"Ooo... na tealan ho! So diboto ho magom !" (Ooo, ini anak gengsi amat sih! Tahu diri dong !), begitu jawaban ibu saya di kala kami (7 orang anaknya) mencoba menggodanya untuk membeli barang atau makanan yang rada mahal. "Teal" dalam bahasa Batak berarti "gengsi atau tindakan berlebihan / tidak realitstis" dalam bahasa Indonesia.
Banyak umat yang mengeluhkan "realitas terkini" dari para imam jaman sekarang yang "TEAL HIAN" (sangat gengsi). Harus kita akui, dan saya harap para imam pun tak tersinggung dengan segala masukan berharga lewat bacaan minggu ini bahwa banyak imam yang menyimpang dari jalan dengan membuat banyak orang tergelincir dengan pengajaranmu; dan itu berarti kaum imam telah merusakkan perjanjian Tuhan dengan kaum Lewi (Mal 2:8).
Tergelincir Dengan Pengajaran
Minggu lalu, seorang OMK dari salah satu paroki menghubungi saya dan curhat mengenai pengalaman mereka "rapat liturgi" yang dihadiri oleh seorang pastor medior di paroki mereka.
Katanya rapat yang mereka adakan tak lebih dari sebuah pengadilan dari seorang pastor terhadap umat. Si pastor mengatakan bahwa yang ia katakan tentang ajaran resmi gereja adalah sebuah kebenaran yang tak dapat diganggu gugat, dan kor OMK yang notabene jauh lebih kreatif dengan lagu-lagu liturgi yang lebih variatif langsung divonis sebagai kor yang tidak liturgis dan tak layak mengiringi perayaan liturgi, apalagi upacara perkawinan.
Sebuah rapat yang alot, dengan darah muda yang sepintas ganas dan ingin menghantam wajah sang pastor yang mereka katakan sangat otoriter tanpa mengatakan referensi ajaran yang ia katakan: Sacro Sanctum berapa? Musicam Sacram berapa? KHK berapa dst...
Kata si teman OMK tadi, "Coba deh kalau si pastor tadi mengajarkan terlebih dahulu (entah dengan mengadakan kursus singkat dan sejenisnya) atau hadir sesekali dalam latihan kor kami, maka kami tidak akan tersinggung dan merasa dipermalukan seperti ini.
Sekarang, teman-teman saya sudah pundung(ambeg, merajuk) dan tak mau lagi tampil di parokinya sendiri."
Tidak Bisa Menjadi Pemersatu !
Ini baru salah satu persoalan yang di-share. Ada banyak persoalan antara relasi yang tak lagi harmonis antara gereja-imam-umat di masa kini. Entah dengan bertemu langsung, melalui telepon, SMS, WA, email, dan berbagai media komunikasi lain di internet, umat semakin hari semakin "berani" mengadu (entah kepada siapa alamatnya kita tidak tahu) tentang hidup para suster, dan terutama para ,pastor di paroki masing-masing. Soal benar atau tidaknya memang perlu kita uji di "laboratorium surga".
Di Facebook saja Anda bisa menemukan grup Mempertanggungjawabkan Iman Katolik, SS Community, Bunda Maria, dan lain sebagainya.. yang pada intinya mencoba mengungkapkan otokritik dan masukan lagi yang berharga bagi kehidupan menggereja yang lebih baik, dan secara khusus tentang kehidupan rohan umat, khususnya para imam yang makin hari makin jauh dari muhrim-nya hehehe...
Bisa jadi pesatnya teknologi sarana komunikasi sungguh berperan dalam mengungkap berbagai hal tentang kehidupan manusia: kapan dan di mana pun; termasuk berita seputar gereja (Katolik).
Kehidupan para imam dan kaum biarawan yang pada jaman dulu tampak terlalu jauh dari bingkai realitas hidup masyarakat (karena begitu nyaman dengan bingkai nan rapi berupa tembok-tembok dan pengawalan pintu gerbangnya yang mencekam, serta lolongan anjing yang selalu siap menerkam) kini sungguh tak realistis lagi bagi umat yang membutuhkan pelayanan rohani secara langsung dan online.
Dalam perkembangannya tembok itu memang sudah mulai dihancurkan, kendati masih banyak yang menghindar dan menjauh ke pinggiran kota yang lebih nyaman. Ini sisi positifnya. Sisi negatifnya, begitu tembok dibongkar dan dihancurkan, banyak imam dan biarawan malah berkeliaran tanpa tujuan di luar sana.
Bukankah sangat luarbiasa bila imam mau dibangunin pada saat jam tidur siang atau pada saat dini hari - "hanya" untuk memberi sakramen perminyakan/pengurapan orang sakit? Tapi berapa orang sih yang masih mau segera melompat dari tempat tidurnya yang nyaman untuk melakukan hal itu ?
Di jaman baheula, dari balik tembok-tembok raksasa itu, para pionir ordo / kongregasi berharap akan terlahir nabi-nabi baru yang siap melayani umat yang berkeliaran liar di padang luas nan ganas sana.
Tapi kini para imam dan biara betah berkeliaran di rumah para janda kaya, sahabat-sahabat terdekat, para pengasuhnya, dan siapa saja yang memberinya kenyamanan dan kekayaan !
Kasihan tuh arwah para pendiri ordo/kongregasi yang menyaksikan para penersunya malah turut memperumit sekat-sekat yang ada dalam masyarakat sperti status, kelas, terotori, dan sebagainya karena pelayanan yang tak lagi berimbang dan jauh dari keadilan !
Menajiskan Yang Suci
Manusia jaman sekarang tak lagi sekedar membutuhkan keajaiban yang memuaskan dahaga tiap-tiap mata yang memandangnya. Di era kini, manusia jauh lebih terbuka dan realistis.
Umat, oleh karenanya, lebih menginginkan keajaiban itu dilakukan para imam melalui tindakan penuh iman, harapan, dan kasih secara nyata. Pendeknya, umat butuh "pegangan" atau suri tauladan sebagaiman dulu pernah dilakukan Yesus sebagai "imam" di jamannya.
Masih mungkinkah ? De fakto, banyak hal yang mempengaruhi mengapa hidup para imam di jaman sekarang (juga mereka yang aktif di lingkaran Bait Allah) begitu serba terbalik dan pelik.
Bisa jadi (kendati tidak pasti) karena ingin keluar dari latarbelakang kemiskinian yang mereka bawa serta dari keluarga mereka; atau karena gedoran pola hidup kapitalis yang pada akhirnya gagap di satu sisi, tetapi tuntutan ingin tampil gegap di sisi lain tak terhidarkan. Apalagi setelah menjadi imam, tembok pastoran yang mengitari kenyamanan mereka tak lagi se-kekar tembok biara di masa mereka masih dibawah cangkang pendidikan filsafat dan teologi.
Secara teoretis, mereka menyebut ini sebagai salib yang harus mereka lalui kalau mau mengikuti Yesus (tentu semua aturan ini tertulis rapi, jelas dan lugas dalam regula, konstitusi, statuta, ordo / kongregasi mereka).
Mungkin karena kecemburuan sosial yang muncul di kalangan umat (karena imam mereka hanya fokus pada orang/keluarga/kelompok tertentu) atau karena memang sungguh prihatin dan ingin memperbaiki (kendati tidak tahu caranya), ada banyak umat bertanya bernada menggugat : "Bagaimana mungkin dengan fasilitas minimal sekelas Hotel Bintang Tiga, pelayanan yang mereka berikan tak sampai sehebat Hotel Melati ?"
Hal ini jugalah yang digugat Allah sebagaimana tercatat dalam Kitab Maleakhi yang kita dengarkan dalam bacaan kedua: "Meja Tuhan memang cemar dan makanan yang ada di situ boleh dihinakan!" Ini mengacu kepada para imam yang berhasrat tampil sempurna (entah karena belas dendam atas kemiskinan yang dulu mereka alami dalam keluarganya) kendati dengan cara membebani umat (minimal mereka yang yang dengan tulus membelikan mereka mobil, Ipad, Laptop, BB, dll).
Melepaskan Beban Hidupnya Sendiri
Tanpa bermaksud menafikan para imam yang masih "imam" kiranya benarlah apa yang dikatakan Yesus tentang mereka: "Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.
Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi. (Mat 23:4-7). Lantas imam seperti apa yang diharapkan oleh umat untuk melayani mereka ?
Menjadi IMAM yang sungguh bisa menjadi IMAM !
Lantas, imam seperti apakah yang diharapkan oleh Tuhan ? Bacaan pertama minggu ini mencoba mereview traktat yang pernah dilakukan oleh Kaum Lewi dengan Yahweh.
"Maka kamu akan sadar, bahwa Kukirimkan perintah ini kepadamu, supaya perjanjian-Ku dengan Lewi tetap dipegang, firman TUHAN semesta alam." (Mal 2:4) Inilah isi perjanjian itu (Mal 2:5-10) :
- "Perjanjian-Ku dengan dia pada satu pihak ialah kehidupan dan sejahtera dan itu Kuberikan kepadanya? Pada pihak lain ketakutan? dan ia takut kepada-Ku dan gentar terhadap nama-Ku.
- Pengajaran yang benar ada dalam mulutnya dan kecurangan tidak terdapat pada bibirnya.
- Dalam damai sejahtera dan kejujuran ia mengikuti Aku dan banyak orang dibuatnya berbalik dari pada kesalahan.
- Sebab bibir seorang imam memelihara pengetahuan dan orang mencari pengajaran dari mulutnya, sebab dialah utusan TUHAN semesta alam.
Sejajar dengan uraian Maleakhi, Yesus pun mengingatkan kita semua agar (Mat 23:9-12):
- Janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. ( Bdk. teman saya waktu SMA yang kini telah menjadi imam pernah memprotes dan sungguh sakit hati karena saya pernah sekali lupa memanggilnay Amang PASTOR nami )
- Janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. ( Bdk. panggilan FATHER/ PATER / BAPA untuk imam kerapkali meninabobokan para wanita yang butuh figur [ke-]BAPA[-an] )
- Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. ( Bdk. Jabatan PROPINSIAL, PRIOR, CUSTOR, PASTOR PAROKI, PASTOR REKTOR, dll scara tidak sadar seringkali digapai secara ambisius kendati dengan kampanye terselubung )
- Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. ( Bdk. Istilah pastor pembantu sudah tidak laku lagi, kendati de facto mereka memang pastor pembantu dari pastor kepala paroki ).
- Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan. (Bdk. Di antara umat, juga ditengah sesama pastor pun selalu tampil golongan pastor tertentu, seperti pastor yang S3, pastor profesor, pastor lulusan luar negeri, dan lain sebagainya)
Refleksi
Akhir kata, para imam di jaman ini harus berani menghindarkan dirinya dari teal atau gengsi atau hasrat untuk memperkaya diri dengan fasilitas yang ia tak pernah bisa ia beli itu. Paulus mengingatkan kita semua, terlepas Anda imam atau tidak, agar kita menjadi simbol kehadiran cinta yang tulus dan jujur (lih 1Tes 2:7-9.13) :
- Berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya.
- Dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi.
- Sementara kami bekerja siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun juga di antara kamu, kami memberitakan Injil Allah kepada kamu.
- Dan karena itulah kami tidak putus-putusnya mengucap syukur juga kepada Allah, sebab kamu telah menerima firman Allah yang kami beritakan itu, bukan sebagai perkataan manusia, tetapi-dan memang sungguh-sungguh demikian - sebagai firman Allah, yang bekerja juga di dalam kamu yang percaya.
Semoga sapaan Allah lewat bacaan-bacaan minggu ini sungguh menggiring kita, bahwa bukan nama / status / kehormatan atau kekayaan yang akan kita peroleh dalam pelayanan kita terhadap sesama, melainkan rasa syukur kepada Allah karena ada banyak orang menjadi lebih baik (baca : semakin dekat dengan Allah) berkat kehadiran kita ditengah mereka.
Khusus bagi para para imam.. Jangan sampai inang-inang (kaum ibu) di Pualu Samosir sana marah kepada Anda : "On ma pastor na so mamboto magona !" (Ini dia pastor yang tidak tahu diri !). Jadilah seorang imam yang benar-benar imam; bukan seorang imam yang langsung demam bila produk-produk terbaru dari barang elektronik tak kunjung ditawarkan oleh umatnya! Amin.
Posting Komentar