Beginilah Natal dirayakan dari dalam dekade terakhir: penuh kemeriahan sesuai konteks masing-masing tempat di mana Anda merayakannya.
Lagi, Natal seakan sudah menyatu dengan sistem perekonomian dunia. Kapitalisme pasar yang begitu kejam turut menggerogoti makna kesederhanaan perayaan Natal sebagaimana dituntut oleh Gereja.
Natal di Pusaran Jaman
Kemeriahan Natal bahkan tak jarang mempertontonkan kesan kemewahan, hingga Natal pun tampik bak hamparan barang-barang mewah di pasar-pasar yang menggiurkan.
Kalau mau jujur, setiap menjelang Natal, banyak orang (Kristen) yang merayakannya selalu berdebar jantungnya oleh kenaikan harga yang menukik liar, juga berbagai bentuk diskon yang memengaruhi setiap lakon.
Coba bayangkan, air liur siapa yang menetes melihat tampilan indah dari 'produk-produk' khas Natal di televisi, internet, atau media cetak lainnya, hingga ingin memilikinya? Aneh bukan? Mengapa trend ini kok tiba-tiba seakan harus kita ikuti ya? Bukankah semestinya fenomena ini justru bagus untuk merayakan Natal?
Maksud saya begini... bukankah dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok ini justru membantu kita untuk kembali ke realitas kandang domba, tempat Yesus lahir.
Kita tak perlu membawa coklat mahal buatan belgia, tak perlu membeli pohon natal semegah di film Home Alone, juga kita tak perlu membeli lampu kelap-kelip buatan Philips Belanda.
Atau, dengan kejamnya harga-harga kebutuhan pokok di atas semestinya menggiring kita unfuk lebih fokus mengunjungi bayi Yesus di kandang domba tanpa sambil ngemil atau fokus menyiapkan makanan yang mesti dipersembahkan. Lanjut Baca!
Posting Komentar