Dalam Injil Matius (22:34-40) Yesus menarik simpul lama "cinta kasih sebagai hukum" menuju simpul baru "cinta kasih sebagai tindakan".
Yesus ingin agar kita menjadi orang yang mencintai secara total, dan bukan mencintai secara parsial.
Kita juga kerap mencintai Allah secara parsial. Tak jarang kita menjadikan Allah sebagai obyek cinta parsial kita, tepatnya sebagai 'pihak' yang dicintai secara pragmatis: "Tuhan, gue butuh Loe sekarang... besok belum tentu gue butuh ! Jadi, klo Loe emang Tuhan, bantu gue dong !"
Perkataan dua orang (remaja) yang sedang dimabuk oleh cinta dengan luapan kata-kata "I love you so much" kiranya bisa menjelaskan hal ini kepada kita.
Bagi kedua mahluk istimewa ini, tiap kata adalah ekspresi hati dan jiwa terdalam; kendati (dalam perjalanan berikutnya) yang terjadi justru hal sebaliknya: totalitas cinta antar mereka mulai redup, macet, bahkan mogok akibat sesuatu hal pragmatis tertentu.
Apabila hal itu yang terjadi, maka kita bisa menyimpulkan bahwa cinta yang saling mereka 'hadiahkan' tak mengandung totalitas. Bukankah totalitas mencintai itu tak mengenal batas dan tanpa bias?
Kita juga kerap mencintai Allah secara parsial. Tak jarang kita menjadikan Allah sebagai obyek cinta parsial kita, tepatnya sebagai 'pihak' yang dicintai secara pragmatis: "Tuhan, gue butuh Loe sekarang... besok belum tentu gue butuh ! Jadi, klo Loe emang Tuhan, bantu gue dong !"
Tipe manusia pencinta ala pragmatis ini otomatis juga akan mempraktikkan cara yang sama dalam mencintai sesamanya: "Loe emang teman gue, tapi karena kebetulan aja loe jadi istri gue, makanya gue cintai !"
Bisa kita bayangkan betapa "cinta" pun bisa dijadikan sebagai sarana untuk memangkas eksistensi orang lain.
Yesus mengajak kita untuk menghindari pragmatisme semacam ini: "Cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri!" Mengapa? Ya, hanya dengan cara kita mengevaluasi diri secara terus-menerus dalam mencintai sesama.
Sederhananya begini: "Klo gue bilang gue cinta, tapi dalam praktiknya gue enggak mencintai loe... Hal itu akan membuat gue sadar kalo gue hanya manfaatin loe !" ... Enough, sekarang saatnya gue 'ngaca ... "Gimana klo gue juga diperlakukan seperti itu?"
Contoh di atas inilah yang dimaksud Yesus, yakni "mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri". Sebab, tindakan mencintai (to love) mutlak membutuhkan evaluasi diri secara terus-menerus sepanjang hidup kita!
Contoh di atas inilah yang dimaksud Yesus, yakni "mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri". Sebab, tindakan mencintai (to love) mutlak membutuhkan evaluasi diri secara terus-menerus sepanjang hidup kita!
Akan terasa naif, kalau tidak mau disebut najis, bila seorang imam di atas altar nan megah di gereja sana selalu menyeru dan mengajak orang lain untuk mencintai sesama; namun di saat yang lain dia tak pernah berhenti bergosip atau ngomongin kejelekaan rekan imam, yang bahkan serumah dengannya.
Ini realitas yang ada di sekitar kita. Mungkin tak hanya imam yang najis tadi, tapi juga kita semua pasti pernah mengalami hal yang sama.
Maka, sejalan dengan perkataan Yesus di atas dapat disimpulkan bahwa cinta itu aplikatif. Sebab, Cinta - dalam pengertiannya yang universal - bukan melulu hamparan teoretis yang setiap saat bisa kita kutip dan kita bentangkan di status BBM, WA, Instagram, LINE, atau sebagai postingan terbaru di kronologi fesbuk kita.. pun buka sedara kicaukan baru di twitter kita.
Cinta itu adalah totalitas ke-diri-an kita: seluruh hidup kita adalah cinta. Maka ada 2 dimensi besar dalam mengaplikasikan cinta itu di kehidupan nyata kita.
(1) Cinta bersumber dari Sang Pemilik Cinta itu sendiri: "Cintailah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap akal budimu dan dengan segenap jiwamu."
(2) Cinta memperoleh kekuatan justru saat dibagikan (to share) kepada yang lain: Cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri".
Inilah imperasai penting tentang bagaimana kita memperlakukan sesama, tepatnya bagaiman kita harus mencintai sesama kita. Sebab cinta (love) tak akan pernah berdiri sendiri sebagai kata. Ia harus diikuti oleh tindakan, yakni "mencintai" (to love).
Demikianlah cinta pernah berdiri sendiri tanpa kehadiran dua atau lebih subyek lain; sebab cinta adalah jembatan teragung dalam meramu relasi kita dengan yang lain.
Mencintai Tuhan dan sesama, kendati tak selalu mudah, adalah kewajiban hakiki kita sebagai manusia; sebagaimana hak asasi kita juga adalah "dicintai".
Tak mengherankan bila Allah, melalui Musa, memperingatkan orang Israel untuk tidak menindas dan menekan orang asing dan tidak memperlakukan sesama, terutama para janda dan orang miskin secara tidak adil (Kel 22:21-27).
Akhirnya, mencintai memang sungguh tak semudah melafalkan atau pun mengatakannya. Mencintai selalu membawa sebuah akibat yang bisa saja tak terduga, entah positif entah juga negatif.
Tetapi, satu hal mesti kita imani bahwa dengan "mencintai Tuhan dan sesama dengan segenap hati dan segenap jiwa", kita akan memasuki gerbang kebahagiaan hidup kita. Hanya dengan mencintailah hidup terasa lebih hidup !
Majalaya, 22 Oktober 2011 jam 18:20
Majalaya, 22 Oktober 2011 jam 18:20
Posting Komentar