Melalui salib, Allah menunjukkan kepada manusia tentang ketidakberdayaan manusia. Allah yang disalibkan itu telah memperlihatkan Allah yang sesungguhnya dan manusia yang sesungguhnya. Bagi Moltmann, ‘Allah yang mati’ pada salib berbeda jauh dengan Allah yang mati sebagaimana dipikirkan oleh Hegel, Nietzsche, dan Feuerbach.
Di zaman modern, manusia mengkritik Allah dan membuat ‘manusia’ menghancurkan dan melawan Allah serta menentang gambaran-gambaran Allah dan agama. Tapi bagi Moltmann, tanpa Allah dan tanpa iman akan Allah, manusia kehilangan kemanusiaannya.
Menurut Moltmann, titik pusat Kristianitas adalah perjumpaan dengan Yesus Kristus yang disalibkan, mati dan bangkit. Dalam perjumpaan ini, pada satu sisi kita menjumpai Tuhan yang merendahkan diri-Nya menjadi manusia dan membiarkan diri-Nya dalam penderitaan yang tidak berbelaskasihan, mati di dalam keadaan yang ditinggalkan Allah pada salib.
Namun, pada saat yang sama pula kita menjadi Allah yang sukses dan apatis. Kontradiksi inilah akan membawa perubahan dari sifat apatis manusia digantikan dengan suatu keberadaan yang memunculkan belaskasih, yang akan membawa manusia pada simpati, sensivitas dan kasih.
Salib Mengatasi Penderitaan
SALIB Yesus menyimpan suatu paradoks. Allah tersembunyi sekaligus terungkap. Allah yang absen sekaligus hadir. Allah yang meninggalkan sekaligus menyertai. Tetapi lewat penderitaan dan kelemahan Yesus, nyata bahwa kuasa Allah yang menyelamatkan.
Padahal, sebagai simbol hukuman yang melecehkan dan merendahkan martabat, salib tak mungkin disukai; salib adalah batu sandungan (skandalon) dan kebodohan.
Kendati demikian, paradoks di dalam salib adalah Allah yang menderita mampu menolong. Juga bersama dengan pengenalan akan Allah di dalam diri Yesus yang tersalib, teologi Kristen berdiri dan jatuh.
Salib, Potret Allah dan Manusia
Pada salib itu, Allah dinyatakan melalui Yesus sebagai Allah yang manusiawi. Dalam kematian-Nya, Ia membawa persekutuan kasih dengan Allah kepada orang-orang yang menyerahkan semua kesengsaraan mereka kepada suatu harapan dan memberikan masa depan.
Yesus yang disalibkan itu menyatakan, Ecce Homo ( lihatlah manusia ini ! ) dan Ecce Deus (lihatlah Allah). Siapa yang hendak mengetahui apa dan siapakah Allah itu, harus memandang Yesus yang disalibkan itu sebagai anak manusia yang disalibkan dan Allah yang disalibkan. Pada salib itu terlukis potret Allah dan manusia yang sesungguhnya.
Pernyataan Ecce Homo merupakan kenyataan dari seluruh penolakan manusia dan Ecce Deus sebagai kenyataan dari kasih yang tak terbatas dari Allah.
Melalui Yesus Kristus manusia melihat ‘Allah yang disalibkan’ sebagai manusia yang menderita, tidak memiliki masa depan dan menunjukkan siapakah Allah itu. Sependapat dengan Calvin, Moltmann menyatakan
“the Crucified is the miror in which we see God and ourselves.”
Begitulah Moltmann menguraikan doktrin Allah dari perspektif salib. Allah orang-orang Kristen adalah Allah yang mengasihi dan menderita, Ia serupa dengan makhluk-makhluk-Nya.
Sebab dengan cerminan itu manusia memperoleh ‘wajah baru’ yang diberikan Allah atas pernyataan siapakah manusia itu? Pada salib nampak dengan jelas kesengsaraan manusia dan kasih Allah. Kebebasan Allah terletak dalam penderitaan dan kebangkitan-Nya.
Allah bebas untuk mengubah diri-Nya dan dengan kebebasan itu Ia membiarkan diri-Nya menderita, tanpa meragukan kedaulatanNya., menurut Moltmann, tanpa penderitaan itu kita tidak dapat berbicara tentang Allah yang mengasihi.
Dengan melihat pada Yesus Kristus sebagai ‘Allah yang disalibkan’, manusia melihat suatu sejarah yang dibuka baginya, yang kedalamNya manusia dipimpin kepada masa depan oleh janji Allah. Hal ini berarti bahwa Allah yang mengkomunikasikan diri sebagai ‘Immanuel’, membuat manusia mengalami hidupnya di dalam kasih Allah.
Anak Manusia Yang Disalibkan
Yesus yang disebut ‘Anak Manusia’ adalah Dia yang mengidentikkan dirinya dengan kemanusiaan. Bagi Moltmann, Anak Manusia adalah Ia yang melihat diri-Nya sendiri berada dalam kumpulan orang-orang berdosa, malang, sakit, cacat, dan sampah masyarakat.
Ia mengampuni dosa mereka dan memberi mereka kelegaan. Semua penderitaan manusia dijumpai didalam Anak Manusia yang disalibkan. Di dalam Yesus yang disalibkan, orang-orang memiliki kembali kemampuan untuk melihat diri mereka sendiri dalam alur sejarah. Di sana, mereka dapat menemukan luka-luka mereka dalam luka-Nya.
Di sinilah permulaan hidup baru, yaitu hidup dalam harapan, pendamaian dengan Allah dan sesama manusia. Manusia dilibatkan dalam persekutuan dengan Allah, yang tidak hanya menentangnya tetapi juga bersama manusia menuju masa depan.
Masa depan manusia tidak dalam kemajuan-kemajuan yang digapainya, tetapi dalam pengorbanan-Nya. Karena itu, Anak Manusia disebut sebagai “the ‘imposible posibility’ of hope in this world.”
Sebab dengan cerminan itu manusia memperoleh ‘wajah baru’ yang diberikan Allah atas pernyataan siapakah manusia itu? Pada salib nampak dengan jelas kesengsaraan manusia dan kasih Allah. Kebebasan Allah terletak dalam penderitaan dan kebangkitan-Nya.
Allah bebas untuk mengubah diri-Nya dan dengan kebebasan itu Ia membiarkan diri-Nya menderita, tanpa meragukan kedaulatanNya., menurut Moltmann, tanpa penderitaan itu kita tidak dapat berbicara tentang Allah yang mengasihi.
Dengan melihat pada Yesus Kristus sebagai ‘Allah yang disalibkan’, manusia melihat suatu sejarah yang dibuka baginya, yang kedalamNya manusia dipimpin kepada masa depan oleh janji Allah. Hal ini berarti bahwa Allah yang mengkomunikasikan diri sebagai ‘Immanuel’, membuat manusia mengalami hidupnya di dalam kasih Allah.
Anak Manusia Yang Disalibkan
Yesus yang disebut ‘Anak Manusia’ adalah Dia yang mengidentikkan dirinya dengan kemanusiaan. Bagi Moltmann, Anak Manusia adalah Ia yang melihat diri-Nya sendiri berada dalam kumpulan orang-orang berdosa, malang, sakit, cacat, dan sampah masyarakat.
Ia mengampuni dosa mereka dan memberi mereka kelegaan. Semua penderitaan manusia dijumpai didalam Anak Manusia yang disalibkan. Di dalam Yesus yang disalibkan, orang-orang memiliki kembali kemampuan untuk melihat diri mereka sendiri dalam alur sejarah. Di sana, mereka dapat menemukan luka-luka mereka dalam luka-Nya.
Di sinilah permulaan hidup baru, yaitu hidup dalam harapan, pendamaian dengan Allah dan sesama manusia. Manusia dilibatkan dalam persekutuan dengan Allah, yang tidak hanya menentangnya tetapi juga bersama manusia menuju masa depan.
Masa depan manusia tidak dalam kemajuan-kemajuan yang digapainya, tetapi dalam pengorbanan-Nya. Karena itu, Anak Manusia disebut sebagai “the ‘imposible posibility’ of hope in this world.”
Posting Komentar