Tugu Muda Semarang di malam hari. |
Tahu apa yang tiba-tiba kami lakukan ? Secara spontan aku segera mengambil kunci dan segera menyalakan sepeda motor, diikuti gerak ketakutan sang teman yang secara spontan pula langsung naik di belakang saya. Bapa paruh baya itu semakin mendekat... mendekat...dan..."gubrakkkk!"...
Tiba-tiba saja sepeda motor tak bisa diajak kompromi saat tinggal selangkah lagi si gelandangan itu akan menyentuh kami..... Desahan ketakutan "Oh my God ! dan "Ya Allah" pun serentak keluar dari mulut kami berdua. Inilah yang terjadi dalam hitungan detik berikutnya !
Bukannya mendekati kami, sang gelandangan malam itu hanya "melengos" melewati kami tampak sedang "mentertawakan" kami. Asal tahu saja, malam itu adalah malam Jumat, entah Kliwon atau Pahing aku tak ingat persis.
Pertanyaannya, apakah Anda akan melakukan hal yang sama bila berhadapan dengan orang yang "sama" atau "sejenis'? Tentu saja ya.. Reaksi kami berdua saat itu kurang lebih merepresentasikan reaksi yang wajar dilakukan banyak orang. Tidak usah berpikir panjang deh.
Setelah kejadian itu berlalu kami hanya bisa tertawa dan menahan malu: si gelandangan itu telah sukses "ngerjain" bahkan "nertawain" kami di malam yang nyaris berselimutkan gulita itu.
*****
Dalam keseharian kita pasti pernah mengalami hal yang kurang lebih sama, kecuali memang beda konteksnya saja. Pada saat berhadapan dengan orang 'gila' (sengaja pakai tanda kutip, karena versi orang gila, kita yang merasa waras lah yang sesungguhnya gila), dalam hati kita tidak mau terlibat dengan masalah apapun, termasuk harus "berkompromi" dengan mereka.
Gerak pikiran kita secara spontan akan menyuruh kita segera angkat kaki dan menghindar sejauh mungkin dari orang itu..... daripada "diganggu" atau ditakut-takuti oleh sang gelandangan tersebut.
Tetapi akan lain ceritanya bila yang sesungguhnya terjadi malah sebaliknya: jangan-jangan sebelum kita takut, eh si gelandangan tadi sudah takut dahuluan -- entah takut karena merasa dikejar oleh bayang-bayangnya sendiri, entah ketakutan disakiti oleh orang "normal" seperti kita.
Atau, jangan-jangan (seperti yang sempat terpikirkan oleh saya setelah kejadian itu) si gelandangan itu justru mau minta tolong kepada kami saat itu.Tapi kok kami kok malah "berlari menjauhinya!" Apakah karena dia itu seorang asing, dan gelandangan pula ?
..... Kejadian yang kami alami minggu lalu itu, ternyata masih membekas di pikiran.. Hingga malam ini aku ingin berbagi dengan Anda. Aku mencoba berandai-andai.....
Andai saja aku menyapanya, tentu dengan menggunakan "bahasa"nya... Atau menyentuhnya, bahkan memeluknya..bisa jadi ia akan sembuh - bila pengandaiannya adalah ia ingin "berbagi". Atau, andai saja aku dan kekasihku tadi mengulurkan tangan dan menjamah orang itu dan ia percaya bahwa sentuhan kita adalah sentuhah kasih Allah...pasti deh dia segera sembuh !
Andai saja kami tak menghindarinya dan merasa takut pada orang yang tak punya nama dan kami tak tahu siapa dia sesungguhnya itu, pasti deh dia akan sembuh dari kegilaanya.
Tapi, boro-boro ingin melihatnya lebih dekat, apalagi ingin menyentuhnya, senyum dan caranya tertawa saja sudah cukup untuk membuat kami ingin lari terbirit-birit...huhhhh.... Apa Menyempatkan diri bertanya "siapa dia?" Enggak banget deh. Ya, ini hanya sebuah permenungan tentang sikap reaktif secara berlebihan terhadap orang "gila".
*****
Saya jadi teringat pengalaman saya pertama kali menginjakkan kaki di Padang Bulan, Medan. Pengalaman ini tiba-tiba saja teringat lagi setelah mengalami pertemuan dengan gelandangan di atas.
Persitiwa itu terjadi pertengahan tahun 2001. Begitu aku turun dari bus di salah satu persimpangan yang relatif sepi dan dalam kondisi listrik miliknya PLN sedang padam, sekelompok orang muda bertato dan bertampang sangar, dengan bahasa Indonesia berlogat kental (Batak) Karo tiba-tiba berjalan ke arahku. Dalam hati aku berteriak,
"Ya, Tuhan, please..jauhkan orang itu dari saya!" Pikiranku juga ikutan protes, Waduh, orang-orang ini pasti preman kelas teri yang beraninya hanya sama pendatang baru di kampungnya!" Di saat hati dan pikiran berkecamuk silah berganti orang itu semakin mendekat ke arahku.
Semakin mereka mendekat, rasa takutku pun semakin meningkat. Apalagi saat itu sekitar pukul 23.00... Di persimpangan, di tempat aku turun dari bus tadi sudah mulai sepi. Mungkin juga karena listrik pada malam itu padam. Karena sebelumnya saya belum pernah ke sana (alamat yang saya ingin tuju), maka cara saya datang ke sana hanya bermodalkan "instruksi" dari tuan rumah yang akan kutemui.
Inilah yang terjadi dalam hitungan menit, setelah salah satu dari preman itu bertanya dengan suara serak pertanda mabuk, "Mau ke mana, silih (mas)?"
Aku menjawab terbata-bata sambil mengeluarkan kertas kecil bertuliskan alamat yang kutuju. Hanya dalam hitungan detik, tiba-tiba dia berteriak memanggil tukang beca motor (betor) yang tak jauh nangkring dari tempat kami bicara.
Lalu, si preman yang menyapaku tadi langsung menyuruh si tukang beca mengantarku hingga ke alamat seraya menambahkan pesan ini ke tukang beca, "Kau antarkan abang kita ini sampai alamat. Jangan macam-macam kau sama orang baik ini, silih !"
Singkat cerita, dalam waktu sekejap, jauh lebih cepat dan mudah prosesnya dari yang aku bayangkan sebelumnya, akhirnya aku sampai di alamat yang kutuju dengan selamat. Dan hingga hari ini, aku tak tahu siapa orang itu. Bahkan ketika aku pulang dan tugas lagi di medan pada tahun 2009-2010, aku tak pernah menemukan wajah itu.
*****
Belajar dari kedua pengalaman di atas, saya percaya bahwa sesungguhnya mukjizat bsai terjadi kapan dan di mana saja, asalkan kita percaya bahwa yang kita lakukan kepada orang lain adalah sentuhan yang berbelas kasih.
Mukjizat yang saya alami dan sungguh terjadi saat itu bukanlah pertama-tama tentang bagaimana aku terlepas dari rasa takut akan dibunuh atau disakiti. sebaliknya, mukjizat yang saya alami itu sebuah mukjizat yang terjadi karena ada orang yang melakukan sesuatu dengan orang asing, dan tindakannya didasarkan pada belas kasih.
Aku sungguh mengalami betapa "para preman" yang awalnya saya takuti itu ternyata sosok yang berbelas kasih. Maksud saya, dia itu tak banyak bertanya tentang saaya. Ia tak banyak pertingsing dan pertanyaan ingin tahu ini dan itu dari diri saya.
Eh, di sisi lain, saya malah terlalu ingin tahu akan segala sesuatu tentang orang itu. Aku termakan oleh persepsi negatif tentang gelandangan dan preman; bahkan lebih tertarik dengan 'gosip tentang mereka' daripada 'segera membantu mereka' dari penderitaannya. Mungkin saya dan Anda ingin membantu mereka, tetapi bisa jadi dengan menawarkan syarat tertentu.
Kita kerap memperlakukan diri kita sebagai sosok yang 'tak mau disentuh', khususnya oleh mereka yang butuh sentuhan kita : siapa lagi kalau mereka yang kerap tersingkir dari persaingan hidup yang serba kapitalis ini ?
Kita kerapkali hanya ingin melihat 'siapa' orang yang datang kepada kita, tanpa ada hasrat untuk melihat 'penderitaan'nya yang sesungguhnya ! Tak jarang kita ingin menjadi sosok yang serba ingin tahu tentang kelakukan orang; tetapi tak mau merasakan kesakitan mereka.
Padahal kesembuhan dari orang-orang yang menderita itu sungguh tak bermula dari seberapa hebatnya kita menginterogasi mereka, melainkan dengan aksi : "Hei kawan, saya pengen kamu sembuh!" sembari sebelumnya mau menjamah dan 'membersihkan' luka-lukanya.
Semestinya sih, kita tidak boleh pilih-pilih ketika mau meringankan beban orang lain. Enggak penting banget deh 'siapa dia' yang akan kita bantu, bahkan ketika dia itu orang asing atau orang yang kita anggap 'musuh'.
Alangkah lebih penting bagi kita adalah penderitaan dan kesulitannya yang sudah di depan mata kita. Jadi, mari kita lakukan sesuatu untuk membantu dengan segera, apapun yang masih bisa kita lakukan saat itu.
Semarang, 31 Mei 2012 : 23.30
Posting Komentar