Dalam upacara-upacara adat Batak, UMPAMA dan UMPASA berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat orang Batak. Entah itu di di Bona Pasogit (tanah leluhur, Pulau Samosir/ daerah seputar Danau Toba) maupun di luat si leban / parserahan (daerah perantauan).
UMPAMA dan UMPASA memegang peranan penting dalam komunikasi dua arah (dialog) secara langsung yang oleh komunikan, terutama Raja Parhata (Master of Ceremony).
Raja parhata bertugas mengedalikan pembicaraan pada sebuah acara adat Batak. Peran ini dipandang sebagai media bertutur kata yang paling transparan. Lihat saja misalnya pada saat "marhata sinamot" (pada saat mengambil kesepakatan soal besaran mahar atau mas kawin).
Lalu, apa itu UMPAMA dan UMPASA?
Dalam buku "Jambar Hata: Dongan Tu Ulaon Adat" karya T.M. Sihombing (Ompu Marhulalan), UMPAMA (baca: uppama) dan UMPASA (baca: uppasa) - kedua istilah itu dalam Bahasa Indonesia: UMPAMA= pepatah, dan UMPASA - adalah pantun.
Sementara Drs. Nalom Siahaan (dalam Adat Dalihan Natolu) menguraikan prinsip dan pelaksanaannya. Nalom membagi UMPAMA dalam dua bentuk: pendek dan panjang.
- Umpama yang pendek - contoh : Sisoli-soli do adat, siadapari gogo.
- Umpama yang panjang - dibagi menjadi dua, yakni [a] menurut bentuknya bentuk "tudosan" (sampiran dalam bahasa Indonesia) dan [b] menurut bentuknya isi.
Dari contoh di atas kita bisa melihat bahwa UMPAMA dan UMPASA :
- Seringkali mempunyai sampiran
- Bisa dibedakan berdasarkan isi
- Bersifat "statis", sedangkan umpasa bersifat "dinamis"
- Merupakan bahasa kiasan (bdk. Penggunaan kata songon yang berarti seperti, ibarat atau istilah lain yang sejenis).
- Berisi puisi yang memiliki makna yang dalam. Simak misalnya umpama yang lazim dipergunakan dalam upacara-upacara adat ini : Masiamin-aminan songon lampak ni gaol, masitungkol-tungkolan songon suhat di robean.
Fungsi dan Makna UMPASA dalam Tutur Bahasa Masyarakat Batak
Sementara dalam UMPASA yang kedua pada umumnya dinyatakan sebagai sikap merendah diri bagi seseorang berusia muda dalam suatu pembicaraan adat.
Terhadap orang yang sembrono, yang tidak memikirkan/menimbang lebih dahulu apa yang hendak dikatakannya, atau mungkin salah ucap (tidak sopan), adalagi umpasa tersendiri yang bernada teguran dari pihak pendengar, sbb:
Tangan do botohon ujungna jari-jari,Demikian sebuah umpasa mengawali tulisan ini, yang disusul satu umpasa lainnya berbunyi :
laho manggurithon sidohon,
jumolo ma ahu marsantabi
Ramba na poso naso tubuan lata,Kedua UMPASA sebagai bagian dari tutur bahasa ini mengisyaratkan, bahwa dalam percakapan yang beretika Batak hendaknya didahului dengan ucapan "maaf" atas kesilapan/kesalahan yang mungkin timbul dalam suatu pertemuan/percakapan adat, yang juga bertujuan sebagai suatu kebijaksanaan mengantisipasi terjadinya salah pengertian.
halak na poso dope ahu naso umboto hata
Sementara dalam UMPASA yang kedua pada umumnya dinyatakan sebagai sikap merendah diri bagi seseorang berusia muda dalam suatu pembicaraan adat.
Terhadap orang yang sembrono, yang tidak memikirkan/menimbang lebih dahulu apa yang hendak dikatakannya, atau mungkin salah ucap (tidak sopan), adalagi umpasa tersendiri yang bernada teguran dari pihak pendengar, sbb:
Jolo ni dilat bibir, asa nidok hata (Jilat bibir dulu sebelum berbicara).Tentang hal ini perlu dicatat bahwa pada jaman dulu, di tanah Batak, orang yang belum dewasa, di anjurkan untuk mengikir giginya agar kelihatan rapi/bagus. Kebiasaan seperti itu masih dipraktikkan di daerah Hurlang dan sekitar Pangaribuan. [Disadur dan diterjemahkan dari O.P. Sihombing, 1984]
Unang sai makkatai na so marhihihir (Jangan ngomong kalau giginya belum dikikir).