"Enak ya bekerja di perusahaan asing?" kata seorang Adi kepada Agung yang bekerja pada sebuah NGO beken asal Amerika.
"Wah, sarang duit tuh, gan," lanjutnya dengan gaya Kaskus-nya. Begitulah imej yang sedang berkembang saat ini. Kerja di lembaga asing pasti lebih hebat dari kita yang bekerja untuk perusahaan negara atau swasta milik orang Indonesia.
Apa yang dikatakan Adi benar. Enggak usah dibandingkan soal besaran gaji. Cukup menelaah bedanya simbol Rp dengan $ yang nilainya sangat jomplang itu. Orientasi untuk bekerja di perusahaan asing memang menggiurkan. Begitulah kenyataannya.
Selain karena negara ini tak mampu menyediakan lapangan kerja, juga mencetak SDM yang memadai, orientasi itu cukup beralasan karena di luar sana mereka lebih dihargai (dibayar tinggi) dibanding di negeri "cinta satu malam" ini.
Tak heran bila perusahaan atau NGO asing lebih dinikmati daripada perusahan atau LSM lokal. Di daerah-daerah ex-bencana, seperti Aceh, Nias, Wasior, Padang, Yogyakarta, atau di tempat lain yang pernah dilanda bencana alam, kita menemui berbagai "jenis" lembaga donor berhati mulia dengan belaskasihnya datang membantu korban.
Tak terelakkan, banyak dari mereka datang dari negara asing, terutama Eropa, Australia dan Amerika. Sepanjang saya alami dan lihat sendiri, mereka yang bekerja di lembaga asing (NGO / LSM), tampak lebih melimpah gajinya dibanding mereka yang bekerja di LSM lokas/nasional.
Pertanyaannya ialah mengapa lembaga-lembaga donor itu begitu baik kepada kita atau negara-negara berkembang ? Alasannya sih klasik. Selain karena persoalan kemanusiaan dan karena negara-negara itu punya banyak uang, LSM-LSM luar itu "merasa" punya utang yang harus dibayarkan kepada negara-negara ketiga yang pernah mereka jajah atau mereka raup sumber daya alamnya.
Kompleksitas Donor
Terlepas dari persoalan atau kepentingan politik di tingkat elite, negara ketiga harus berterimakasih kepada negara-negara maju yang telah rela mengalokasikan anggaran belanjanya demi membantu negara-negara yang (sedang) berkembang, termasuk Indonesia.
Namun, sumber masalah bukan pada negara yang membantu dan negara yang dibantu. Masalahnya justru terletak pada "tujuan/sasaran" dari bantuan itu. Maksud saya, bantuan itu kerap kali ditelikung, disedot, diamputasi oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Tragisnya, hal ini justru dilakukan oleh orang-orang kita sendiri. Mentalitas "jajahan" merkea justru ditampilkan dalam tindak-tanduknya. Bantuan kepada orang miskin kerap disunat justru oleh orang yang diserahi tanggungjawab mendistribusikannya.
Faktanya, bantuan yang mestinya diperuntukkan bagi orang terkena bencana, misalnya, tak jarang dimanipulasi oleh berbagai pihak yang diserahi tanggungjawab. Di sisi lain, pihak donatur juga tak mau kalah dengan kepentingan mereka.
Berbagai lembaga donor yang mereka dirikan seringkali menjadi lipstik bagi bibir mereka yang telah mengeksploitasi manusia-manusia yang telah dibantunya. Inilah yang terjadi di perusahaan-perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan sekaliber Newmont, Freeport, Goodyear, dan perusahaan milik asing semua memiliki lembaga bantuan "suap" dengan formatnya yang berbeda.
Percaya atau tidak, di titik ini "donasi" tak lebih dari sekedar cari sensasi dan pemenuhan terhadap ambisi. William Easterly (dalam bukunya Easterly, W. The White Man’s Burden: Penguin Group, 2006) mengkritik bantuan (tingkat) internasional dengan pendekatan Top-Down dari lembaga donor negara-negara Barat kepada negara-negara "yang membutuhkan" (mereka kategorikan sebagai negara-negara ketiga).
Bagi Easterly, cara ini tak lain adalah tragedi di mana negara-negara Barat, selama lima dekade terakhir, telah menghabiskan $ 2.3 triliun untuk bantuan luar negeri; namun biaya sebesar itu pada kenyataannya bantuan itu masih belum berhasil:
- memperoleh 12% obat-obatan untuk mencegah separuh dari semua kematian anak-anak akibat malaria,
- membantu keluarga miskin yang hanya membutuhkan $ 4 saja untuk mendapatkan sebuah kelambu
- memenuhi $ 3 untuk masing-masing 5 juta calon ibu yang rentan melahirkan lima juta kematian bayiIni sebuah tragedi yang awalnya tumbuh dari berbelaskasih dan niat baik, namun justru tidak sampai pada sasaran yang diharapkan.
Contoh Kasus di Negara Zambia dan Malawi
Easterly menguak fakta bahwa terhambatnya bantuan yang dituju, pertama-tama disebabkan oleh minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dan capable untuk itu. Sebagian besara NGO malah tak mau ambil pusing dengan training lapangan, juga tak memperhitungkan realitas sosial, budaya, dan politik yang ada di sana.
Masih menurut Easterly, jaring malaria ditujukan untuk orang miskin di Afrika malah dijual di pasar gelap hingga "klien" yang semestinya menerima secara gratis, mau tidak mau harus membelinya di pasar atau di klinik kesehatan.
Lebih tragisnya lagi, di saat kelambu itu "sampai" kepada sasaran, mereka malah menggunakannya sebagai jaring ikan atau dimanfaatkan sebagai kerudung pernikahan."
Di Zambia, misalnya, program penyaluran kelambu gratis oleh lembaga nirlaba bernama Population Services International (PSI) yang berbasis di Washington DC hanya bisa dinikmati oleh 30% dari klien yang seharsusnya mendapat bagian, meskipun, telah mereka telah belajar dari penyelewengan penjualan kelambu untuk masyarakat miskin di negara Malawi.
Ibu yang mengunjungi klinik bersalin di pedesaan harus membeli kelambu seharga 50 sen. Para perawat yang menyebarkan kelambu itu mendapat 9 sen untuk dirinya sendiri sebagai jaminan pertanggungjawaban mereka untuk menjaga kelambu.
PSI juga menjual kelambu sebesar $ 5 di distrik perkotaan kaya Malawi. Keuntungan ini mensubsidi kelambu murah yang dijual di klinik pedesaan, sehingga memungkinkan program untuk membayar sendiri. (Ibid. 13.)
Pendekatan ini telah di tingkat nasional telah meningkat : rata-rata anak di bawah 5 tidur sudah tidur di bawah kelambu dari 8 persen di tahun 2000 menjadi 55 persen pada tahun 2004," dan "survei lanjutan menemukan penggunaan kelambu sudah hampir menyeluruh oleh mereka yang membelinya." (Ibid. 13-14)
Bagi Anda yang bekerja(sama) dengan perusahaan atau lembaga asing, sudah sebaiknya mempertimbangkan satu hal: jangan pernah menurunkan harkat martabat bangsa kita hanya karena hasrat untuk bekerja untuk perusahaan/lembaga asing.
Akan jauh lebih parah bila demi "keselamatan masa depan" Anda di perusahaan asing, Anda lantas merampas dan turut menjajah sesama rakyat Indonesia.
Posting Komentar