Begitu ungkapan mendalam dari Micky alias Michael, sang suami saat mengumumkan kemenangan nobel istrinya, Aung San Tsu Kyi. "The Fights go on!" adalah jawaban Tsu Ki atas kerinduan sang suami dan anak-anaknya. Kurang lebih sebulan lalu aku menonton film "heroisme hati" ini. Tetapi kata-kata di atas begitu menggoda hingga kata-kata perjuangan Aung San Tsu Kyi begitu membekas di otak-ku. Ya, perjuangan belum usai, bahkan ketika darah harus terkucur deras dari para pendukungnya. Begitu banyak korban nyawa demi satu tujuan : memperjuangkan Myanmar menjadi negara demokratis. Oke, aku tak mau membahas politik, juga tak bermaksud mengurai tiap tetesan darah manusia yang kehilangan nyawa dalam film "dokumenter" tersebut. Saya hanya menyoroti kalimat "the fights go on" di atas. Mengapa aku tertarik dengan perkataan via telepon itu ? Pertama-tama bukan karena keterharuanku pada realitas ini : San Tsu Kyi mendapat Nobel Perdamaian namun tak bisa hadir untuk menerimanya secara langsung. Bagiku, jauh lebih menarik bila perkataan ini diletakkan dalam konteks keluarga.
Ya, keluarga San Tsu Kyi dan suami tercintanya, Micky, serta dua putranya (aku lupa namanya, maklum sudah sebulan lalu hehehehe). Keluarga mereka yang tadinya serba berkecukupan di Inggris pada akhirnya harus ditinggalkan oleh San Tsu Kyi, yang tak saja terkenang oleh perjuangan almarhum ayahnya, tetapi juga oleh idealismenya untuk menyelamatkan rakyat myanmar. Ini pilihan berat yang harus ia pilih, dan setelah melihat secara langsung "Myanmar pada saat itu" ia pun memantapkan pilihannya untuk "mengungsi" sementara waktu ke bumi pertiwinya. Kenyataan ini sangat tidak mudah : pahit bagi dia, dan sangat berat bagi suami dan dua anak remajanya yang masih beranjak remaja. Tetapi sekali lagi, berkat dukungan suami dan anak-anaknya, ia pun dibebaskan sementara dari fungsinya sebagai "ibu rumah tangga" dan melepaskan ibu mereka menjadi "ibu negara".
Menonton film ini dalam kacamata "keluarga" tidak saja menggetarkan kita; melainkan juga menimbulkan pertanyaan serius : "Apakah idealisme untuk menyelamatkan rakyat bisa dijadikan sebagai jalan untuk mengorbankan keluarga?" Pertanyaan ini sungguh sangat penting bila menyoroti peran seorang ibu dalam keluarga. Pada kenyataannya, Tsu dan Michael memiliki dua anak remaja yang sedang membutuhkan pendampingan orangtua. Apalagi, pada masa iotu kedua putranya sedang dalam usia akil balik.
Sungguh tak mudah membaca keluarga dalam konteks dinamika politik, apalagi dalam konteks memperjuangkan anak-anak yang lebih banyak (baca: masyarakat). Orang politik akan mengatakan ini resiko sebuah perjuangan politis. Kaum rohaniwan-rohaniwati mungkin melihatnya sebagai sebuah pengorbanan bagi sesama. Tetapi bisa jadi, kaum ibu yang menonton film ini akan berteriak, "Sudah bu Tsu, kembalilah ke keluargamu. Uruslah anak-anakmu dengan baik. Akah lebih hebat memperjuangkan dua anak menjadi anak yang baik daripada hasratmu ingin memperjuangkan rakyat dan pendukungmu tetapi mereka juga akan mati sia-sia !"
Lagi, kenyataan yang diterima oleh Aung San Tsu Ky tak hanya kehilangan suami untuk selamanya dan demi idealisme politiknya ia tak datang melayatnya. Sekali lagi, kaum ibu di seluruh dunia pasti akan bertanya-tanya, "Bagaimana mungkin seorang istri tak memberikan kesempatan terakhir pada suaminya untuk bertemu sejenak dan mau meninggalkan negaranya dengan segala resiko ?" Lihatlah pernyataan suaminya (yang kendati sangat mendukung perjuangan istri tercintanya ) pada saat menerima hadiah nobel perdamaian (bersama kedua anaknya) : "WE MISS HER"! Ini tak saja sebuah kerinduan dalam arti fisik, tetapi serentah ini adalah ungkapan akan kerinduan spiritual bernama CINTA. Tapi, sekali lagi, demi idealismenya, Aung San Tsu Kyi hanya bisa menangis dengan kata-kata yang dia terima via telepon yang terputus-putus itu.
Inilah realitas politis yang terkadang harus kita pilih; dan pilihan tak pernah akan benar bila kita memilih lebih dari satu (sekaligus). Pilihan yang tepat, ya hanya satu. Kalau akhirnya salah pilih, baru kita harus memilih yang lain atau yang baru. Bagi Aung San Tsu Kyi mungkin saja pilihan ini tidak mudah : antara "bahagia menjadi seorang istri dan dua putranya" atau "rela menderita bagi ribuan orang yang tertindas di negaranya". Memang tak mudah untuk memilih, tetapi serentak juga, pilihan Aung San Tsu Kyi semakin dimuluskan oleh dukungan suami tercintanya, Micky.
Sungguh menggetarkan, justru pilihan berat itu menjadi tanggung jawab bersama. Micky meninggalkan dukungan penuh cinta kepada istrinya, sementara wanita bernama Aung San Tsu Kyi hingga kini tak kadung memahami arti cinta itu di pengasingannya nan sepi. Entahlah, aku tak bermaksud mengatakan siapa benar dalam hal ini. Aku hanya kagum pada perjuangan politiknya di Myanmar - demi menciptakan perdamaian di tengah kerasnya pemerintah menindas rakyatnya; tetapi serentak berandai-andai bila saja ia harus memilih untuk membangun tekad dalam dirinya : "Rawatlah anakmu bu, siapkan mereka jadi pemimpin masa depan, hingga kelak mereka bisa membantu Myanmar keluar dari tindakan brutal para pejabat di negaramu !"
Lusius Sinurat
Ya, keluarga San Tsu Kyi dan suami tercintanya, Micky, serta dua putranya (aku lupa namanya, maklum sudah sebulan lalu hehehehe). Keluarga mereka yang tadinya serba berkecukupan di Inggris pada akhirnya harus ditinggalkan oleh San Tsu Kyi, yang tak saja terkenang oleh perjuangan almarhum ayahnya, tetapi juga oleh idealismenya untuk menyelamatkan rakyat myanmar. Ini pilihan berat yang harus ia pilih, dan setelah melihat secara langsung "Myanmar pada saat itu" ia pun memantapkan pilihannya untuk "mengungsi" sementara waktu ke bumi pertiwinya. Kenyataan ini sangat tidak mudah : pahit bagi dia, dan sangat berat bagi suami dan dua anak remajanya yang masih beranjak remaja. Tetapi sekali lagi, berkat dukungan suami dan anak-anaknya, ia pun dibebaskan sementara dari fungsinya sebagai "ibu rumah tangga" dan melepaskan ibu mereka menjadi "ibu negara".
Menonton film ini dalam kacamata "keluarga" tidak saja menggetarkan kita; melainkan juga menimbulkan pertanyaan serius : "Apakah idealisme untuk menyelamatkan rakyat bisa dijadikan sebagai jalan untuk mengorbankan keluarga?" Pertanyaan ini sungguh sangat penting bila menyoroti peran seorang ibu dalam keluarga. Pada kenyataannya, Tsu dan Michael memiliki dua anak remaja yang sedang membutuhkan pendampingan orangtua. Apalagi, pada masa iotu kedua putranya sedang dalam usia akil balik.
Sungguh tak mudah membaca keluarga dalam konteks dinamika politik, apalagi dalam konteks memperjuangkan anak-anak yang lebih banyak (baca: masyarakat). Orang politik akan mengatakan ini resiko sebuah perjuangan politis. Kaum rohaniwan-rohaniwati mungkin melihatnya sebagai sebuah pengorbanan bagi sesama. Tetapi bisa jadi, kaum ibu yang menonton film ini akan berteriak, "Sudah bu Tsu, kembalilah ke keluargamu. Uruslah anak-anakmu dengan baik. Akah lebih hebat memperjuangkan dua anak menjadi anak yang baik daripada hasratmu ingin memperjuangkan rakyat dan pendukungmu tetapi mereka juga akan mati sia-sia !"
Lagi, kenyataan yang diterima oleh Aung San Tsu Ky tak hanya kehilangan suami untuk selamanya dan demi idealisme politiknya ia tak datang melayatnya. Sekali lagi, kaum ibu di seluruh dunia pasti akan bertanya-tanya, "Bagaimana mungkin seorang istri tak memberikan kesempatan terakhir pada suaminya untuk bertemu sejenak dan mau meninggalkan negaranya dengan segala resiko ?" Lihatlah pernyataan suaminya (yang kendati sangat mendukung perjuangan istri tercintanya ) pada saat menerima hadiah nobel perdamaian (bersama kedua anaknya) : "WE MISS HER"! Ini tak saja sebuah kerinduan dalam arti fisik, tetapi serentah ini adalah ungkapan akan kerinduan spiritual bernama CINTA. Tapi, sekali lagi, demi idealismenya, Aung San Tsu Kyi hanya bisa menangis dengan kata-kata yang dia terima via telepon yang terputus-putus itu.
Inilah realitas politis yang terkadang harus kita pilih; dan pilihan tak pernah akan benar bila kita memilih lebih dari satu (sekaligus). Pilihan yang tepat, ya hanya satu. Kalau akhirnya salah pilih, baru kita harus memilih yang lain atau yang baru. Bagi Aung San Tsu Kyi mungkin saja pilihan ini tidak mudah : antara "bahagia menjadi seorang istri dan dua putranya" atau "rela menderita bagi ribuan orang yang tertindas di negaranya". Memang tak mudah untuk memilih, tetapi serentak juga, pilihan Aung San Tsu Kyi semakin dimuluskan oleh dukungan suami tercintanya, Micky.
Sungguh menggetarkan, justru pilihan berat itu menjadi tanggung jawab bersama. Micky meninggalkan dukungan penuh cinta kepada istrinya, sementara wanita bernama Aung San Tsu Kyi hingga kini tak kadung memahami arti cinta itu di pengasingannya nan sepi. Entahlah, aku tak bermaksud mengatakan siapa benar dalam hal ini. Aku hanya kagum pada perjuangan politiknya di Myanmar - demi menciptakan perdamaian di tengah kerasnya pemerintah menindas rakyatnya; tetapi serentak berandai-andai bila saja ia harus memilih untuk membangun tekad dalam dirinya : "Rawatlah anakmu bu, siapkan mereka jadi pemimpin masa depan, hingga kelak mereka bisa membantu Myanmar keluar dari tindakan brutal para pejabat di negaramu !"
Lusius Sinurat
Posting Komentar