalan seperti undur-undur.
Anda tahu, saat-saat seperti itu bagaikan "the end of age", akhir zaman. Pikiran Anda akan melayang jauh, menerawang ke tempat-tempat di mana aku pernah tinggal; dan tak menyadari bahwa Anda sudah berada di tempat lain.
Positifnya, keterbatasan teknologi itu justru menggiring saya untuk berkomunikasi, entah dengan bahasa verbal dan non-verbal dengan orang-orang baru di Sirombu, Nias.
Saya sadar bahwa mereka itu nyata. Setiap hari ada di sekitarku. Mereka bisa bersalaman, berpelukan bahkan sekedar menatap mata denganku. Mereka akan bisa tertawa dan menangis bersamaku. Begitulah terjadi, dan aku sungguh merasa malu bila mengingat saat-saat itu.
*****
Berkat perdana setelah terpilih menjadi Paus ke-266 |
Aku sampai ketawa sendiri tadi pagi. Ketika temanku, Pastor Donatus Santoso Simbolon, SVD menulis status "Habemus papam!" dari Botswana - Afrika sana, aku langsung membuka sebuah situs yang sepanjang konklaf menyorot corong asap kapel Sixtina secara live.
Saat internet terasa ngadat aku langsung menuju ruang telvisi. Pilih chanel televisi lokal dan ternyata belum diberitakan. Lalu aku beralih ke TV Kabel, tepatnya ke salah satu stasiun berita ternama. Aku lega. Asap putih yang bersal dari cerobong Kapel Sixtina itu seakan kusaksikan live dari Semarang.
Aku merasa sedang berada diantara ribuan orang dari berbagai belahan dunia yang memadati lapangan Basilika St. Petrus menanti penampilan Paus baru di balkon basilika.
Aku juga seakan melakukan hal yang sama dengan mereka, yakni menyalakan kamera ponsel ke arah asap putih, ke arah pasukan Swiss, ke sekitar dan tentu ke arah balkon, tempat di mana Paus akan diperkenalkan ke publik.
Sama seperti mereka, aku tak ingin kehilangan momentum luarbiasa itu. Merekam momentum itu seakan wajib aku lakukan. Tak lama berselang, aku baru sadar bahwa dari tadi aku hanya memotret layar televisi kecil di kontrakan kami. hahaha....
Tapi apa yang ingin aku katakan ialah betapa banyak orang, termasuk mereka yang sudah beberap hari menginap di Vatikan sana justru tak ingin melihat Paus secara kasat mata. Banyak orang lebih senang menghalangi mata mereka dengan layar kamera ponsel canggihnya untuk melihat wajah sang Paus.
Mereka seakan sudah puas hanya dengan mendapatkan fotonya atau merekam peristiwanya, tanpa menikmati kenyataan bahwa mereka cukup beruntung bisa menyaksikan langsung Paus baru yang mereka nantikan. Pendek kata, momentum yang semestinya mereka maksimalkan untk "berinteraksi" malah digunakan untuk "bertransaksi".
Mereka seakan ingin menjadi reporter, kameramen dan wartawan-wartawan bagi dirinya, atau bagi sahabat yang menitip gambar atau foto darinya. Sama seperti aku yang sudah kadung malu tadi, mereka juga ingin menjadi wartawan dunia maya, yang berprestasi menjadi orang pertama memberitakan bahwa "Paus baru telah terpilih ! Habemus Papam !"
Sebetulnya aku malu menceritakan tentang mereka. Karena aku juga berbuat hal yang sama. Aku memelototi televisi saat penyiar mengatakan Paus yang baru akan segera diperkenalkan.
Semua moment itu aku rekam dengan ponselku yang murah meriah ini. Pada saat kardinal tertua mengumumkan bahwa Paus yang baru mengambil nama Fransiskus, aku bukannya melihat layar televisi. Aku malah sibuk mengaktifkan kamera dan memotret monitor TV di depanku.
Kardinal Jorge Bergoglio dikonsekrir menjadi Paus dengan nama Paus Fransiskus |
"Saudara dan saudari, selamat sore ! Anda tahu bahwa tugas konklaf adalah memilih seorang Uskup Roma. Tampak bahwa saudara-saudaraku kardinal sudah pergi mencarinya dari hampir seluruh ujung dunia. Tapi, sekarang (dia) ada di sini. Saya berterima kasih atas penerimaan Anda, kepada komunitas Keuskupan Roma, kepada Uskupnya, terima kasih. Pertama-tama saya ingin berdoa untuk Uskup Emiritus Bendiktus XVI. Kita semua berdoa untuk dia, semoga Tuhan memberkatinya dan semoga Maria melindunginya.” [...dst''']Ucapan dalam bahasa Italia itu samar-samar aku pahami, kendati aku tidak bisa berbahasa Itali. Untung saja pernah belajar Bahasa Latin, jadi agak mudeng dikit. Yang aku tahu persis hanya ketika Paus mengajak umat berdoa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan dalam bahasa Italia. Kemudian Paus Fransiskus pun melanjutkan sambutan dan ditutup dengan ucapan terimakasih kepada umat
"...... ... “Terima aksih banyak atas penerimaan. Doakanlah saya dan kita akan berjumpa lagi sesegera mungkin. Besok saya ingin pergi berdoa kepada maria agar ia melindungi Roma seluruhnya. Selamat malam dan selamat beristirahat.”Saya begitu konsentrasi untuk memahami arti kata-katanya itu, kendati tangan ku gatal untuk jeprat-jepret dan mengambil fotonya di televisi. Aku sedikit memahami sambutanya ketika penyiar tivi menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.
Setelah prosesi pemilihan Paus selesai aku kembali tersadar apa yang barusan terjadi, baik di tivi maupun apa yang telah aku lakukan, tentu bercampur bahagia sebagai umat Katolik yang memiliki Paus baru.
Ternyata sepanjang prosesi perkenalan Paus Fransiskus I di televisi aku siap memoto dan mempostingnya ke akun medsosku: "Paus baru sudah terpilih! Namanya Paus Fransiskus."
Aku seakan ingin menegaskan ke teman-teman atau koneksiku di dunia maya bahwa akulah yang pertama tahu kalau Paus baru sudah terpilih. Lihatlah di FB ku betapa aku seakan lah orang pertama yang tahu. Nyatanya ? semua orang pun ingin sama.
Ketika aku posting , teman-temanku malah sudah duluan mempostingnya, bahkan dengan nama lengkap dari kardinal yang terpilih, Kardinal Jorge Mario Bergoglio asal Argentina, ayah Itali dan ibu Argentina asli.
*****
Paus Benediktus XVI |
Prosesi pemilihan Paus bukanlah sekedar memilih pemimpin baru Gereja Katolik, tetapi juga menjadi pelajaran baru bagi dunia perpolitikan di seluruh dunia, bahwa pemimpin terbaik juga bisa lahir dari "hasil" doa seluruh umatNya.
Saat ini pilkada sedang ramai di Indonesia, begitu juga pilpres dan pemilu segera akan kita hadapi. Banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin. ambisi menjadikan mereka tak lagi peduli mereka menang atau kalah. Di benak mereka hanyalah kemenangan. Ya sebuah kemenangan yang memberi mereka kekuasaan lebih dari sebelumnya.
Kampanye yg menghamburkan banyak waktu dan uang itu tak lebih dari sekedar mengatakan bahwa "Akulah yang terbaik dan paling layak untuk Anda pilih dan bukan calon lain!" Tak heran, sikut sana-sikut sini menjadi kebiasaan yang sepertinya bisa dipahami.
Tradisi historis berusia dua ribuan tahun yang secara setia dan konsisten dijalankan Gereja ternyata toh masih lebih menarik daripada sistem demokrasi ala Amerika yang mengedepankan popularitas berdasar legalitas dari rakyat yang memilihnya.
Legalitas pada akhirnya bukan soal berapa banyak yang mendukung Anda, tetapi seberapa besar otoritas yang Anda miliki dan otoritas yang tampak itu adalah teladan yang Anda tunjukkan kepada dunia, kepada orang di sekitar Anda.
Pemilihan Paus tak saja memberikan nuansa baru bagi perjalanan kepmimpinan dunia, tetapi juga membabarkan bahwa dunia masih menghasilkan mukjizat secara nyata. Lihatlah betapa media massa tak bisa menebak siapa yang akan memimpin Gereja Katolik nantinya.
Harian Kompas pada halaman 10 (14/3/13) mengutip International Herarld Tribune, Washington Post, The Christian Science Monitor dan La Stampa, bahkan tak menyebut nama Jorge Mario Bergoglio sebagai calon unggulan. Sungguh mengejutkan !
*****
Paus Fransiskus |
Tahta Paus tak lebih dari sekedar panggung di mana Tuhan lebih berkuasa untuk menentukan daripada suara manusia. banyak orang terheran-heran dan nyaris tak percaya bagaimana dulu Yohanes Paulus II terpilih hanya karena ia muda dan bukan dari Italia.
Sekarang kita juga tercengang betapa kita, khususnya sebagai orang Katolik, tak kuasa memilih siapa Paus kita. Sebagaimana ribuan orang-orang yang berkumpul di lapangan Basiliki St. Petrus, kita pun hanya bisa menanti sambil berdoa.
Kita harus rela untuk menyerahkan hak pilih kita kepada Tuhan sembari turut bergembira karena kita sudah memiliki pemimpin Gereja yang baru, dialah Paus Fransiskus, sang kardinal yang tidak begitu dikenal dunia di luar argentina.
*****
Selamat kepada kardnial Jorge Mario Bergoglio yang telah menjadi Paus ke-266 dengan nama baru pula, Paus Fransiskus.
Sebagai seorang Katolik saya kagum bahwa semua umat Katolik seakan hanya bisa bergembira tanpa pusing dari mana sang Paus berasal. Yang terpenting adalah bahwa dia kita percayai bisa menggiring domba-domba ke padang yang subur dan luas.
Dia memang bukan Paus hasil electoral vote, swing vote atau Paus yang terpilih berdasarkan kuota daerah pemilihan (dapil). Dia hanyalah seorang Paus yang mendapatkan suara terbanyak hanya dari 115 kardinal yang kita percaya untuk memilihnya.
Sekali lagi, Paus Fransiskus bukan Paus yang terpilih berdasarkan analisa demokrasi yang begitu mapan, tetapi ia adalah resume dari suara-suara orang Katolik yang tulus menghendaki agar Gereja punya pemimpin baru, dan Paus Fransiskus adalah yang terbaik.
Posting Komentar